Rusdi
Siang itu di tahun 2018, dengan sebuah motor tua dan di antara kian ramainya pengguna jalan raya di kota Jogja, saya menyusuri Jalan Paris sepulang dari kampus. Sejak di perjalanan, saya sebenarnya sudah berniat ingin langsung tidur siang sesampainya nanti di pesantren. Beberapa tugas kampus dan rencana-rencana penelitian tesis dengan sekian tetek bengek-nya benar-benar telah banyak menguras tenaga saya hari itu.
Tapi sesampainya di pesantren ternyata Tuhan memberi saya takdir yang lain. Kedua mata saya bukannya tergoda saat melihat bantal, melainkan terusik saat melihat rak kitab yang terlihat tidak beraturan. Seakan dibimbing oleh sebuah kekuatan rahasia, sesampainya di pesantren, rasa kantuk saya hilang dan sebaliknya saya justru melangkah mendekati rak yang berisi kitab-kitab peninggalan almarhum guru saya, K.H. Zainal Arifin Thoha.
Jangan Lewatkan: Biar tidak Tersesat, Ini Cara Benar Menemukan Kebenaran | Pendidikan Kebenaran | Fahruddin Faiz #1
Melihat kitab-kitab yang tidak beraturan seperti itu, ada kesedihan dan kekecewaan yang menguasai perasaan. Kitab-kitab itu seperti benar-benar telah sempurna kehilangan tuannya sehingga kurang diperhatikan dengan baik. Apalagi ketika saya menemukan beberapa kitab sudah dalam keadaan rusak dan beberapa kitab lain bagian-bagiannya sudah tidak utuh lagi.
Saya menarik nafas. Bagaimana mungkin orang-orang terpelajar yang berada di sini tidak mempedulikan kitab-kitab ini! Saya membatin tapi tidak ada perlunya mencari-cari kesalahan pada orang lain. Di tengah kecamuk perasaan sedih seperti itu, saya merapikan kembali kitab demi kitab, menyusun lembaran-lembaran yang sudah terlepas dan mengurutkannya kembali.
Beberapa saat kemudian, saya menjumpai sebuah kitab yang semula saya duga hanya sebuah cover saja karena sangat tipisnya; hanya 16 halaman. Kitab itu ditulis oleh Syaikh Muntakhab bin Muwaffaq dengan judul Nadzmu al-Mathlab fi Adabi Ta’allumi Ilmi al-Din. Kitab itu dicetak pada tahun 1405 Hijriah / 1984 Masehi dan merupakan semacam panduan bagi pelajar di Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Benih-benih CInta
Saat melihat dan membaca isinya sekilas, kitab yang dicetak dengan begitu sangat sederhana itu membuat saya terharu. Betapa peduli dan kreatifnya para muallim kita dulu sehingga mau mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk mewariskan gagasan-gagasannya dalam berbagai disiplin keilmuan meski dengan media yang begitu terbatas dan sederhana.
Saya tahu bahwa mereka berbuat demikian demi menghindari dosa kitmanu al-ilmi atau menyembunyikan ilmu. Mereka tidak ingin terbebani oleh suatu kesalahan karena dianggap tidak menyampaikan apa yang mereka tahu. Karena itu mereka berkarya melalui kerja-kerja pewarisan ilmu dengan cara menulis kitab; sesederhana apa pun, setipis apa pun bentuknya. Salah satunya seperti karya Syaikh Muntakhab ini.
Khasnya orang yang dibesarkan dan dididik di pesantren, pengarang kitab Nadzmu al-Mathlab ini memaparkan tentang prinsip moral yang harus dimiliki oleh para pelajar yang sedang menempuh pendidikan. Keharusan pelajar untuk menghiasi diri dengan akhlak, seperti bagaimana seharusnya memperlakukan guru dan kitab-kitab (buku pelajaran) menjadi sajian penting di dalamnya.
Materi-materi seperti itu terasa penting untuk kembali dikaji di zaman sekarang ini. Di tengah-tengah kian maraknya perilaku-perilaku tidak bermoral yang sebagian justru dipertontonkan oleh orang-orang terpelajar, kehadiran kitab-kitab etika semacam Nadzmu al-Mathlab ini tetap memiliki urgensi yang tidak akan pernah habis sampai kapan pun. Tidak ada ilmu yang bisa dibanggakan apabila pemiliknya justru tidak memiliki kecakapan moral. Sebab akhlak akan selalu mengungguli ilmu dalam kehidupan seseorang.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Pusat Info Jogja Loker
Tak terasa siang itu saya membaca habis karya Syaikh Muntakhab hingga azan Ashar berkumandang. Tanpa ragu sedikit pun saya menempatkan kitab yang ukurannya paling tipis di antara kitab-kitab lainnya itu di tempat tersendiri. Bukan tanpa alasan saya melakukan demikian. Setidaknya, selain dapat dengan mudah mencarinya untuk dipelajari di lain waktu, keberadaan kitab tipis itu akan selalu menjadi pengingat bahwa siapa saja yang berprofesi sebagai muallim/guru, keterampilan mewariskan ilmu itu harus selalu dilakukan lewat karya; sesederhana apapun bentuknya. Meski bukan lewat karya tulis, setidaknya lewat perilaku akhlak yang tulus. Wallahu A’lam.
*) Penulis adalah pengamat Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta, juga Guru MAN 4 Kebumen.
mantab pak guru
siap kak..