Ahmad Muchlish Amrin
Alkisah, qala al-qa’il:
Pada hari yang sangat cerah, tersebutlah dua ulama kondang: Kiai Hakim dan Kiai Andi.
Dua ulama’ ini sama-sama memiliki kuda. Kiai Hakim memelihara kuda putih, kiai Andi memelihara kuda hitam.
Bila hendak bepergian, tentu keduanya mengendarai kuda. Dan, dengan kuda-kuda itulah keduanya bisa menyusuri bukit dan hutan, apalagi kota-kota kecamatan.
Kiai Hakim selalu mengajari kudanya peka terhadap semua ancaman yang menghadang di depan. Sementara kiai Andi selalu mengajari kudanya biar lari cepat dan beringas layaknya kuda perang.
Kuda kiai Hakim berhasil menjadi kuda yang sangat peka. Ia dengan sendirinya mencari jalur lain dalam perjalanan, jika di jalur sebelumnya akan membahayakan penunggangnya.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Agregasi Ruang Tamu
Sementara kuda kiai Andi selain cepat, bertenaga kuat, dan peka, kuda kiai andi juga unik. Kiai andi cukup mengucapkan dua kata kunci, agar kudanya bisa lari cepat dan berhenti.
Bila kiai Andi berucap, “Alhamdulillah”, maka kuda itu berlari kencang. Dan, jika kiai Andi berujar, “Innalillah”, lalu seketika kuda itu berhenti.
Di sebuah kesempatan yang lain, kiai Hakim dan kiai Andi diundang oleh masyarakat di sebuah pegunungan. Untuk mencapai rumah yang mengundang itu membutuhkan perjalanan dua hari naik kuda. Tentu harus melewati hutan, sungai, bukit, dan tebing-tebing yang sangat curam.
Sebagai seorang sahabat yang sekaligus lawan dalam urusan pandangan-pandangan hukum, kiai Andi dan kiai Hakim kini berangkat bersama. Tentu, keduanya menaiki kuda kesayangan mereka yang sudah terlatih.
Di malam kedua sebelum tiba di tempat orang yang mengundang, keduanya sebenarnya sudah lelah. Tapi jika keduanya istirahat, ia akan tiba terlambat di tempat yang dituju.
Akhirnya, keduanya memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan meskipun ia harus menembus malam yang gelap, suara halilintar yang berkaung-kaung, suara anjing-anjing hutan, dan suara-suara ular bukit yang nanar.
Pandangan sungguh-sungguh gelap. Ia hanya punya sebuah lampu senter kecil. Senter yang cahayanya bagai bara api kecil di tengah kegelapan.
Baca Juga: Cinta dan Akal
Kiai Andi dan kiai Hakim hanya percaya pada Tuhan dan Kuda yang dilatihnya untuk selamat.
Keduanya memacu kuda dengan sengat kencang. Kuda terlatih yang dibanggakan. Kiai Hakim terus melafalkan “astaghfirullaha al-adzim” sambil memacu kuda putih bersih itu. Sementara kiai Andi terus melafalkan “al-hamdulillah” dengan maksud agar kuda itu berlari lebih kencang lagi.
Kuda kiai Hakim, tiba-tiba melambat. Padahal iya memacunya maksimal. Heran. Ya, kiai Hakim memang heran. Lalu kuda kiai Hakim tiba-tiba berhenti.
Terdengar di depan suara kiai Andi, “Innalillah”. Dan, kuda kiai Andi pun berhenti tiba-tiba.
Ternyata oh ternyata. Pas sekitar satu jengkal di depan kuda kiai Andi itu curam tebing yang sangat dalam. Muka kiai Andi sangat pucat. Matanya berkaca-kaca. Panik. Terharu. Rasa syukur tak terhingga.
Dari saking senangnya, rasa syukur karena selamat dari hadangan tebing, terucap dari mulut kiai Andi, “al-hamdulillah!!”
Baca Juga: Keutamaan dan Amaliah Dzulhijjah
Dan, kuda itu melompat dan masuklah ke dalam jurang dalam. Entah, bagaimana nasib kiai Andi setelah itu.
Sementara kiai Hakim, menghadiri undangan dengan sangat haru.*
Ahmad Muchlish Amrin, Santri Kutub Yogyakarta
2 komentar