Domba Gus Randy Menghadap Tuhan

Esai, Lanemu501 Dilihat

Bagian #1

Ahmad  Muchlish Amrin

Usai salat Ied dan mendengarkan khutbah Idul Adha, orang-orang pada berkumpul. Tak lain untuk menyembelih hewan Qurban.

Tahun ini ada 5 ekor domba berdiri tegak, siap digesek pisau tajam mengkilat. Bokongnya Ginuk-ginuk. Tanduknya melengkung seperti secelurit bulan tanggal enam. Mata domba itu menatap cerah meskipun kadang meneteskan air mata dari kelopaknya yang indah.

Dari 5 ekor domba itu, 1 ekor milik Gus Yus, 1 ekor milik ke Seppo Arif Billah, 1 ekor milik Gus Fiz, dan 2 ekor milik Gus Randy.

Yang menjadi perbincangan orang-orang atau lebih tepatnya para jamaah, adalah 2 domba Gus Randy.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Kisah Kiai Andi dan Kiai Hakim

“Keren. Gus Randy tahun ini bisa Qurban dua ekor, ” Begitu bisik gus Arif pada Gus Yus. “Semoga tahun depan kita bisa menirunya, ”

“Tumben. Padahal sebelum-sebelumnya nggak pernah Qurban,” Begitu celoteh Gus Fiz.

“Ya, mungkin beliau baru ada rezeki banyak, ” Gus Arif menanggapi.

Ya begitulah mereka berbincang. Semua orang sangat terkesan dengan Gus Randy.

Satu persatu kambing dirobohkan. Pisau-pisau bekerja cerdas dan tangkas. Domba satu, domba dua, domba tiga hingga domba lima tergeletak dengan darah bersimbah. Para penyembelih tertawa penuh senang, bergumun, yang lain hanya terdiam. Sementara domba-domba itu tegang, menghadap tarikan maut menjemput.

Begitu pisau tajam berlabuh di lehernya, itulah akhir kehidupannya. Ruhnya  melayang merenggang dari tubuhnya. Domba-domba itu tak pernah membayangkan, akan berakhir di tangan tukang sembelih, ruhnya melayang, dagingnya diiris, dibakar di atas tungku, ditusuk jadi sate, dan dimakan dengan penuh rasa gembira; domba-domba itu tidak tahu, apakah akan senang dan sedih.

*

Tersebar kabar di seluruh kampung, kalau gus Randy tidak pernah keluar rumah. Kadang senyum. Kadang menatap ke angkasa dengan tatapan kosong. Terkadang pula duduk bersila. Tegak. Kepala menunduk dan komat-kamit seolah-olah membaca wirid.

Semua orang tahu, kalau dua ekor domba itu adalah dua harta miliknya. Selain itu tidak punya. Ya, satu-satunya yang ia punya hanya tersisa dua ekor domba.

Baca Juga: KKN Tematik 108 di PP Harapan Ar-Risalah Bantul Yogyakarta

Di kampung itu ia tinggal di kontrakan. Sebetulnya, ia pernah punya rumah. Karena ia terlilit hutang akibat senang main BINOMO, akhirnya ia memutuskan untuk menjual rumahnya.

Yang tersisa dua ekor domba yang ia pelihara sebagai sampingan. Hanya tinggal dua ekor itulah harta miliknya. Dan, hari ini dua ekor domba itu ia Qurbankan. Jadi, habislah semuanya. Yang ia punya hanya diri dan Tuhan.

Itulah, yang membuat semua orang kagum, terkesan, dan memuji gus Randy. “Imannya luar biasa,” Tukas gus Yus.

“Keyakinannya mantap,” Sambung gus Rizal, “Layak dicontoh,”.

Bagian #2

Orang-orang kampung memang penasaran, mengapa gus Randy tidak pernah keluar. Dan, di saat gus Hakim bersua ke rumahnya, gus Randy tidak menyahut di saat berbicara.

Kata-kata yang muncul dari bibirnya yang indah, hanya ia bilang, “gara-gara kiai Am!

