Salman Rusydi Anwar
Setiap menjelang lebaran, kata-kata mudik selalu terdengar di tengah-tengah kita. Mereka yang merantau, jauh dari kampung halaman, orangtua dan sanak saudara akan selalu dirundung oleh semacam ‘beban’ kerinduan yang untuk meringankannya seakan tidak ada jalan lain kecuali dengan mudik, mewujudkan perjumpaan fisik dan batin dengan hal-hal yang disadari sebagai asal.
Kalau Discartes berkata ‘aku berpikir maka aku ada’, maka untuk perantau mungkin pernyataannya berbeda; aku rindu maka aku mudik. Dengan kata lain, kerinduanlah yang mendorong seseorang bersedia menempuh jauhnya perjalanan dengan berbagai suka duka di dalamnya.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Guru, Utopia
Dalam konteks pengertiannya yang artifisial, mudik tidak lain adalah melakukan serangkaian perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang tujuan utamanya adalah mempertemukan kita sebagai manusia dengan sesama kita, baik itu berupa orangtua, saudara, tetangga, teman dan sebagainya. Artinya, keberadaan orang lain menjadi salah satu alasan penting yang karenanya kita rela menanggung segala bentuk ‘penderitaan’ di jalanan untuk sekadar menjumpai orang-orang yang kita cintai.
Tetapi, spirit mudik tentu tidak hanya cukup sampai di situ saja. Bila kata-kata mudik lebih dominan diartikan sebagai perjalanan menuju perjumpaan dengan sesama, barangkali mudik semacam itu dapat dikatakan sebagai mudik horizontal. Sementara mudik sebagai perjalanan kembali kepada apa yang kita sebut sebagai asal juga memiliki dimensi yang bersifat vertikal. Bahasa Qur’an yang barangkali dapat menggambarkan makna ‘mudik’ vertikal ini adalah kalimat istirja’, yaitu inná lilláhi wa inna ilaihi ráji’ún.
Di dalam kalimat istirja’ tersebut sangat jelas disebutkan bahwa asal kita sebagai manusia tidak lain adalah Allah Swt. Bahkan seluruh alam semesta ini semuanya berasal dari-Nya. Keberadaan dan kehadiran kita di atas muka bumi ini tidak lain seperti sedang menempuh rute perjalanan kembali atau ‘mudik’ kepada-Nya, kepada asal-usul kita yang paling hakiki.
Baca Juga: Nadzmu al-Mathlab: Pesan Moral dan Kreativitas untuk Pendidik
Sebagaimana mudik ke kampung halaman yang selalu dipenuhi oleh suasana batin penuh rindu dan cinta, perjalanan ‘mudik’ menuju asal-usul kita juga memerlukan kekuatan yang sama. Karena alasan rindu dan cinta kepada keluarga di kampung halaman, kita yang mudik menyiapkan tenaga, biaya, dan rupa-rupa buah tangan sebagai wujud persembahan kasih sayang kepada mereka. Demikian halnya kita yang saat ini sejatinya sedang berada dalam situasi mudik kepada-Nya juga perlu menyiapkan tenaga dan sejumlah perbekalan lainnya.
Energi yang sangat diperlukan oleh manusia dalam menjalani mudik vertikal ini tidak lain adalah akumulasi antara rindu, cinta, ketulusan, ketakwaan yang membaluri seluruh ketaatan kita kepada-Nya. Pada saat akumulasi energi ini sudah menyatu sebagai bekal perjalanan kita menuju hadirat Allah Swt, maka sebagaimana sabda Nabi Saw, Allah Swt akan menyambut kedatangan kita dengan ‘berlari’.
Pertanyaannya; masih bergelorakah rindu, cinta, ketulusan, ketaatan dan ketakwaan kita sebagai bekal ‘mudik’ kepada-Nya? Dunia sudah terlalu banyak mempertontonkan kemilaunya yang seringkali menyebabkan gelora cinta dan rindu kita semakin meredup. Dunia pun kerap mengaburkan arah pandang kita kepada Allah Swt sebagai asal-usul keberadaan kita sekaligus tujuan akhir perjalanan kita.
Baca Juga: Potret Eksistensi Nama
Karena itu, merangkum dan menata kembali rindu dan cinta kita kepada-Nya agar geloranya semakin sempurna merupakan sebuah keharusan agar kita tidak lagi mengenal kata menderita pada saat sedang mudik kepada-Nya, biarpun kita berjalan di bawah bayang-bayang kiamat sekalipun. Pecahnya hari kiamat ditandai oleh tiupan terompet dan tersingkapnya kuburan, tetapi di mata para pecinta, dengan cintanya yang membara, pecahnya kiamat akan terlihat seperti merekahnya fajar, begitulah dendang Mohammad Iqbal.
Salman Rusydie Anwar, Pemerhati Budaya dan Pendidik.
3 komentar