Salman Rusydie Anwar
“Kim, sejak bapakmu tiada, begitu banyak masalah terjadi di rumah ini. Kamu tahu sendiri, kalau bukan masalah keuangan memangnya apa lagi. Cobalah cari pekerjaan sampingan yang bisa kamu lakukan setelah pulang mengajar.”
Kim menutup pintu kamar. Sambil memperhatikan selembar foto ibunya, Kim terngiang-ngiang dengan ucapan perempuan yang sudah melahirkannya tiga puluh tahun yang lalu itu.
“Ibu tenang saja, Kim sedang mengusahakan. Kim juga sudah dapat tawaran pekerjaan. Hanya saja..”
“Hanya apa, Kim?”
“Kim harus memilih salah satunya.”
“Apa dua-duanya tidak bisa dikerjakan bergantian, Kim?”
“Kalau pun bisa itu sangat menguras tenaga, bu. Lagi pula, sekolah tempat Kim ngajar sudah meminta Kim memilih dan memberikan keputusan.”
“Terus?!”
“Kim memilih… keluar dari sekolah, bu.”
Ibu Kim tampak terkejut dan Kim sebenarnya sudah tahu kalau ibunya pasti akan kaget. Kim yakin keputusan yang ia ambil tidak sesuai dengan harapan ibunya. Tapi bagaimana lagi! Keadaanlah yang membuat perempuan itu harus rela mengubur impiannya dalam-dalam. Keadaanlah yang membuat ibu Kim harus pasrah menerima keputusannya sekarang. Setelah mengetahui keputusan yang ia ambil, Kim tanpa sengaja melihat dua butir air mata ibunya jatuh ke tanah.
Jangan Lewatkan: Sebuah Jembatan Sepotong Kenangan
Mengingat semua itu, Kim buru-buru memasukkan kembali foto ibunya ke dalam laci. Tapi sejurus kemudian, pandangan Kim tertuju pada sebuah tas hitam yang tergantung di samping lemari bajunya.
Itu tas miliknya dan sekarang dipenuhi debu. Maklum saja, sudah satu tahun Kim tidak memakai tas itu lagi sejak dirinya memutuskan berhenti mengajar.
Kim masih ingat kalau di dalam tas itu ia menyimpan buku catatan dan buku pelajaran yang pernah ia ampu sewaktu masih menjadi guru. Kim juga masih ingat bahwa pada halaman tiga puluh delapan dalam buku catatannya ia menulis, lebih tepatnya mengungkapkan alasan-alasan di balik pengunduran dirinya sebagai guru.
“Kamu sudah memikirkan keputusanmu?!”
Itulah pertanyaan terakhir yang ditanyakan Ade setelah beberapa kali sebelumnya mengajukan pertanyaan yang sama saat Kim meminta pertimbangan untuk resign.
Kim mengangguk. “Tak ada pilihan. Aku harus menempuh keputusan ini.”
Ade mematikan rokoknya dan menghela nafas panjang. Wajahnya terlihat sedikit tegang. “Kalau memang seperti itu keadaannya, apa boleh buat,” seru Ade sambil mengusap wajahnya dengan selembar tisu yang sudah tampak lusuh.
Jangan Lewatkan: Laki-laki Sejati dan Etos Mandiri
Bayangan peristiwa setahun lalu itu berpendar-pendar kembali dalam pikiran Kim ketika tanpa sengaja melihat tas hitam miliknya di sana. Bukan hanya itu, sekian alasan yang menyebabkan Kim harus angkat kaki lebih awal dari sekolah juga seakan terpampang jelas di depannya, bergerak-gerak seperti gambar di layar bioskop.
Kim memang sudah tidak lagi mengajar. Tapi ia masih ingat dengan jelas semua nama-nama temannya sesama guru. Bahkan ia juga masih mampu menyebut beberapa nama muridnya yang pernah ia ajar sewaktu masih mengajar dulu. Kim tersenyum kecut mengenang itu semua.
Angin pantai yang membawa serta bau amis ikan masuk ke dalam sepetak kamar Kim yang hanya cukup ditempati dua orang. Kim melangkah ke arah jendela dan bermaksud menutupnya. Tapi itu tidak jadi Kim lakukan karena di depan sana, di atas bentangan laut yang gelap, samar-samar Kim melihat beberapa perahu dengan lampu kecil bergoyang-goyang dipermainkan ombak. Kim tahu itu perahu orang-orang pesisir yang sedang memancing.
Kim tertarik untuk berlama-lama melihat perahu-perahu itu, mencoba memahami beratnya nasib mereka sebagaimana yang sekarang Kim sendiri alami. Bagaimana bisa takdir membuatku seperti ini, mengirimku ke tempat ini?
Jangan Lewatkan: Prensiden yang Kau Sebut Fir’aun itu
Pertanyaan demikianlah yang seketika memenuhi benak Kim. Lalu dirogohnya sebatang kretek yang hampir patah dari dalam saku celananya dan kemudian ia mulai menghisapnya dalam-dalam. Asap putih tipis yang keluar dari mulut Kim menggumpal sebentar di depan wajahnya sebelum kemudian pudar di terpa angin pantai.
Kim membayangkan nasib hidupnya seakan-akan bagai gumpalan asap rokok yang ia hisap, yang sebentar saja menggumpal sebelum kemudian pudar entah kemana. Ia tidak menyangka akan berada di tempat itu, menjadi pekerja pelabuhan setelah sebelumnya bekerja sebagai guru di sebuah lembaga pendidikan di kotanya. Ia sangat menikmati pekerjaannya dulu. Begitu banyak idealisme yang dimilikinya dan juga rencan-rencana yang ingin ia lakukan di sana. Tapi itu dulu sebelum kemudian pudar oleh…
Ah!
Kim menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat ke udara. Sampai kapan aku akan terus berada di tempat ini? Apakah nasib akan mengirimku kembali ke tempat-tempat lain dengan tugas-tugas yang berlainan pula? Kim menarik nafas dan memandang ke atas langit yang gelap. Beberapa bintang dengan cahaya redup seperti melayag-layang di atas sana. Sesekali kesiur angin pantai memperdengarkan siulan nelayan yang barangkali siulan itu merupakan pertanda kalau mereka senang setelah mendapatkan tangkapan ikan.
Jangan Lewatkan: Kristal Kehidupan
Kim menoleh ke arah jam dinding tepat ketika waktu sudah menunjukkan jam dua dini hari. Kim membuang sisa rokoknya dan kemudian bergegas menutup pintu jendela kamarnya. Perlahan-lahan Kim merebahkan diri meski sebenarnya tidak merasa benar-benar mengantuk. Kim menatap langit-langit kamar, lalu beralih pada tas hitam yang masih tergantung di samping lemari bajunya. Kim tiba-tiba merasa rindu mengenakan tas itu kembali. Tapi gambaran wajah ibunya di kampung sana seperti memupus kembali kerinduannya.
Ah!
Salman Rusydie Anwar, cerpenis, tinggal di Kebumen Jawa Tengah