Ahmad Muchlish Amrin
Umat Islam Indonesia telah mengamalkan ibadah puasa di tengah meroketnya harga komoditas, mulai minyak goreng, ayam, daging, hingga BBM.
Situasi ini seperti dua sisi mata uang, satu sisi dituntut melakukan ibadah puasa dengan cermat, seksama, sungguh-sungguh sebagaimana tuntunan syariat Nabi. Di sisi lain, masyarakat kita dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang serba mahal. Sementara pertumbuhan ekonomi sektor real masyarakat hanya melambai-lambai di tempat, seperti anak burung yang hendak terbang, namun sayapnya belum cukup kuat.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Kursi
Ramadhan kali ini merupakan tahun ketiga masa pandemi, meskipun pelan-pelan suasana pandemi semakin membaik, tapi tantangan bagi masyarakat tetap berjibun, mengingat dua situasi mata uang yang berat dan harus tetap berjalan seperti laju kereta; berjalan beriringan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, setidaknya kita merenungkan tiga hal penting. Pertama, kembali ke dasar kesadaran agama; substansi puasa yaitu menahan diri. Dalam konteks manajemen ekonomi, menahan diri adalah bahasa lain dari menghemat. Penting kiranya mengkalkulasi pengeluaran agar tidak melebihi income bulanan. Sekecil apapun income bulanan kita, tentu pengeluarannya harus lebih kecil.
Baca Juga: Agregasi Ruang Tamu
Kedua, melaksanakan ibadah tanpa beban, meskipun sebenarnya banyak beban yang harus ditanggung. Beban teknis sehari-hari tetap dilaksanakan secara rutin tanpa harus mengganggu ibadah kita. Lho? Bagaimana kalau hasilnya tidak mencukupi kebutuhan? Jika belum mencukupi, tentu harus kembali pada poin pertama, yaitu menahan diri.
Ibadah puasa dan kerja keras yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dapat menjaga keseimbangan (equilibrium) urusan lahir dan batin, urusan duniawi dan ukhrawi. Keseimbangan itulah yang akan melahirkan inspirasi-inspirasi tak terduga dalam keseluruhan kehidupan kita.
Ketiga, yang terjadi hari ini adalah keberhasilan atau kegagalan di hari-hari sebelumnya. Hal itu bisa menjadi renungan bersama, untuk mengingat kembali tindakan dan perbuatan kita di masa lalu.
Segala sesuatu yang kita terima hari ini adalah hasil kerja keras dan perjuangan di masa lalu. Menerima kenyataan atas situasi ini adalah modal bagi orang-orang lemah. Jika tidak bisa menerima, tentu “perlawanan” akan berkobar dengan berbagai bentuknya. Perlawanan sekalipun tak dapat berguna jika perlawanan berkobar di luar diri, sementara dalam diri tidak ada revolusi besar yang dapat mengubah hidup lebih baik.
Selebrasi Ibadah
Tidak sedikit dari kita yang menjadikan ibadah sebagai selebrasi. Vlog di saat-saat ibadah berlangsung bergelimang di akun-akun youtube, sehingga ibadah dianggap bermakna bila mendapatkan respon, bukan pada implikasi dalam pembentukan personal sang ‘abid. Yang disayangkan kemudian terjadi keberjarakan antara diri dan ibadah yang dilakukan.