Pola Pikir Kritis

Pola Pikir Kritis

Seputar Pendidikan #45

Aldi Hidayat

Esai edisi kedua telah membubuhkan alasan mengapa kritik itu tidak hanya boleh, tapi juga harus menurut Islam. Surat al-Nashr, ayat 3, hadis tentang keniscayaan salah dan lupa pada manusia dan hadits tentang tugas kita untuk saling menasihati sudah cukup menjadi dalil betapa kritik itu adalah sesuatu yang inheren dalam Islam. Hanya saja, budaya paternal selama ini telah menguburnya, sehingga kritik terasa tabu, lancang dan bangkang di lingkungan Indonesia pada umumnya dan muslim Nusantara pada khususnya. Esai edisi kali akan membidik dua sisi yang belum terungkap dari kritik. Apa itu dan untuk apa itu? Marilah kita berselancar!

Pertama, apa itu kritik? Dalam pada ini, penulis akan mengacu pada dua rujukan. Fu’ad Farid Isma’il dan Abdul Hamid Mutawalli dalam karya keduanya Mabadi’ al-Falsafah menyebut kritik sebagai upaya menghilangkan kemapanan sesuatu. Pengertian ini bisa kita sederhanakan menjadi upaya melihat kekurangan. Sesuatu yang mapan diandaikan sebagai sesuatu yang sempurna atau mendekati sempurna. Gegara itu, sesuatu yang mapan tidak bisa dikritik, karena tidak punya kekurangan. Rujukan kedua ialah pengertian versi Ali Harb dalam karyanya yang berumbul Ashilat al-Haqiqah wa Rahanat al-Fikr. Kritik–tegas Harb–adalah upaya mengungkap sesuatu yang tak terkatakan. Pengertian ini mirip dengan proyek pembaharuan Islam Muhammad Arkoun yang mencoba membongkar sesuatu yang selama ini belum terpikirkan dari Islam. Proyek ini oleh Arkoun dituangkan dalam Unthought in Contemporary Islamic Thought.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Pola Pikir Apresiatif

Pertanyaan selanjutnya, mengapa kita harus mengkritik? Jawaban secara teologis sebagaimana direkomendasikan oleh warisan klasik ialah bahwa setiap manusia pasti berpotensi salah. Hanya saja, bagaimana penjabaran lebih lanjut dari hal ini? Bagian berikut akan mengurainya sekaligus memamungkukasi esai edisi kali ini.

Pertama, tujuan kritik ialah menghilangkan kemapanan. Mengapa harus tidak mapan? Tidakkah mapan berfungsi menghasilkan ketertiban? Satu sisi, mapan memang berfungsi demikian. Sisi lainnya, mapan justru menjadi persembunyian empuk bagi aneka kepentingan. Di antara aneka kepentingan itu ialah kepentingan memonopoli pihak lain. Berkedok kemapanan, monopoli bisa terus berlangsung. Monopoli kemudian merampas hak-hak pihak lain. Merampas hak tentu beraneka ragam. Salah satu perampasan hak yang halus ialah kesan bahwa pihak lain mendekati salah, bahkan pasti salah.

Bila kita kaitkan dengan Islam, selama ini keislaman kita berpatokan pada warisan Islam era klasik. Tak heran, masyarakat kita suka mencari solusi dari buku-buku klasik. Dalam pada itu, akan tertanam kesan bahwa temuan-temuan terbaru mendekati atau bahkan niscaya salah. Persoalannya apa kriteria salah yang sesungguhnya? Dalam dunia gagasan, salah setidaknya bisa diukur berdasarkan seberapa sesuai dengan kenyataan. Dalam bahasa ilmiah, ini biasa disebut relevansi data dengan fakta. Paham kebenaran yang berkeyakinan demikian disebut korespondensi.

Baca Juga: Kampus Janabadra Yogya Masih Diskusikan Ibu Kota

Apa masalahnya dengan hanya merujuk pada kitab klasik tanpa membandingkannya dengan temuan mutakhir? Kitab klasik sarat dengan muatan ketuhanan. Artinya, kitab klasik terobsesi menjadikan setiap orang terus beribadah pada Tuhan. Hanya saja, ibadah yang dimaksud berupa selalu ingat pada Tuhan. Persoalannya, adakah faktanya orang mudah mengingat Tuhan setiap harinya? Ternyata survei–meminjam laporan Gus Dur dalam Tuhan Tak Perlu Dibela–membuktikan bahwa rata-rata orang bercita-cita untuk bertahan hidup. Demi bertahan hidup, orang kemudian “menjual” agama.