” Gara-gara kiai Am,”

“Gara-gara kiai Am,”

Kata-kata itu seperti diwiridkan. Berulang-ulang. Penuh penjiwaan. Penuh kekhusyukan. Dan, gus Hakim tentu bingung, apa maksud kata-kata itu.

Gus Hakim tentu penasaran dan ingin mencari tahu, mengapa gus Randy tiba-tiba jadi seperti itu.

Gus Hakim mendatangi rumah ke seppo Arif Billah, ia bercerita semuanya perihal keadaan gus Randy. Ke Seppo pun menjawab tidak tahu, begitu juga ketika ia menjumpai, gus Yus, gus Fiz, dan gus Rizal. Semuanya menjawab tidak tahu.

Akhirnya, mereka semua bersepakat untuk sowan ke rumah kiai Am. Apa sebenarnya yang terjadi dengan gus Randy dan kiai Am?

*

Matahari sedikit bergeser ke barat. Awan-awan tipis kuning emas menempel di langit kampung. Rombongan gus Hakim, gus Yus, gus Fiz, dan gus Rizal mendatangi rumah kiai Am.

Mereka pun disambut baik oleh kiai Am. Mereka duduk di emperan mushalla tempat kiai Am mengajar. Kue-kue dan buah disuguhkan di atas karpet merah bermotif bunga-bunga indah.

Gus Hakim memulai pembicaraan, menyampaikan maksud kedatangan mereka. Sementara yang lain terdiam mendengarkan. Gus Hakim bercerita perihal kondisi gus Randy dan kata-kata yang diucapkan berulang-ulang, “gara-gara kiai Am! ”

Ia pun bertanya pada kiai Am. Apa sebenarnya yang terjadi dengan gus Randy?

Kiai Am tersenyum. Sesekali pandangannya beralih ke halaman rumah yang dipenuhi pot-pot tanaman. Kemudian kiai Am bercerita.

“Suatu hari sekitar seminggu yang lalu,” Kiai Am memulai ceritanya. “Gus Randy datang ke sini. Ia bercerita perihal keadaan dirinya dan minta jalan keluar, agar masalah ekonomi tidak membelit dirinya,” Kiai Am bercerita sambil berbinar-binar.

“Ia bilang pada saya, kiai Am, saya ini sudah tidak punya apa-apa. Dulu pernah punya rumah, tapi sudah dijual untuk bayar hutang. Sekarang saya tinggal di rumah kontrakan, itu pun di dekat kuburan. Sendirian. Tidak punya apa-apa selain dua ekor domba yang saya pelihara dari kecil. Mungkin. Ya, bila mungkin kiai Am memberikan saya cara atau tips atau apalah agar saya bisa keluar dari masalah ini,” Begitulah kiai Am bercerita menirukan cerita gus Randy kepadanya.

“Lalu saya tanya, beneran kamu ingin jalan terbaik?” Begitu kiai Am berkisah.

“Gus Randi pun mengatakan bahwa dirinya memang benar-benar menginginkan jalan keluar dari saya. Saya bilang, baiklah kalau begitu. Tapi dengan syarat apa yang saya katakan, wajib kamu ikuti,”

“Ia bilang, siap kiai,”

“Bukankah kamu tadi berkata, tidak punya apa-apa lagi selain rumah kontrakan di dekat kuburan yang tinggal 5 bulan dan dua ekor domba?”

“Gus Randy menjawab, betul kiai,”

“Kalau begitu, karena ini sudah mendekati Idul Qurban, bawa dua  ekor dombamu ke Masjid. Qurbankan semuanya. Setelah itu, kamu akan mendapatkan jalan keluar terbaik.”

“Bukankah Allah ta’ala memberikan segalanya kepada hambanya setelah semuanya pasrah dan ridha? Seperti Nabi Ibrahim yang dengan rela hati menyembelih putranya Nabi Ismail, kemudian beliau mendapatkan kelapangan? Bukankah Nabi Ismail mendapatkan kelapangan setelah beliau pasrah atas isyarat langit melalui mimpinya? Sehingga ia mengatakan kepada ayahnya, Nabi Ibrahim, laksanakanlah Ayah, semoga Ayah termasuk golongan orang-orang yang sabar. Lalu, setelah itu karunia dan rahmat Allah berlimpah untuknya menjadi seorang Nabi.”

