Pola Pikir Kontekstualis

Esai, Literasi226 Dilihat

Seputar Pendidikan #46

Aldi Hidayat

Pola pikir kontekstualis secara sederhana adalah memahami sesuatu dengan memperhatikan keadaan di sekitarnya. Mengapa harus dikaitkan dengan hal-hal sekitar? Karena tidak ada satu pun yang muncul dari kehampaan. Segalanya pasti bertaut dengan ruang dan waktu. Hanya Tuhan yang tidak berhubungan dengan dua hal itu. Lebih jelasnya, mari kita cermati beberapa contoh berikut!

Pertama, ‘Ali ibn Abi Thalib ra berpesan, “Jangan kau berjanji saat kau bahagia dan jangan kau mengambil keputusan saat kau murka!” Mengapa beliau menghubungkan larangan janji dengan bahagia? Mengapa pula beliau mengilegalkan pengambilan keputusan di kala murka? 

Saat bahagia, orang cenderung optimis menjalani kegiatan. Bahagia membuatnya seakan tidak ada masalah dalam menjalankan rencana. Kenyataannya, ada berjuta-juta kemungkinan yang bisa menghadang rencananya. Akibatnya, rasa bahagia mengurangi kejelian pikirannya akan potensi bahwa rencananya bisa gagal.

Sebaliknya, saat murka, manusia cenderung berpikir negatif. Pada gilirannya, keputusan yang diambil tidak bersumber pertimbangan yang matang, melainkan pelampiasan amarah, kecewa dan dendam. Akhirnya, keputusan tersebut bukan menyelesaikan persoalan, namun menambah persoalan baru atau memperparah persoalan yang ada.

Jangan Leewatkan Baca Juga: Pola Pikir Kritis

Di lain kesempatan, ‘Ali ra juga berpesan, “Jangan kau ceritakan tentang dirimu, karena yang mencintaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak butuh itu!” Mengapa beliau menghubungkan cerita tentang diri sendiri dengan orang yang cinta dan orang yang benci? Orang yang cinta tidak butuh pamer dari sang tambatan jiwa. Pasalnya, cinta dengan sendirinya membuat si pencinta kagum terhadap sang idaman rasa. Sebaliknya, orang yang benci akan selalu curiga. Dia bercerita tentang dirinya barangkali hendak menyogok perasaan saya yang sedang jengkel padanya. Alih-alih menunjukkan kehebatan diri, sangat mungkin dia sedang berpura-pura. Kenyataannya dia berseberangan dengan cerita yang dituturkannya.

Apa hubungan contoh di atas dengan pola pikir kontekstualis? Kontekstual berarti mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan objek pemikiran. Janji misalnya, berhubungan dengan optimisme diri. Optimisme muncul, karena diri ini merasa nyaman. Tidak ada masalah yang mengekang. Kondisi demikian biasanya mengemuka saat orang lagi bahagia. Saat bahagia, manusia merasa dunia ini adalah miliknya, sehingga dia merasa mudah untuk menaklukkan dunia.

Baca Juga: Kampus Janabadra Yogya Masih Diskusikan Ibu Kota

Adapun murka ialah perasaan tidak nyaman terhadap kenyataan. Artinya, ada masalah yang mau tidak mau segera diselesaikan. Karena bersifat segera, maka tidak perlu ada pertimbangan yang panjang. Segera ambil keputusan agar masalah cepat lekang. Dampaknya, pikiran tidak mampu membaca sisi lain dari persoalan. Alih-alih hendak menyelesaikan persoalan, yang terjadi malah kelaliman yang berkedok keadilan.

Pun juga dengan cinta dan benci. Mengapa rata-rata orang selalu ingin menunjukkan diri hingga bercerita sesumbar mungkin tentang kehebatan pribadi? Karena manusia berwatak ingin dihargai, dihormati dan diakui. Masalahnya, apakah setiap orang akan sesuai dengan wataknya ini? Apakah setiap orang akan betul-betul menghargai, menghormati dan mengakui, jikalau orang yang bersangkutan bercerita tentang diri sendiri? Tidak juga. Justru kebanyakan orang menghargai kadang bukan cerita si bersangkutan, namun karena terlanjur sayang. Karena terlanjur sayang, orang lain merasa si bersangkutan tidak perlu buang-buang waktu mengumbar tentang dirinya. 

Di pihak lain, orang yang benci selalu ingin menunjukkan bahwa si bersangkutan itu tidak ada kelebihannya. Orang benci bawaannya adalah menjatuhkan pihak yang dia benci. Karena itu, jikalau pihak tersebut menceritakan tentang dirinya, si pembenci memilih tidak percaya atau paling tidak sangsi, karena itu tidak sesuai ekspektasi. Ekspektasinya adalah menjatuhkan lawan, sementara lawan malah promosi tentang dirinya yang hebat dan lain seragam.

Ambil Saja: Beasiswa S1 atau S2 di Nottingham Trent University Inggris

Apakah dengan demikian ‘Ali ra melarang kita berjanji atau mengambil keputusan? Atau apakah beliau melarang kita bercerita tentang diri kita? ‘Ali ra hendak menunjukkan bahwa berjanji memiliki konteks tersendiri. Mengambil keputusan juga mempunyai konteks tertentu. Bercerita tentang diri sendiri turut mempunyai konteks yang lebih relevan. Apa itu?

Pesan ‘Ali ra tentang larangan janji saat bahagia mengindikasikan bahwa janji itu mestinya disampaikan atas dasar pertimbangan pikiran, bukan berlandaskan sensasi perasaan. Jikalau pertimbangan pikiran belum matang, maka hindari janji lalu ganti dengan insya Allah. Pun juga saat mengambil keputusan. Mengambil keputusan harus saat perasaan tenang. Dengan begitu, keputusan berjalan di rel yang mapan.

Karenanya, terhadap orang yang berjanji, kita mesti mawas diri, karena boleh jadi dia PHP. Dengan begitu, kita tidak terlalu menaruh harapan padanya. Pada gilirannya, saat dia tidak berhasil memenuhi janji, kita tidak terlalu kecewa, lantaran sudah ada persiapan kontekstual sebelumnya. Kepada pejabat yang mengambil keputusan, kita mesti hati-hati. Boleh jadi pejabat itu menetapkan keputusan, karena keadaan kurang sedap dipandang. Akhirnya, jalur pintas yang dikerahkan.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Pola Pikir Apresiatif

Cerita tentang diri sendiri mestinya bukan berupa kata-kata. Pasalnya, kata-kata sering disalahgunakan demi kepentingan pengucapnya. Lalu solusinya apa? Buktikan dirimu tidak dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata. Pasalnya, yang demikian lebih jujur dan lebih mengena. Gegaranya, watak akan pengakuan lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Pola pikir kontesktualis setidaknya bisa mengantarkan kita pada dua kegunaan. Pertama, memahami duduk perkara. Dengan begitu, kita tidak gegabah dalam menilai dan tidak ceroboh dalam memandang. Kedua, memperlakukan sesuatu secara lebih proporsional. Proporsional berarti sesuai porsi. Dari situ, kita tidak timpang dan tidak pincang dalam memperlakukan suatu hal. Demikian. Wallahu A’lam.

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar