Ahmad Muchlish Amrin
Semenjak musim pandemi, banyak dari kita baru menyadari pentingnya kembali ke rumah. Tuhan mengajari cara “istirahat” sejenak, melihat anak-anak, istri, dan segala sesuatu dari dekat.
Pada mulanya, hari-hari yang sibuk, seolah-olah waktu 24 jam adalah waktu yang sangat singkat dan pendek. Begitu diistirahatkan di rumah, work from home (WFH), kita baru merasa lebih dekat dengan rumah. Tentu saja rumah yang tidak hanya sebagai tempat terlelap, bukan hanya tempat beranak-pinak, melainkan rumah sebagai hidup yang sesungguhnya.
Penyair Joko Pinurbo (2003) pernah bergumam lewat puisinya : Aku pulang ke dalam engkau | ke rumah singgah yang terlindung | di antara dua kubah | di mana ia datang | berkerudungkan bulan, | merapikan tubuh yang berantakan | dan berkata: Supaya tidurmu makin sederhana.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Jalan-jalan
Setiap orang punya caranya sendiri pulang ke rumah. Sebagian pulang dengan bibir tersenyum, hati gembira, dan alis yang sumringah. Sebagian lagi, pulang dengan rasa capek, tubuh lelah, pakaian lusuh, dan pikiran yang kacau serta gelisah. Sebagian lain pulang dengan rasa sakit, pening dan pusing, bahkan pulang sudah menjadi mayat. Tapi Jokpin mengcover, kepulangan kita ke rumah singgah, hanya di antara dua kubah: sedih dan bahagia.
Rumah adalah tempat untuk merapikan diri, biar istirahat lebih tenang, rasa lelah dan penat segera menghilang. Dari situlah seseorang merencanakan keberangkatan, merencanakan kepergian, hingga segala cita bisa ditunaikan.
Untuk mempelajari rumah yang tidak sekedar, tentu membutuhkan banyak pengetahuan. Karena sejatinya, di dalam rumah juga ada struktur dan kultur yang perlu dibentuk, agar rumah dapat menjadi permulaan sebuah peradaban; dari peradaban kecil menuju peradaban besar.
Ahmad Muchlish Amrin, Santri Kutub Yogyakarta
1 komentar