Cak Salman
“Tak tebak saja wes. Hampir semua kepala desa di seantero Nusantara (terutama yang hampir purna), sekarang pasti merasa ‘senang’. Senang dalam tanda petik lho ya,” kata Maskawil memulai pembicaraan malam itu di rumah Madkadus.
“Senang kenapa?” tanya Madkadus sambil memasukkan potongan rebusan singkong ke dalam mulutnya.
“Ya senang, terutama dengan adanya keputusan presiden seputar penambahan masa jabatan kepala desa; dari yang semula enam tahun menjadi delapan tahun.”
“Kenapa pakai tanda petik segala,” Madkadus kembali bertanya.
“Begini,” jawab Maskawil sambil menggulung sarungnya. “Sengaja kata senang di atas aku beri tanda petik, karena secara psikologis, rasa senang mereka itu memiliki beragam makna, sesuai konteks dan suasana batin masing-masing kades.
Jelasnya begini. Pertama ada kades yang senang dengan tambahan waktu itu karena mungkin dia memiliki program bagus dan program itu tidak bisa terealisasi dengan sempurna kecuali dengan adanya tambahan waktu. Jadi mereka senang karena diberikan kesempatan untuk merealisasikan visi-misi dan programnya.
Nikmati Juga: Kado Doa untuk Pak Guru
Kedua, ada kades yang senang karena tambahan waktu itu memberikan kesempatan bagi para kades untuk menyelesaikan persoalan dan kasus-kasus yang terjadi di wilayahnya. Rasa senang yang kedua ini tidak begitu korelatif dengan upaya merealisasikan visi, misi dan program si kades melainkan sekadar mengatasi kasus persoalan yang mungkin berlarut-larut.
Ketiga, ada kades yang senang karena tambahan waktu masa jabatan itu dianggap memberikan kesempatan pada mereka untuk sedikit lebih lama menduduki kursi kekuasaan, mempertahankan status karir, jabatan, pekerjaan atau bahkan juga rasa gengsi-gengsi sosial. Tapi mereka tidak terpacu untuk mewujudkan visi-misinya, tidak ada inovasi dan gagasan baru yang bisa ditawarkan demi mengisi tambahan waktu yang diberikan. Yang ada hanya sekadar menghabiskan masa tambahan masa kerjanya berakhir, bekerja ala kadarnya, terima gaji. Selesai.”
Begitulah papar Maskawil sambil ikut menjawil potongan singkong rebus dan memakannya.
“Lah, itu yang ketiga sebenarnya agak parah, tapi di sisi lain itu yang disebut bernasib bejo. Wong bekerja ala kadarnya, hanya menunggu habisnya masa kerja, tapi gaji tetap,” kata Madkadus sambil ngakak.
‘Eeeh…jangan salah. Baik model kades yang pertama, kedua dan ketiga, dengan adanya penambahan masa jabatan ini, ketiganya sebenarnya sama-sama berada dalam resiko besar.”
“Loo kok bisa..!?”
Nijkmati Juga: Dari Mudik Horizontal ke Mudik Vertikal
Maskawil tidak langsung menjawab tapi malah menyalakan sebatang kretek kesukaannya, menghisapnya dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya ke udara.
“Rungokno, tak kandani,” katanya kemudian, “… jabatan pemimpin atau kepala itu adalah amanah. Karena amanah, maka setiap tindak tanduk, sikap, kebijakan dan perilaku mereka akan dimintai pertanggung jawaban secara lebih rinci. Itu tidak mudah. Makanya perintah taat patuh kepada pemimpin itu oleh Gusti Allah digandeng dengan perintah taat kepada Allah dan rasulnya. Taatlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya serta taatlah juga pada pemimpinmu. Begitulah firman-Nya di dalam Quran.”
“Djancukk… bisa ceramah juga kamu, hahaha,” potong Madkadus.
“Ya’ilaah….aku serius ini!” tukas Maskawil.
“Iyo…iyo. slowwaee… slowwae. Terus…terus!”
“Selain itu. Coba saja kamu pikir pakai logika, pakai akalmu yang kadang-kadang lelet macam bemo menderita osteoporosis itu. Tambahan waktu itu adalah tambahan beban, tambahan amanah. Kamu yang seharusnya memikul beban amanah di pundakmu sebanyak enam karung, malah ditambah dua karung lagi. Jadinya delapan karung. Itu jelas tambah berat, baik bagi kades model pertama, kedua dan lebih-lebih yang ketiga,” ujar Maskawil dengan raut muka serius.
“Yaa terus gimana dong. Undang-undang masa jabatan kades sudah klir. Dan tidak mungkin juga bakal ada kades yang rela hati milih tidak melanjutkan tambahan waktu masa jabatannya karena mereka sadar tambahan waktu masa jabatan itu sama halnya dengan tambahan amanah seperti ucapanmu tadi,” kata Madkadus.
Nikmati Juga: Nadzmu al-Mathlab: Pesan Moral dan Kreativitas untuk Pendidik
“Ya jalani saja. Wong mereka yang mau kok. Yang jelas, kalau memakai terminologi umur, orang yang umurnya ditambah, kata sebagian pendapat ulama itu adalah cara Tuhan menangguhkan sangsi dan hukuman atas dosa dan kesalahan yang pernah dia lakukan sebelum Tuhan mengakhiri masa hidupnya alias modhar, ko-it. Tujuan penangguhan itu agar dia di sisa hidupnya jadi sadar dan bertobat. Kalau dia sadar dan bertobat, nasib hidupnya akan baik. Kalau tidak juga sadar dan tidak bertobat, alamat celaka.
Begitu juga dengan tambahan masa jabatan. Tambahan masa jabatan itu secara tidak langsung juga berarti penangguhan masa purna atau akhir masa bakti. Kalau tambahan masa jabatan itu mereka gunakan untuk menjadi lebih baik, maka masa purnanya akan meninggalkan sejarah yang baik. Tapi kalau sama saja atau bahkan lebih buruk dari sebelumnya, yaa innalillahi wa inna ilaihi rajiun,” kata Maskawil sambil membuang rokoknya yang sudah habis. Sementara Madkadus hanya mengangguk-angguk sambil mengernyitkan kedua alisnya karena merasa kepalanya tiba-tiba jadi pening.
Cak Salman, Esais Kebumin Jawa Tengah