Kiai Am masih berkisah. Sementara gus Hakim, gus Yus, Ke Seppo, gus Fiz, dan gus Rizal mendengarkan dengan seksama. Kiai Am melanjutkan ceritanya.

“Saat itu gus Randy mengangguk-anggukkan kepala. Dan, ia mengatakan pada saya, siap kiai. Domba saya akan saya antarkan sekarang juga ke masjid dan akan saya serahkan kepada panitia Qurban,”.

Kata ke Seppo dalam hatinya ” TOMPES ONGGHU MUN SATEYA. BHERSE ONGGHU. EYABIK EMBI’NA.”

“Setelah itu,” Kiai Am masih melanjutkan kisahnya. “Setelah itu gus Randy pamit pulang. Ia berkata, mohon didoakan kiai, semoga saya diberi yang terbaik. Dan saya mengamininya.”

Gus Hakim dan gus Gus saling pandang. Sementara gus Fiz nyemil buah anggur yang tersedia di hadapannya. Asap mengepul dari bibir gus Rizal. Sementara ke Seppo berbisik sangat pelan kepada kiai Am. Entah apa yang dibicarakan.

Bagian #3

Hari itu. Ya, hari itu ruh-ruh domba, sapi, unta yang diqurbankan melayang bagai anai-anai. Wajah-wajah mereka sebagian senang dan sebagian lain sedih serta murung.

Malaikat-malaikat telah menunggu kedatangan mereka, dengan sayap-sayap jelita.

Dan, di saat tiba di hadapan malaikat-malaikat yang menunggu itu. Ruh-ruh hewan Qurban itu berbaris rapi dengan wajah-wajah yang bermacam-macam.

“Selamat datang untuk kalian semua. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam,” Begitu gelegar suara pimpinan malaikat penunggu itu.

Tiba-tiba malaikat mendekati ruh seekor sapi yang sangat besar. Namun wajahnya sedih dan murung.

“Hei, sapi jantan. Angkat mukamu,” Sapi  jantan itu mengangkat kepalanya. Matanya berkedip lesu.

“Bukankah kamu sapi dari Indonesia?”

“Betul tuan”

“Dari Ibu kota Jakarta?”

“Betul tuan!”

“Dari sebuah masjid paling besar di kota itu? Dan kamu diqurbankan oleh seorang menteri?

” Betul tuan”

Sapi ginuk gemuk itu menundukkan kepalanya lagi. Alisnya mengernyit dan matanya berkaca-kaca.

“Angkat kepalamu wahai sapi menteri,” Malaikat menggertak dengan nada meninggi. Sapi itu mendongak dan menangis penuh sesal.

“Buka mulutmu. Kenapa kamu menangis,”

Kemudian ruh sapi ginuk sang menteri itu bersuara, “begini tuan. Saya sungguh tidak menyangka akan menjadi bagian dari orang itu. Saya dari kecil hidup di kampung,” Ruh sapi itu berusaha mengingat di masa hidup.

“Saya dipelihara oleh seorang petani. Saya diberi makan olehnya makanan yang diambil dari ladang miliknya sendiri. Diberi minum dari air yang digali dari sumurnya sendiri. Dan kadang bila rumput di ladangnya sudah habis, ia membeli rumput dari ladang orang lain dari hasil kerja kerasnya sendiri,” Ruh sapi itu berkisah sambil sesenggukan.

“Begitu saya sudah besar dan tubuh saya menjadi gemuk. Tuan yang memelihara saya, menjual saya pada seorang pedagang kampung. Itulah awal mula saya sedih. Kemudian pedagang kampung itu membawa saya ke pasar sapi. Lalu pedagang itu menjual saya ke pedagang lain lain. Dan ia membawa  saya ke kota Jakarta. Lalu, seorang pedagang yang membawa saya ke Jakarta menjual saya kepada ajudan seorang menteri. Dan, saya dibawa pulang ke rumah menteri itu.” Tangis sapi itu semakin menjadi-jadi.

“Lah, kan nggak apa-apa kamu dibeli oleh menteri, dan menteri itu mengqurbankanmu?” Pimpinan malaikat itu masih mengintrogasi.