Ada orang berorasi ke mana-mana dengan mengatasnamakan Tuhan tentang pesan kehidupan. Tujuannya ialah mengabdi pada Tuhan. Jika mau jujur, justru tujuan utama nyaris bukan mengabdi pada Tuhan, melainkan mencari penghidupan lewat menyebarkan pesan keagamaan. Jika memang faktanya nyaris semua manusia mendambakan bertahan hidup, sehingga yang dipikirkan tidak akan lepas dari kalkukasi ekonomi, masih mapankah konsep bahwa ibadah itu harus ingat Tuhan? Apakah konsep demikian layak dimapankan? Apakah Islam tidak memuat potensi tersembunyi guna merestorasi konsep tentang ibadah itu sendiri? Kini kita masuk ke poin kedua.

Kedua, kritik dalam dimensi lainnya bertujuan mengungkap yang belum terungkap. Bagaimana hubungannya dengan persoalan di atas? Ibadah selama ini kita artikan secara teosentris (terlalu berpusat pada Tuhan), sehingga tidak memberikan gambaran konkret tentang cara pengejawantahannya dalam kehidupan. Salah satu hadits berbunyi:

تخلقوا بأخلاق الله.

Berperilakulah dengan akhlak Allah.

Ikuti: Cara Daftar LPDP 2022 Gelombang 1

Dalam kesempatan yang tidak langsung menafsirkan hadits tersebut, syekh ‘Izzuddin ibn Abdis Salam lewat karyanya Syajarat al-Ma’arif, menyebut bahwa muslim takkan menuai ridha Tuhan tanpa mempraktekkan sifat-sifat Tuhan. Apa saja sifat-sifat Tuhan? Sangat banyak. Salah satunya ialah Maha Mandiri (al-Qayyum). Sifat ini kadang diartikan sebagai Maha Mengatur Sendiri. Terjemahan yang lebih efektif dan efisien serta lebih mengena dari sifat ini adalah mandiri. Apakah kemandirian dalam berpikir diajarkan oleh ulama?

Jauh-jauh hari ulama mewanti-wanti kita untuk menghindari taqlid. Taqlid adalah mengikuti pendapat suatu tokoh tanpa mengetahui alasan dan landasannya. Mengapa harus mengetahui alasan dan landasannya? Ini agar pendapat suatu tokoh tidak kita pertuhankan. Masalahnya, bagaimana dengan orang yang beranggapan, “Saya setia pada suatu tokoh, karena saya ingin rendah hati”? Rendah hati yang sesungguhnya bukan pasrah terlebih dahulu. Rendah hati ialah membaca secara mendalam pandangan suatu tokoh secara kritis. Baru bilamana pandangan suatu tokoh telah lulus uji kebenaran, maka absahlah kita bilang, “Saya bermaksud rendah hati, karena pandangan tokoh tersebut memang ampuh secara akademis”.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Mengenal TOEFL secara Akurat dan Selamat

Uji kebenaran ada dua, yaitu verifikasi dan falsifikasi. Verifikasi berarti seberapa sesuai suatu pendapat dengan kenyataan. Artinya, seberapa efektif dan memungkinkan pendapat suatu tokoh diejawantahkan dalam kehidupan. Pasalnya, Islam sendiri menegaskan dirinya sebagai agama yang mudah. Mengapa mudah? Karena memang fitrah manusia ialah mencari yang mudah. Akan tetapi, mudah yang dimaksud bukan mudah yang memanjakan. Mudah tersebut adalah mudah yang produktif. Mudah produktif berarti memudahkan manifestasi sifat Tuhan. 

Lebih lanjut, sifat Tuhan yang dominan ialah kasih sayang kepada ciptaan. Kasih sayang berarti kemanusiaan dan cinta lingkungan. Jika demikian, ibadah itu bukan hanya ingat Tuhan. Ibadah ialah merealisasikan cinta pada Tuhan dengan praktek berupa kemanusiaan dan cinta lingkungan. Dengan demikian, setiap kali ibadah disebutkan, maka yang terbesit di benak bukan hanya melulu dzikir dkk, tetapi lebih dari itu, yaitu upaya kritis terhadap dua hal. Hal pertama ialah apa pedoman beberapa orang, sehingga kehidupan nampak carut-marut begini? Selanjutnya, kita akan mengkritik pedoman itu. Setelah itu, apa solusi guna memperbaiki semua ini? Dari situ, kita bisa menggali apa saja yang belum terungkap selama ini.

Nikamati: Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana?

Itulah sekilas contoh bagaimana pola pikir kritis. Akhirnya, penerapannya akan bervariasi, karena setiap pembaca memiliki perspektif yang begitu dan begini. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Author:

Pusat Info Pendidikan

2 comments

Leave a comment