Pola Pikir Ekstensifikasi

Esai, Literasi233 Dilihat

Seputar Pendidikan #47

Aldi Hidayat

Pola pikir ekstensifikasi berarti memperluas makna dari cakupan yang biasa. Mengapa mesti diperluas? Karena stok yang biasa sering tidak memadai dalam menyikapi realita. Karenanya, harus ada perluasan, bahkan kalau perlu perombakan. Bagaimana contoh sederhana dari pola pikir ini?

Selama ini kita sudah tidak asing lagi dengan ungkapan qur’ani bahwa, “shalat itu mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar”. Masalahnya, mengapa malah banyak pelaksana shalat berbuat sebaliknya, seperti melecehkan kaum perempuan, memakan uang rakyat, menipu orang lain dan sebagainya? Jawaban yang cukup viral adalah, “Shalatnya belum diterima oleh Tuhan”. Pertanyaannya, bagaimana gambaran shalat yang diterima oleh Tuhan? Jawaban yang populer ialah, “Shalat dengan khusyuk”. Pertanyaan lanjutan, apa itu khusyuk? Setidaknya ada dua jawaban yang timbul, “Khusyuk itu dengan cara kamu menghadirkan Allah di hatimu” atau “Kamu menghayati bacaan-bacaan shalat”.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Pola Pikir Kontekstualis

Dua jawaban ini masih kabur. Bagaimana kita menghadirkan Allah dalam hati? Bukankah saat berusaha menghadirkan Allah, kita justru membayangkan “rupa” Allah, padahal Allah tidak berupa dan tidak berbentuk. Bagaimana kita bisa menghadirkan eksistensi yang tidak punya rupa dan bentuk? Persoalan berikutnya ialah bukankah menghayati bacaan shalat hanya bisa dilakukan oleh orang yang menguasai bahasa Arab? Lantas bagaimana dengan orang awam yang akan makna basmalah saja tidak tahu? Tidakkah justru menghayati bacaan shalat malah jauh dari kemudahan? Tidakkah selama ini Islam disebut sebagai agama yang memudahkan? Lalu apa mudahnya dua pengertian khusyuk di atas? Di sinilah perlu kita perbaiki dan kita perluas makna shalat.

Dalam al-Qur’an, Allah memakai redaksi iqamat al-shalah, yakni menegakkan shalat? Mengapa tidak menggunakan redaksi ada’ al-shalah,yaitu melaksanakan shalat? Penyematan kata iqamah mengindikasikan bahwa shalat yang diperintahkan bukan hanya menjalankan shalat secara ritualistik alias seperti yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang? Menegakkan shalat berarti berusaha menerjemahkan shalat dalam kehidupan sehari-hari. Jika demikian, apa makna praktis dari shalat? Lalu bagaimana menghubungkan shalat dengan kehidupan sehari-hari?

Ambi Juga: Beasiswa S1 atau S2 di Nottingham Trent University Inggris

Shalat sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Hanya saja, mengapa al-Qur’an melabelinya sebagai pencegah kejahatan? Kalau memang mencegah kejahatan, mengapa malah banyak pelaku shalat berbuat jahat? Itu karena shalat dimaknai secara melangit, sehingga tidak memiliki gambaran praktis dan pragmatis.

Lalu apa langkah pragmatis dalam menghentikan kejahatan? Di lain kesempatan, Islam mewanti-wanti kita untuk introspeksi. Introspeksi malah merupakan langkah yang pragmatis. Introspeksi adalah momen di mana kita mengevaluasi diri sendiri. Jika demikian, maka menegakkan shalat artinya menjalankan shalat sambil mengisinya dengan evaluasi atas diri sendiri. Istilah yang selama ini tenar ialah shalat secara khusyuk. Jadi, shalat khusyuk bukan menghadirkan Tuhan dalam hati, karena itu justru membuat kita membayangkan wujud Tuhan, padahal Tuhan sendiri tidak berbentuk, sedangkan kita tidak bisa memikirkan kecuali sesuatu yang berbentuk. Bukan pula khusyuk artinya menghayati bacaan shalat, karena itu hanya bisa dilakukan oleh segelintir orang. Pun juga, bacaan dalam shalat tidak bersentuhan langsung dengan problem kehidupan. Bacaan shalat penuh dengan puja-puji pada Tuhan atau doa dalam bentuk umum. Sementara itu, kita setiap hari menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat khusus.

Baca Juga: Pola Pikir Kritis

Kalau demikian, lalu apa arti dari shalat? Shalat berarti menunaikan ibadah sambil lalu mengoreksi diri dan menyiapkan rencana ke depan yang lebih progresif. Artinya, saat shalat, kita mestinya sambil merenung mengapa KKN masih merajalela? Solusi macam apa yang harus kita kerahkan guna memberantasnya? Dengan begitu, kita bisa mempertemukan antara ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan begitu, shalat bisa menjadi sarana efektif bagi pencegahan tindak kejahatan.

Pertanyaannya, mengapa kita mesti introspeksi saat shalat? Menurut ilmu medis, posisi-posisi dalam shalat dapat menambah kecerdasan. Saat sujud misalnya, aliran darah semakin lancar ke otak. Asupan oksigen memompa aktivitas otak menjadi lebih maksimal. Jadi, shalat adalah momen di mana kecerdasan kita dipompa habis-habisan. Oleh sebab merupakan momen memompa kecerdasan, maka introspeksi dan evaluasi yang berkemajuan penting kita masukkan dalam shalat.

Pertanyaannya, tidakkah memaknai shalat seperti itu berarti memasukkan unsur duniawi ke dalam kegiatan ukhrawi? Masalahnya, apa itu duniawi dan apa itu ukhrawi? Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din memaparkan bahwa duniawi bukan berarti apa saja yang ada di dunia ini. Jika dunia diartikan demikian, maka shalat pun adalah duniawi, karena kita melakukannya di dunia. Akan tetapi, mengapa kita malah menyebutnya ukhrawi? Duniawi itu adalah saat sesuatu tidak berkontribusi bagi kita di akhirat. Bagaimana gambaran jelas tentang kontribusi di akhirat?

Jangan Lewatkan Baca Juga: Kampus Janabadra Yogya Masih Diskusikan Ibu Kota

Islam berkali-kali menjelaskan bahwa ia adalah agama yang rahmatan bagi semesta alam. Artinya, Islam tidak hanya menjamin kebahagiaan di akhirat, tapi juga kesejahteraan di dunia. Lalu apa hubungan antara kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat? Gampangnya, jika Anda ingin masuk surga, maka ciptakan dulu surga di dunia! Apa itu surga dunia? Apakah mesti hidup foya-foya? Tentu bukan, karena foya-foya membuat kita lalai akan derita saudara di luar sana.

Baca Juga: Pola Pikir Apresiatif

Surga di dunia ialah saat pikiran dan tindakan kita diarahkan untuk memperbaiki keadaan. Surga di dunia ialah bagaimana membersihkan Indonesia dari KKN, etos kerja yang rendah, mutu sains yang lemah, sesat nalar, malas belajar, candu hiburan dan lain sebagainya. Apa hubungannya dengan shalat yang katanya bisa mencegah kejahatan? Shalat yang sesungguhnya ialah shalat yang diringi oleh introspeksi dan evaluasi guna menciptakan dunia yang surgawi. Pasalnya, itulah tiket untuk mencapai surga yang ukhrawi. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar