Kuswaidi Syafiie
Hambatan terbesar dalam diri seseorang bagi kemungkinan tumbuhnya benih-benih cinta ilahiat adalah eksisnya kabut-kabut kebosanan dan kejenuhan yang seringkali meringkusnya. Sehingga dia nyaris tidak bisa bergerak untuk mendapatkan kemajuan dan keuntungan walaupun hanya seinci.
Kebosanan dan kejenuhan merupakan hijab-hijab yang menghalangi ketajaman pandangan batin seseorang pada keindahan spiritual segala sesuatu yang semestinya didapatkan.
Seandainya hijab-hijab itu terbakar dan musnah, tentu saja dapat dipastikan bahwa hidup seseorang akan senantiasa penuh dengan greget dan antusiasme yang selalu membara, yang selalu mengantarkannya pada derajat-derajat yang lebih tinggi dan sempurna, pada fase-fase kerohanian yang lebih cemerlang dan lebih indah.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Wafat Penuh Keajaiban
Bukan saja tidak menguntungkan, hijab-hijab itu malah merupakan destruksi yang sangat akut bagi seseorang di dalam menempuh perjalanan rohani. Itulah sebabnya, tidak boleh tidak, salah satu tugas kita yang paling mendesak secara spiritual di dalam hidup ini adalah merobek hijab-hijab itu untuk kemudian membuangnya sejauh mungkin agar tidak pernah kembali dan menguasai kita lagi.
Setiap saat kita sebenarnya berhadapan dengan segala sesuatu yang senantiasa baru sekaligus menawan yang secara ideal semestinya menjadikan diri kita selalu tertarik dan terfokus kepadanya. Secara ideal, seharusnya tidak ada istilah bosan dan jenuh.
Kapankah idealisme rohani seperti itu akan tererialisi? Tak lain adalah ketika mata batin kita telah terbebaskan dari debu-debu hasrat dan kegandrungan kepada apa saja yang selain hadiratNya. Karena apapun yang lain itu sebenarnya kusam, layu, dan terlampau picisan.
Baca Juga: Cinta yang Irasional
Bagaimana mungkin tidak? Bukankah secara hakiki segala sesuatu itu tidak lain merupakan pengejawantahan dari kehadiran Allah Ta’ala? Itulah yang disebut sebagai bagian terdalam dari segala sesuatu. Itulah pula yang pernah diungkapkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam salah satu doanya: “Ya Allah, tolong perlihatkan kepada kami segala sesuatu sebagaimana hakikatnya.”
Akan tetapi sudah sangat jelas bagi kita bahwa sungguh tidak mudah untuk merealisasikan martabat rohani yang teramat ideal tersebut. Karena manusia sering kali diborgol oleh kelaziman demi kelaziman, oleh kejenuhan demi kejenuhan ketika berhadapan dengan bagian paling permukaan dari berbagai ornamen dan suasana kehidupan ini.
Ketika menyaksikan matahari muncul di ufuk timur, kebanyakan orang tidak tergetar rohaninya. Demikian pula ketika menyaksikan purnama raya yang berkisaran di jantung langit pada malam hari, ketika menyaksikan senja yang perlahan-lahan berubah menjadi kelam, ketika menyaksikan subuh yang jelita dan penuh aroma, ketika menyaksikan gemuruh teknologi dan kemajuan zaman yang sangat spektakuler. Dan lain sebagainya yang tentu saja terlampau banyak untuk disebutkan satu persatu.
Ambil: Beasiswa ke Luar Negeri untuk SLTA dan SLTP
Padahal semua itu merupakan ayat-ayat Allah Ta’ala yang secara hakiki sebenarnya senantiasa baru dan tidak pernah mengalami pengulangan biarpun hanya sekali. Sebab, pastilah sudah sangat gamblang bagi siapa pun bahwa hadiratNya itu maha kaya, juga maha luas tak terkira-kira.
Dalam salah satu sabdanya, Nabi Muhammad Saw pada suatu hari pernah menandaskan: “Tidaklah suatu hari memancarkan fajarnya kecuali ia mengatakan kepada manusia: ‘Aku adalah makhluk yang baru. Aku menyaksikan amalmu. Maka, waspadalah kalian terhadapku. Karena sesungguhnya aku tidak akan pernah kembali’.”
Artinya adalah bahwa hari Minggu ini bukanlah hari Minggu yang lalu, pagi ini bukanlah pagi yang kemarin, dan seterusnya. Karena itulah, kita juga mesti menghadapi dan mengkaji secara mendalam berlangsungnya momen-momen itu dengan paradigma cinta ilahiat.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Potret Eksistensi Nama
Dengan demikian, melalui latihan-latihan rohani, melalui renungan demi renungan terhadap keagungan hadiratNya, melalui rahmat dan kemurahan Tuhan, kita akan menyaksikan dengan penuh kenikmatan bahwa takdir alam semesta ini sesungguhnya senantiasa bergerak dan mengalir dari Dia yang merupakan awal mula segala sesuatu menuju pada Dia yang merupakan akhir segala sesuatu pula dengan mensinggahi sejumlah takdir yang beraneka ragam rupa dan takarannya.
Wahai Tuhan Nabi Adam, karena seluruh ubun-ubun umat manusia berada di genggaman tanganMu, tolong tariklah kami ke hadapan hadiratMu dengan selembut mungkin dan dengan cara yang seindah-indahnya. Agar kami tidak sudi melirik dan tidak tertarik kepada segala sesuatu yang sejatinya sia-sia dan hampa.
Wahai Tuhan Nabi Ibrahim, tolong anugerahkan kapak kesaktian pada kami dan kesanggupan menggunakannya untuk merobohkan berhala-berhala yang secara sengaja maupun tidak telah kami tegakkan di dalam diri kami ini.
Wahai Tuhan Nabi Muhammad, tolong anugerahkan ketulusan dan cinta kepada kami di dalam melayani dan merawat kehidupan sehingga jatah hidup kami betul-betul menjadi rahmat bagi sesama, menjadi penawar dan pembebasan bagi nasib getir dan dukalara mereka. Amin.
Kuswaidi Syafiie, Penyair Sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi Yogyakarta
1 komentar