Istiqomah Khidmah, Bisnis Melimpah 

Esai, Literasi712 Dilihat

Istiqomah Khidmah, Bisnis Melimpah 

Istiqomah Khidmah, Bisnis Melimpah

(Catatan Dawuh Mbah Kiai Warson)

M. Ikhsanudin, M.Si 

Suatu pagi, saya nderekke Mbah Warson (KH. Ahmad Warson Munawwir), sang penulis kamus Al Munawwir, acara di Langitan, Jawa Timur dengan pesawat jam 06.00 dari Bandara Adisucipto Yogyakarta menuju Bandara Juanda, Surabaya, disambung naik mobil ke Langitan, Tuban. Kemudian, sorenya kembali lagi ke Yogyakarta lewat Bandara Juanda jam 18.00 WIB. 

Di sela-sela perjalanan, beliau suka bercerita dan berbincang-bincang tentang berbagai hal. Saat di Juanda, beliau dawuh bertanya sambil gemujeng (tersenyum): Saiki kowe kerja utowo usaha opo? Pada waktu itu, karena saya sudah mengajar di beberapa madrasah dan juga aktif ceramah dan khutbah, maka saya jawab: Ngajar Kiai, ugi Ceramah. Beliau mengulangi pertanyaannya, intinya terkait kerja sing gawe maisyah lan menafkahi keluarga ke depan itu harus punya, nek ngaji lan ceramah iku khidmah, dudu kerjo, maka beliau dawuhi untuk punya pekerjaan, usaha atau bisnis, supaya bisa mandiri secara ekonomi, punya  wasilah penghasilan menjemput rizki dari Gusti Allah, supaya ke depannya tidak tamak dan selalu berharap amfalip (jama’ taksir dari amflop). Karena, mengambil upah/gaji dari ngaji/ngajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syariah—sebagaimana pendapat Imam Nawawi dalam Tibyan—terjadi ikhtilaf di antara ulama.

Imam Abu Hanifah dan imam Az Zuhri melarang, Imam Hasan Basri dan Imam ibnu Sirrin membolehkan. Sementara Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam ‘Atha membolehkan dengan syarat. Oleh karena itu, Mbah Kiai Warson mengajarkan kepada saya untuk wira’i dan ihtiyat dalam ngaji dan ceramah, betul-betul lillahi ta’ala.

Jangan Lewatkan: Dua Santri Krapyak Ditusuk, Gus Hilmy: Tuntut Usut Tuntas dan Tutup Outlet Miras

Hal itu juga diceritakan Mbah Warson bahwa setelah menikah, beliau dan istrinya, Bu Nyai Chusnul Khotimah, membuka toko kelontong di Jalan Cuwiri, sambil tetap meneruskan menyusun kamus Al Munawwir dan masih istiqomah ngaji di pondok. Di antara fan ilmu yang diajarkan beliau adalah Alfiyah Ibnu Malik. Saya sebagai  tulaimidz (santri kecil) ikut ngaji beliau di Mushola Timur terus pindah ke Musbar (Musholla Barat) beberapa kitab. Di antaranya adalah Hikmah At-Tasyri’ Wa Falsafatuhu, Tafsir Al Maraghi, Muhadzab dan Nihayatuz Zain

Bisa dibayangkan betapa luar biasanya beliau. Karena, Mbah Warson adalah seorang gus besar, putra ulama ahli Al-Qur’an, yaitu Simbah KH. Muhammad Moenawwir, sang pembawa sanad tahfiz dan Qiro’ah Sab’ah dan dari Pesantren Krapyak yang sangat besar dengan tersebarnya santri ke seluruh pelosok Indonesia. Akan tetapi, beliau tetap bekerja dan punya usaha bisnis. 

Bisnis beliau terus berkembang, hingga mempunyai bisnis beberapa bis kota dan variasi mobil. Akan tetapi, ngaji beliau di Pesantren Krapyak tetap Istiqomah, khidmah di masyarakat juga tetap beliau lakukan. Beliau aktif di IPNU, kemudian aktif di GP Ansor dari tahun 1960-an, hingga menjabat ketua PW GP Anshor DIY (1965-1968) dan ketua Gerakan Generasi Muda Islam (Gemuis) Yogyakarta, organisasi gabungan Ormas Pemuda Islam DIY, di antaranya GP Anshor, Angkatan Muda Muhammadiyah, PMII, HMI dan lainnya.  Pada tahun 1970-an, Mbah Warson menjabat wakil ketua PWNU DIY, kemudian Musytasyar PWNU DIY dan A’wan Syuriah PBNU yang beliau jabat hingga wafat tahun 2013.

