Kuswaidi Syafi’ie
Hari-hari ini umat Islam, utamanya dari Indonesia, yang dianugerahi kesanggupan finansial dan kesempatan, sedang berkemas-kemas untuk memenuhi “panggilan” Allah SWT melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekkah. Idiom “panggilan” itu mesti saya letakkan dalam tanda kutip karena setidaknya didasarkan pada dua alasan. Pertama, boleh jadi kesadaran yang mendorong keberangkatan ke tanah suci itu bukanlah energi rohani yang murni, akan tetapi semata-mata keinginan untuk menaikkan taraf gengsi sosial dengan adanya sebutan atau predikat haji. Kedua, sangat mungkin keinginan yang kuat untuk melakukan rekreasi menjadi faktor pendorong yang dominan di balik keberangkatan menuju baitullah. Namun, apapun motif dan alasan mereka menempuh perjalanan ritual itu, saya ingin tetap mendoakan mereka satu persatu di keheningan batin saya: semoga haji Anda mabrur.
Kemabruran haji seseorang dapat dibuktikan dengan adanya kesanggupan mengolah dan memproses diri menuju tingkat kebenaran dan kebaikan secara maksimal. Haji adalah mahkota dari tingkatan lima rukun Islam. Siapa pun yang secara hakiki sanggup menggapainya berarti sesungguhnya dia telah sukses menempatkan diri rohaninya pada derajat tertinggi. Karena itu, kehidupannya menjadi barokah, penuh dengan nilai-nilai kemuliaan, baik secara vertikal maupun secara horisontal.
Jangan Lewatkan: Dosa dan Ampunan
Kemuliaan vertikal adalah soliditas hubungan yang harmonis antara seorang hamba pasca haji dengan Allah SWT lewat keberpijakan yang kukuh di atas ajaran-ajaran agamaNya. Dalam diri si hamba, cahaya kebenaran dan keindahan yang memantul dari arah hadiratNya begitu sangat kuat berkilauan. Pada konteks ini, ibadah haji tidak lain merupakan kepastian sekaligus perayaan atas kematian kehendak-kehendak kelam yang menyembul dari nafsu buruk si hamba. Sebab itulah, siapa pun yang menghendaki pangkat haji yang hakiki semestinya tuntas mengeksekusi pangkal-pangkal dari berbagai kebejatannya sendiri.
Hal yang demikian akan memberikan kesanggupan pada orang yang melaksanakan ibadah haji untuk menggeser perahu eksistensinya dari pulau kesementaraan yang disesaki oleh hal-ihwal yang nonsen menuju pulau keabadian yang berhiaskan ketentraman, kenikmatan, kebahagiaan, cinta dan kasih sayang. Meletakkan diri pada kedudukan yang terhormat itu adalah dengan berupaya membebaskan diri dari cengkraman-cengkraman akal partikular (al-‘aql al-juz’i) yang diganduli oleh berbagai prasangka yang kotor dan lamunan-lamunan duniawi yang murahan.
Video Pilihan: Dakwah dengan Cara Konfrontasi hanya Menghancurkan | Filsafat Pendiidkan KHM Hasyim Asy’ari #4
Alam semesta dengan segala asesoris dan pernik-pernik yang dikandungnya lalu menjelma hanya sebagai setitik debu yang kemudian tenggelam di keluasan dan kedalaman samudra rohani orang yang sukses secara hakiki melaksanakan ibadah haji. Datang ke Ka’bah dan bertawaf mengelilinginya bisa melahirkan efek pemerdekaan diri dari segala sesuatu yang tidak memiliki pertalian spiritual dengan Allah SWT. Berputar ke kiri saat melakukan tawaf itu berarti melepas diri dari logika jarum jam yang merupakan simbol dari kefanaan umur kehidupan di dunia ini.
Dari paradigma dan tataran spiritual setingkat itu siapa pun yang telah merasakan lezatnya haji kemudian bisa mengafirmasi sepotong ayat berikut ini: “Dan barangsiapa yang memsuki baitullah (Ka’bah), maka dia akan menjadi aman”, QS. Ali ‘Imran: 97. Yakni, terpagari dari segala sesuatu yang muspra dan durja, dari segala yang laknat dan sia-sia, dari segala yang kosong dan hampa. Dan makna “memasuki” pada ayat di atas itu tentu saja tidak secara harfiah, akan tetapi mutlak secara substansial.
Berada di tangga teratas pada struktur atau hirarki kerohanian yang demikian, seseorang yang dianugrahi pangkat spiritual sebagai haji yang mabrur kemudian ditantang untuk membuktikan kemabrurannya di tengah kehidupan sosial yang nyata. Hal itu tidak bisa ditawar-tawar. Sebab, bukti bahwa seseorang yang telah menunaikan haji itu betul-betul sampai pada maqam kemuliaan vertikal harus ada korelasi konkretnya dengan kemuliaan horisontal yang merupakan penanda bagi kesalehan sosialnya.
Jangan Lewatkan: Renjana pada Sang Maha
Pengelolaan yang rapi dan cermat terhadap lingkungan dan sistem sosial agar menjadi lebih damai, kondusif dan produktif bagi lahirnya amal-amal saleh dalam konteks kehidupan sosial yang luas secara otomatis lalu menjadi tanggung jawabnya. Itulah pengejawantahan dari filosofi kekhalifahan yang dipikulkan oleh Allah SWT kepadanya, yaitu menumbuh-kembangkan segala nilai dan keterampilan yang menjadi penyokong utama bagi tergapainya kemajuan masyarakat yang harmonis.
Ketika tanggung jawab vertikal sekaligus horisontal itu telah direalisasikan, maka seseorang yang hajinya mabrur itu secara ontologis sesungguhnya tidak lagi dibatasi oleh ruang lingkup kepribadiannya secara personal semata di tengah kehidupan sosialnya. Dia berarti telah menjelma sebagai kemajmukan masyarakat itu sendiri. Bahkan bisa saja tampil sebagai pemimpin mereka. Paradigma dan kehidupannya mencerminkan kebeningan dan keluasan cakrawala. Karena itulah, Allah SWT menyebut Nabi Ibrahim as, orang yang mendapatkan khithab atau perintah agar menyeru seluruh umat manusia untuk melaksanakan ibadah haji ke baitullah, dengan predikat umat walaupun secara lahiriah beliau adalah seorang individu: “Sesungguhnya Ibrahim itu adalah umat yang patuh terhadap Allah”, QS. An-Nahl: 120.
Baca Juga: UIII Buka Program Dual Master’s Degree dengan The University of Edinburgh
Orientasi keumatan menjadi hal yang paling urgen dalam pelaksanaan ibadah haji untuk membumikan nilai-nilai keilahian yang ada di dalamnya. Tidak usah semuanya, andaikan separuh saja dari sekian orang Indonesia yang melaksanakan ibadah haji itu sanggup untuk menggapai kemabruran yang hakiki sebagaimana semestinya, maka negeri ini akan memiliki “Ibrahim-Ibrahim” yang tangguh dalam menyelesaikan aneka ragam persoalan, tangguh dalam menggelar kemajuan yang bernuansa religius, tangguh dalam mempererat persaudaraan di antara sesama anak-anak negeri, jauh dari ranjau-ranjau korupsi, friksi dan dengki.
Ja’alanallahu wa iyyakum minal muhibbina ila hadhratih, amin.
Kuswaidi Syafi’ie, Penyair sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi Bantul Yogyakarta