Kuswaidi Syafi’ie
Sastrawan tersohor kelahiran Mesir itu, Imam Muhammad al-Bushiri (wafat pada 696 H), merasa bersalah dengan kerja kesusastraannya di masa silam karena dulu beliau terlanjur menggubah puisi-puisinya untuk tujuan-tujuan pragmatis-materialistik bagi hidupnya. Beliau merasa bahwa hal itu mesti dihapus sekaligus ditebus dengan karya-karya kepenyairan yang lebih mulia dan murni bernuansa transendental.
Penyesalan al-Bushiri itu sedemikian kuatnya sehingga seolah-olah beliau merasakan bahwa dirinya tidak lebih dari seekor ternak yang dikorbankan oleh puisi-puisinya yang sesat dan khidmatnya kepada makhluk dengan niat yang melenceng dari jalan yang menuju ke hadiratNya. Ketika muncul titik balik kesadaran ruhani yang dahsyat di kedalaman batinnya, beliau dengan serentak kemudian menulis bait berikut ini sebagai sindiran untuk dirinya sendiri: “Ila mata anta bil ladzdzati masyghulun/ wa anta ‘an kulli ma qaddamta mas’ulun/ sampai kapan engkau disibukkan dengan kenikmatan-kenikmatan yang menipu/ sementara segala yang kau lakukan itu mesti dipertanggungjawabkan.”
Sisa umur bagi al-Bushiri, tidak boleh tidak, mesti diisi dengan nilai-nilai keilahian secara maksimal dan dipersembahkan semata kepada Allah SWT belaka. Tekad beliau dengan tandas menyatakan sayonara, selamat tinggal kepada segala sesuatu yang sia-sia, kepada segala sesuatu yang tidak bermakna di hadapanNya. Maka, heroisme spiritual dalam kepenyairan beliau menjadi tegak dengan pasti, yaitu puisi-puisi profan itu kemudian digulung dan digantikan dengan puisi-puisi profetik-transendental.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Jenggot
Dalam kitab puisinya yang terdiri dari 160 bait dan dikenal secara luas di kalangan masyarakat muslim dengan sebutan Burdah, beliau memaklumatkan kepada publik pembacanya tentang kiblat kepenyairannya yang telah berganti haluan itu. Kitab yang berisi shalawat dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw itu diawali oleh beliau dengan bait yang berlumuran darah dan airmata: sebingkai kesadaran ruhani yang meletup-letup di kejernihan batin beliau yang kemudian diejawantahkan melalui idiom-idiom puitik sebagai bukti bagi adanya dendam rindu dan kecintaan yang begitu menggema kepada Allah SWT lewat pintu nabi terkasihNya.
“Adakah lantaran kau ingat pada tetangga yang ada di Dzi Salam/ lantas kau mencucurkan airmata yang berbaur dengan darah?// Atau kau menangis karena angin yang berhembus dari dataran Kazhimah?/ Atau kau menangis karena kilat yang menyambar dari Gunung Idhami di malam yang kelam?” tulis al-Bushiri di awal kitab Burdahnya dengan nada ruhani yang menggigil.
Idiom “kau” pada dua bait di atas itu pastilah menunjuk kepada sufi-penyair itu sendiri. Di samping merupakan hal yang lazim dalam wacana kesusastraan Arab, memposisikan diri penulis sebagai orang kedua tunggal dengan sebutan kau dipandang sebagai cara paling telak untuk mengkhutbahi sekaligus merubah diri sendiri menjadi lebih baik dan lebih mulia. Bukankah penceramah paling impresif untuk diri kita adalah kita sendiri?
Coba Resapi Juga: Idul Fitri 2023 | Nasehat Gus Mus
Dengan mengambil jarak dari diri sendiri, siapapun akan lebih obyektif dalam melakukan penilaian dan memberikan masukan terhadap dirinya sendiri. Dalam kaitannya dengan dua bait pertama di awal kitab Burdah itu, selain sebagai penulis, al-Bushiri rupanya juga dengan sengaja meletakkan dirinya di antara deretan para pembaca kitabnya. Sehingga memungkinkan bagi beliau untuk selalu melakukan reinterpretasi, di samping untuk mengais sari pemahaman yang semakin jernih, juga untuk dapat mengentalkan tunas-tunas kekuatan ruhani agar tumbuh subur menjadi pohon-pohon kehidupan rabbani di tengah kenyataan sosial yang semakin tidak sadar diri.
Di kebun diskursus kesusastraan kaum sufi, idiom “tetangga” pada bait pertama di atas itu menyadarkan kita pada “hari alastu”di mana ruh kita masih dalam kebersamaan dengan ruh-ruh para nabi dan wali, yaitu ketika kita berdomisili di alam malakut, jauh sebelum diterjunkan di tengah kancah kehidupan yang senantiasa bergolak dan semakin kebak oleh desakan-desakan kemaksiatan. Sementara idiom “Dzi Salam, dataran Kazhimah dan Gunung Idhami” mengacu kepada masakinul ahibba’, tempat-tempat bermukimnya para kekasih ruhani dari kalangan orang-orang suci. Yaitu mereka yang telah terbebaskan dari cengkraman kebuasan nafsu, dari rayuan dunia yang fana ini, bahkan juga dari impian tentang surga dan gemulai bidadari.
Getar kerinduan terhadap tetangga ruhani di alam malakut sesungguhnya merupakan hal yang niscaya bagi siapa saja. Demikian pula terhadap tempat-tempat di mana para kekasih ruhani tinggal. Akan tetapi, getar kerinduan itu seringkali menjadi redup dan pudar manakala batin kita terkabuti oleh rayuan segala yang fana dan sia-sia di dalam kehidupan yang sementara ini.
Oleh karena itu, terasa begitu kuat upaya al-Bushiri membetotkan idiom-idiom puitik di dalam kitab Burdahnya dengan harapan agar menjadi sarana bagi lahirnya kesadaran spiritual di kalangan para pembacanya, termasuk juga untuk dirinya sendiri.
Ja’alanallah wa iyyakum minal muhibbin ila hadhratih, amin.
Kuswaidi Syafi’ie, Penyair sekaligus Pengasuh PP. Maulana Rumi Yogyakarta.
Alhamdulillah Mantap Berkah…
terimkasih kak..semoga manfaat