Kuswaidi Syafi`ie
Akal merupakan potensi intelek yang bersemayam “di dalam” diri manusia dan berfungsi untuk menuntun mereka agar senantiasa memilih yang terbaik di antara sekian pilihan. Juga berfungsi untuk mengambil manfaat sebanyak mungkin dari segala sesuatu yang dijumpai. Pun berfungsi untuk menyelamatkan diri manusia dari berbagai macam bencana, seberapa pun takarannya, yang akan menimpa atau menghadang mereka.
Akal senantiasa berada pada posisi menimbang dan mengambil berbagai keputusan: mana yang baik, mana yang lebih baik dan mana yang terbaik. Mana yang benar, mana yang lebih benar dan mana yang terbenar. Dan lain sebagainya. Akal merupakan pemandu perjalanan manusia sekaligus sebagai pemegang kontrol bagi langkah-langkah kesadarannya. Tentu saja kalau akal itu difungsikan sebagaimana semestinya.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Memasuki Api Cinta
Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) pernah bertutur bahwa sebelum dirinya berjumpa dengan gurunya, Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi, dia merupakan seorang “pemuja” akal, seorang yang tergila-gila pada buku-buku, seorang pembaca yang sangat tekun, seorang yang selalu menjadi bagian terdepan di majlis-majlis para sastrawan. Dengan tuturannya itu, dia ingin mengatakan bahwa dirinya pada waktu itu merupakan seseorang yang sangat berpegang teguh dan bersandar pada akal.
Cinta yang selalu luput dari jangkauan dan sergapan akal serta-merta lalu menabrak kesadaran Maulana. Yaitu ketika dia menatap kening seorang saki rohani, menyaksikan aura cinta dari wajah gurunya sendiri, Matahari agama dari Tabriz yang diutus oleh takdir untuk mengobarkan api cinta di kedalaman batinnya. “Saat itu aku mabuk,” tuturnya. “Lalu kuhancurkan pena-penaku.” Artinya adalah bahwa sufi-penyair yang namanya begitu harum dan masyhur baik di barat maupun di timur itu, lalu berpindah dari logika pena (akal) yang kerontang menuju genangan cinta yang senantiasa gelisah dan berkobar.
Baca Juga: Cinta yang Irasional
Dan ketika akal yang cerdas dan gagah itu telah menyaksikan dan merasakan kedatangan sultan cinta, ia seperti seorang gubernur yang serta-merta menyisih dan kisut di pojok kesadaran ketika menyaksikan Sang Raja datang. Ketika itu akal tampil seperti seseorang yang sedang terseok-seok berjalan di lorong keputus-asaan.
Kobaran api cinta di dalam diri Maulana itu tidak saja menggerakkan dirinya untuk senantiasa bertawajjuh kepada Allah Maha Kekasih, tapi juga sangat efektif untuk menghalau orang-orang “terdekatnya” pada telaga keindahan dan keagungan hadiratNya. Membawa mereka pada kondisi rohani yang selalu menghidangkan pencerahan demi pencerahan, juga mengantarkan mereka pada penyingkapan rahasia-rahasia keilahian.
Kesempatan: Loker PT Astra Group – Otomotif dan Kendaraan
Cinta adalah fondasi bagi setiap kecemerlangan amal, sumber bagi segala keindahan dan kesempurnaan, permata paling mahal dalam kehidupan. Siapa pun yang tulus mengenakannya, dia berarti diperkenankan untuk menampung dan menjajakan salah satu sifat hadiratNya yang merupakan fondasi bagi terealisasinya penciptaan alam raya ini. Kita lahir atas nama cinta. Moga kita kelak menghadap kepada Allah Ta’ala dengan degup-degup cinta pula. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
Kuswaidi Syafiie, Penyair sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Jogjakarta.
lugas sekali pak yai