Kuswaidi Syafi`ie
Allah, sungguh sadar betul saya bahwa sampai kapan pun saya tidak akan pernah sanggup menulis dan membahas tentang Engkau sebagaimana semestinya hadiratMu digambarkan. Biarpun diri ini tak lain adalah bayang-bayangMu dan tidak bisa dinisbatkan kecuali kepada Engkau semata, sungguh terlampau kerdil untuk sanggup menyusuriMu sepenuhnya.
Allah, saya ibarat seekor ikan dan Engkau adalah samudra raya. Sungguh konyol, bagaimana mungkin seekor ikan memiliki kapasitas untuk mengukur dan merengkuh samudra raya yang tidak berdasar dan tidak bertepi. Atau saya seperti seekor burung dali dan Engkau laksana angkasa raya yang tidak dibatasi oleh saujana. Duh, bagaimana mungkin saya akan mengarungiMu dengan sepenuhnya. Betul-betul mustahil.
Akan tetapi karena Engkau teramat santun, pemurah dan tidak pernah mengecewakan siapa saja yang datang ke hadiratMu dengan segenap kekerdilan dan keringkihannya, maka saya pun ikut berjejal-jejal di antara mereka yang merindukan dan bersusah payah untuk semakin mengenalmu.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Dosa dan Ampunan
Mula-mula Engkau adalah tambang kekayaan yang tersembunyi. Tak ada siapa pun yang mengenalMu. Karena sesungguhnya apa yang disebut sebagai selain hadiratMu itu secara hakiki sebenarnya memang tidak ada dan tidak akan pernah ada. Hanya Engkau semata yang betul-betul ada. Selebihnya hanyalah hamparan padang fatamorgana yang bersenyawa dengan kehampaan yang senantiasa menganga.
Bahkan idiom “Engkau” yang selalu saya pakai untuk menyapaMu setiap saat sejatinya hanya bisa diungkapkan oleh diriMu sendiri. Dengan kreativitas dan cintaMu Engkau menjadikan saya yang tidak lain merupakan sekeping bayang-bayang diriMu sendiri sebagai sebilah bambu yang kemudian Engkau proses menjadi seruling. Ketika dengan nada cinta Engkau meniup seruling itu, dengan serta-merta saya lalu memanggilMu dengan sebutan “Engkau” dengan perasaan cinta pula.
Sebutan “saya” dan “Engkau” yang seolah-olah muncul dari dua tepi yang bersebrangan dan berhadap-hadapan sesungguhnya secara substansial menghablur dari titik sumbu yang tunggal. Yaitu Engkau sendiri. Demikian juga dengan sebutan “dia”, “kami”, “kalian” dan “mereka”.
Itulah sudut-sudut artifisial yang bersemayam di antara ada sekaligus tiada. Disebut ada karena Engkau memunculkan bunyi-bunyi musikal dari masing-masing sudut itu dengan aneka ragam yang sangat memukau. Disebut tiada karena perbedaan masing-masing bunyi musikal itu hanya terletak pada bagian-bagian permukaan semata. Sedang pada bagian dalamnya semuanya sama. Yaitu sama-sama suara merduMu. Dan itu tunggal adanya.
Allah, Allah, jika demikian adanya, apakah sejatinya makna dari kehendakMu? Sebutan-sebutan itu sengaja Engkau derivasikan dari diriMu sendiri sehingga seakan-akan bilangan dua, tiga, empat, seribu, sejuta, semilyar bahkan sampai tak terhingga itu memang betul-betul ada.
Baca Juga: Tingkatan Surga yang Perlu Anda Ketahui Biar Jadi Ahlinya
Ketika saya menyebutMu dengan idiom “Engkau”, maka Engkau pun menyebutku dengan idiom “engkau” pula. Kalau demikian adanya, lalu yang mana sebenarnya yang betul-betul “engkau”? Sayakah atau Engkaukah wahai junjunganku? Atau posisi kita yang berjarak yang memungkinkan munculnya sebutan “saya” dan “Engkau”? Tapi betulkah jarak itu ada?
Sebutan-sebutan itu adalah sejumlah penanda. Dengan adanya penanda-penanda itu sebenarnya Engkau mau berkomunikasi dan bercanda tawa dengan diriMu sendiri, bukan? Dalam konteks ini, apa yang disebut sebagai dialog itu hanya semata merupakan gambaran komunikasi pada tahap yang paling seolah-olah, yaitu lapis permukaan yang sangat dangkal dan kusam. Secara hakiki yang ada tak lain adalah monolog.
Itulah sebabnya Engkau kemudian memerintahkan tergelarnya substansi monolog itu dalam kehidupan horizontal secara bersama-sama. Bukan dengan cara menekuk dan membungkam orang lain, bukan dengan sikap arogan dan merasa berhak mendekte pihak lain, akan tetapi dengan menjadikan “saya” sebagai “engkau” dan membuat “engkau” sebagai “saya”, menjadikan “kita” sebagai “mereka” dan membuat “mereka” sebagai “kita”.
Sakit yang “engkau” rasakan adalah sakit “saya” juga, pun sebaliknya. Nikmat yang “saya” cicipi mesti menjadi nikmatmu juga, pun sebaliknya. “Aku sakit wahai Musa, kau tidak menjengukKu. Aku lapar wahai Musa, kau tidak memberiKu makan,” firmanMu membahana. Monolog berbungkus dialog. Ruh dari dialog adalah monolog.
Baca Juga: Domba Gus Randy Menghadap Tuhan
Dengan iradahMu, hidup senantiasa bergelombang dan bergejolak. Kebudayaan dan peradaban muncul dan tenggelam, muncul lagi dan tenggelam lagi, dan seterusnya. Keberuntungan dipergilirkan pada masing-masing orang dan setiap bangsa. Hari-hari naas dan malapetaka diputar dengan bunyi berdentam-dentam di mana-mana. Kekuasaan demi kekuasaan datang silih berganti, menjumpai orang-orang yang Engkau kehendaki, lalu setelah itu Engkau copot pula dari mereka.
Segala sesuatu meringkuk tidak berdaya di genggamanMu. Karnaval kehidupan adalah pentas kolosalMu. Gedebak-gedebuk dan hentakan-hentakan peristiwa secara esensial semata merupakan langgam puja-puji kepada Engkau. Duh, ya Allah, Engkau asal mula segala sesuatu. Engkau pula akhir semuanya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
Kuswaidi Syafiie, Penyair sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi Bantul Yogyakarta.
2 komentar