“Tapi, tuan…” Terputus. Tangisan ruh sapi ginuk itu semakin menjadi-jadi.

“Tapi tuan….” Terputus  lagi.

“Ajudan menteri itu membawa saya ke rumah seorang menteri. Ia membeli dari uang yang dikirim oleh pengusaha taipan kaya, yang tujuannya agar diloloskan oleh sang menteri.” Ruh sapi itu nyaris terbaring karena sedih di hadapan malaikat. Sapi itu melanjutkan, “dan sang menteri itu menyejuinya.”

“Kembalilah kamu ke bumi,” Malaikat itu menghempaskan ruh sapi gemuk itu. Dan, ruh itu melayang gentayangan meratapi kesedihannya.

Begitulah semua hewan-hewan Qurban diperiksa oleh tim malaikat penunggu sebelum diangkat ke langit. Satu persatu. Detail.

Tibalah waktunya, malaikat penunggu memeriksa hewan Qurban paling akhir. Dua domba yang berada di satu tempat.

“Kisahkan padaku mengapa kalian berdua sangat riang dan bergembira?”

Dua domba itu saling pandang. Tak ada yang mengeluarkan kata-kata.

“Cepat! Kisahkan padaku kenapa kamu tiba di sini.”

Dua domba itu mendongak ke atas. Rombongan ruh-ruh yang terbang naik menuju langit. Sesekali juga menoleh ke bawah, ruh-ruh hewan yang turun gentayangan. Mereka kembali. Dua ekor domba itu yang pada mulanya riang, jadi sedikit lebih tegang.

“Hei, betulkah kalian dua ekor domba dari negeri yang kaya raya bernama Indonesia?”

“Betul tuan.”

“Dari sebuah daerah yang katanya berbudaya Daerah Istimewa Yogyakarta?”

“Betul tuan” Jawab serentak dua ekor domba itu.

“Betulkah kalian domba dari Kecamatan Kalasan, tepatnya daerah Purwomartani. Dari seorang hamba yang tinggal di rumah beratap harpleks dan di dalam rumah itu banyak helm dan di belakang ada pekuburan.”

“Eeeehhhh, tuan malaikat ini tahu saja ya,” Salah satu domba berkilah pada domba lain.

“Diam!”

“Kenapa kalian tiba di sini dengan riang gembira,”

Salah satu domba itu memberikan alasan kepada malaikat, “begini tuan, saya dari kecil dipelihara oleh tuan saya. Ia tidak pernah membiarkan saya lapar. Setiap pagi saya diberi minum. Kadang, apabila saya sakit, ia memelihara dengan penuh kasih sayang.”

Kemudian domba satunya melanjutkan, “tuan yang memelihara saya, orangnya sabar. Tidak pernah marah pada siapapun. Jika punya uang, tak pernah ia berpikir untuk menyenangkan dirinya sendiri. Ia membeli makanan untuk anak yatim, fakir miskin, dan janda-janda yang tidak mampu.”

Domba iti berkaca-kaca di saat mengingat tuan yang memeliharanya, “dan setelah kami besar. Ia mengqurbankan kami dengan penuh ridha dan ikhlash.”

“Baiklah kalau seperti itu,” Demikian malaikat penunggu berkata.

“Masih ada lagi tuan…”

“Iya bagaimana?”

“Tuan yang memelihara saya suka ngaji setiap sore. Bila malam hari diisi dengan shalat-shalat malam. Dan bila ada orang datang ke rumahnya, ia menyambutnya dengan senang. Tamunya, tidak boleh pulang sebelum makan. Ia juga suka menggelar dan menggulung membersihkan karpet bila ngaji sudah usai. Ia lakukan agar orang-orang yang ngaji bisa lebih senang. Sahabat-sahabatnya juga orang baik-baik semua, tuan!”.

“Baiklah! Bukankah tuan yang mengqurbankanmu bernama gus Randy?”

“Betul tuan,”

“Ya, baiklah! Silahkan kalian naik ke langit, bersama ruh-ruh hewan qurban yang diterima….”

 

Ahmad  Muchlish Amrin, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 komentar