Jangan Lewatkan: Gus Hilmy Dorong Muslimat NU Sebagai Organisasi Perempuan Profesional

Beliau juga aktif di politik, mulai dari menjadi pengurus PPP pasca fusi, menjadi anggota DPRD DIY dua periode (1977-1982), dewan Syura PKB DIY, kemudian aktif di PKNU. Setelah itu, beliau mundur dari partai politik, tetapi tetap aktif dalam kegiatan politik nasional bersama kyai-kyai sepuh pesantren lewat forum kyai Langitan.  Beliau juga aktif dalam tulis menulis dan menjabat pimpinan redaksi Duta Masyarakat Cabang Yogyakarta.

Di tengah kesibukan bisnis, beliau aktif di ormas NU dan banomnya, menjadi politisi PPP dan Pimred Duta Masyarakat, tetapi Mbah Warson tetap Istiqomah ngaji kitab di Pesantren Krapyak. Oleh karena itu, beliau selalu berpesan agar punya usaha, pekerjaan atau bisnis untuk ikhtiar, jangan malas bekerja. Beberapa santri yang dimentori beliau, sukses mengembangkan usaha/bisnis. Seperti, Drs. H. Suhadi Khozin, owner LU Grafika yang bisnisnya berkembang pesat dalam dunia percetakan. Di samping bisnis Bapak Drs. H. Suhadi juga tetap aktif ngaji di Krapyak dan khidmah di masyarakat, baik sebagai ketua Pengurus Korps Dakwah Masyarakat (Kodama), Pengurus PWNU DIY, Tim Pendiri SD NU dan juga ngaji di masjid-masjid sekitar Panggungharjo Sewon Bantul.

Setelah didawuhi untuk mempunyai pekerjaan dan membuat usaha atau bisnis, saya pulang ke kamar komplek dan berpikir mau usaha apa yang sesuai dengan karakter dan tujuan hidup saya. Maka saya kemudian mengikuti beberapa pelatihan. Di antaranya bisnis plan, integrated financial planning, strategi fundraising dan lainnya.

Jangan Lewatkan: Yayasan Kodama Gelar Latihan Kader Dakwah 

Akhirnya, bersama dengan beberapa teman, kami mulai membuka bisnis. Di antaranya: bisnis buku hingga mempunyai Toko Buku, Warung Makan dan Warung Empek-empek di Krapyak, Franchise bakso Kaget di Gejayan, distributor baju Muslim ke beberapa toko baju muslim di Yogyakarta, pemasok Ketela Pohong ke pabrik Slondok dan lainnya. 

Akan tetapi saking senangnya usaha dan bisnis ini, saya sering meninggalkan ngaji dan pondok. Ngajinya sering saya liburkan dan sering izin tidak di pondok, akhirnya saya dipanggil lagi diluruskan sama Mbah Warson, bahwa Usaha Yo usaha neng ojo ninggalke ngaji. Mungkin beliau melihat saya “kedonyan“, terlalu senang dengan duniawi karena terus terang sebagai anak muda sangat ingin terlihat sukses. Padahal pada waktu itu ukuran sukses di daerah saya jika punya motor baru, mobil dan sejenisnya. Sehingga, saya kerja keras dan bisnis memang untuk tujuan sukses duniawi. 

Setelah dapat teguran dari beliau, akhirnya, menata ulang usaha dan bisnis. Supaya, saya tetap bisa ngaji dan khidmah di masyarakat secara proporsional, ya tetap ngaji di pondok, ngaji khidmah di masyarakat. Tetapi, tetap punya hari untuk usaha dan bisnis supaya punya pendapatan untuk nafkah dan kemandirian ekonomi. 

Jangan Lewatkan: Sisi Gelap Perayaan Tahun Baru Masehi

Saya teringat guru saya, Simbah KH. Zainal Abidin Munawwir yang tetap punya usaha beternak bebek walaupun beliau kyai besar dan jadi anggota DPRD DIY. Karena, beliau tidak pernah mengambil gajinya. Karena, jadi DPR itu untuk perjuangan, bukan untuk mencari gaji, sehingga untuk kebutuhan sehari-hari cukup dari ternak bebek. 

Di sinilah, kita harus bisa menempatkan diri tentang maqom kasb dan maqom tajrid secara proporsional, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari. Sehingga, pulang dari pondok ya harus melewati maqom kasb dulu, bekerja, berusaha atau berbisnis semampu kita. Tapi, kita tidak boleh tinggalkan peran untuk istiqomah ngaji dan khidmah di masyarakat. Baru setelah masuk maqom tajrid maka fokusnya untuk ngaji dan berkhidmah. Ini persis seperti dialog antara Imam Malik dan Imam Syafi’i terkait dengan usaha dan anugerah.

M. Ikhsanudin, M.Si, Pengasuh Pesantren Anwarul Masalik sekaligus dosen IIQ An Nur Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar