Oleh Ahmad Muchlish Amrin
Pawai dari Selma ke Montgomery—kata Abraham Joshua Heschel (1907-1972), adalah protes dan doa. Kaki bukan bibir, ia berjalan tidak berlutut. Kaki kami mengucapkan lagu tanpa kata-kata. Rabbi yang sekaligus filsuf Yahudi ini tidak hanya berusaha memaknai kaki sebagai faktor biologis, melainkan makna kaki dalam sebuah pawai keagamaan, sebuah protes rakyat terhadap penguasa, hingga tapak suara kaki sebagai bunyi dan doa.
Kaki menjadi media sosiologis transendental karena diisi nilai (value); ada momentum mengisi yang “senyatanya” menuju “seharusnya”.
Langkah demi langkah berdebam di jalanan; seperti sepatu kuda perang yang berhamburan di medan; seperti tapak kaki para tentara dalam barisan. Langkah kaki menjadi penanda bagi perdamaian atau bentrokan. Ia mengantarkan sebuah rencana. Ia memberikan alarm bagi sebuah cita-cita. Mulut boleh sepi, tapak kaki terus mengisi sunyi. Bisa jadi sebuah ancaman atau harapan.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Tangan-tangan yang Dikaruniai
Kaki sebagai lambang terbawah dari tubuh manusia. Ia selalu menjadi tumpuan untuk berdiri tegak, tumpuan bagi para pejalan. Namun, manusia sebagai makhluk berakal selalu berusaha menghormati di setiap bagian. Manusia menghiasinya dengan alas kaki yang berupa sandal atau sepatu, agar bila berjalan di terik matahari kerontang, kaki tak terbakar oleh panas aspal atau bila berjalan di jalanan berlumpur tidak dilumuri kotoran.
Akan tetapi di saat “diri” ingin menghadap Tuhan, kaki dibiarkan datang tanpa alas kaki tanpa apapun. Kaki datang sebagai kaki yang asli tanpa polesan.
Seperti Musa di saat memenuhi panggilan Tuhan di bukit Tursina, Tuhan mewanti-wanti kepadanya, “Fakhla’ na’laika (Ya Musa)”, lepaskan sandalmu (Musa). Saat itulah kaki datang kepada Tuhan sebagaimana kaki lahir, sebagaimana tubuh yang telanjang.*
Ahmad Muchlish Amrin, Santri Kutub Yogyakarta
2 komentar