Salman Rusydie Anwar
Seorang guru, di tengah malam yang sunyi-syahdu, terisak-isak dalam tangisnya. Beberapa menit yang lalu, ia baru selesai memanjatkan doa usai melakukan salat malam sebagaimana biasanya. Salah satu permintaanya kepada Tuhan saat ia berdoa di tengah malam seperti itu adalah:
“Barikanlah keberkahan dan petunjuk-Mu pada setiap apa saja yang hamba ajarkan kepada mereka. Jadikan mereka orang-orang yang baik, yang setia dan patuh kepada-Mu. Jangan hilangkan ingatan mereka kepada-Mu setiap waktu, meskipun karenanya mereka akan lupa kepadaku,” begitulah pinta si guru.
Waktu berputar dan membawa ingatan si guru kepada sebuah peristiwa tiga puluh tahun yang lalu, ketika pada suatu malam almarhum ayahnya pernah mengucapkan sebuah ungkapan kepada seseorang yang datang minta doa restu untuk melamar sebagai guru. “Guru yang sukses itu manakala mampu menjadikan muridnya lebih berhasil dari dirinya sendiri.”
Ia masih kecil ketika mendengar kata-kata itu meluncur dari mulut almarhum ayahnya. Namun ia masih bisa mengingat dengan jelas ungkapan tersebut dengan sangat baik. Apakah itu tandanya ia memang ditakdirkan menjadi seorang guru, sebagaimana ayahnya dulu yang juga seorang guru? Entahlah. Hanya saja, kata-kata itulah yang selalu melintas di dalam pikirannya setiapkali berangkat untuk mengajar di sebuah sekolah, termasuk setiapkali memasuki ruang-ruang kelas.
Jangan Lewatkan, Baca Juga: Dari Mudik Horizontal ke Mudik Vertikal
Kemudian ingatannya beralih pada peristiwa yang lain. Sebuah peristiwa yang menguji dirinya apakah ia memang patut menjadi seorang guru, yang kata orang Jawa digugu lan ditiru. Pada suatu hari, seorang ibu mendatangi si guru itu dan memprotes nilai anaknya untuk mata pelajaran yang diampu si guru tersebut. “Anak saya tidak mungkin hanya mendapat nilai seperti ini. Bapak tidak objektif. Saya tahu anak saya cerdas. Buktinya nilai pelajaran yang lain bagus, hanya nilai pelajaran bapak yang jelek.”
Si guru berusaha menjelaskan duduk persoalannya meskipun akhirnya ia menyerah. Dan atas saran teman-temannya sesama guru, ia bersedia memberikan tambahan nilai meskipun dengan syarat, murid itu bersedia mengerjakan tugas yang ia berikan. “Seseorang mendapatkan nilai atas dirinya karena ia berbuat sesuatu.”
Begitulah prinsipnya meskipun ia juga kerap bertanya-tanya untuk apa seorang murid atau orang tua mereka begitu bangga atau sebaliknya risau melihat deretan angka-angka? Apakah setiap angka yang tinggi dengan sendirinya menunjukkan kapasitas keilmuannya yang juga tinggi sementara mereka yang mendapatkan angka nilai rendah kadar keilmuannya juga rendah?
Pak guru kita ini tidak menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaannya itu. Ia hanya tahu betapa banyak karya-karya peradaban serta pemikiran-pemikiran paling berpengaruh di dunia ini yang lahir dari orang-orang yang semula dianggap bodoh dan nilai pelajaran mereka juga rendah. Pak guru kita ini berpikir bahwa manusia semakin terperangkap dalam dunia angka-angka. Ia membayangkan bahwa suatu saat seorang murid datang ke sekolah dengan tujuan mencari angka nilai pelajaran daripada substansi keilmuannya.
Cermati Juga: Nasehat Gus Mus Hal Ihwal Ramadan
Itulah sebabnya, setiapkali si guru itu mengadakan ujian untuk pelajaran yang ia ajarkan, sama sekali ia tidak membubuhkan nilai di dalam buku tugas murid-muridnya. Ia hanya menuliskan sebuah kalimat pendek, sebuah kalimat yang berisi doa, yang mungkin bagi sebagian orang atau murid-muridnya sendiri kurang memuaskan.
Namun ia tidak peduli. Ia hanya ingin terus menuliskan kalimat-kalimat doa sebagai tanda bahwa ia ingin selalu mendoakan murid-muridnya. Ia mempertahankan prinsipnya sendiri meskipun tidak ada satupun rekan-rekannya sesama guru yang mendukung atau mengikutinya. Baginya, hidup selalu memberikan pilihan dan ia sudah memilih.
Seorang guru, di tengah malam yang sunyi-syahdu, terisak-isak dalam tangisnya. Ia baru saja membuka sebuah bingkisan kado atas ulang tahunnya dari murid-muridnya. Kado yang berisi sebuah foto dirinya bersama empat orang muridnya beberapa tahun yang lalu. Ia tercekat ketika di balik foto itu tertulis sebuah kalimat pendek berisi doa yang sama persis dengan kalimat doa yang biasa ia tuliskan di dalam buku tugas murid-muridnya sejak dulu.
Hal yang paling kami rasakan dalam kehidupan kami saat ini adalah bagaimana doa-doamu bekerja. Mungkin kami tidak bisa membalas jasa dan budi baikmu dulu pada kami. Tapi kami akan balas mendoakanmu, sama persis seperti doa-doamu dulu. Bárokalláhu laka.
Ia kembali menyeka air matanya sambil berusaha mengingat nama-nama keempat muridnya yang ada di dalam foto itu.
“Iya. Ini yang namanya Isna,” gumannya sambil menunjuk pada gambar seseorang yang sebenarnya bernama Intan. “Dan ini Hasnah,” katanya lagi menunjuk pada gambar seseorang yang sebenarnya bernama Faizah. Si guru tersenyum karena merasa masih bisa mengingat dengan benar nama-nama muridnya dalam foto itu meskipun sebenarnya salah.
Salman Rusydie Anwar, Penasehat Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta