Salman Rusydie Anwar
“Kok mirip-mirip judul cerpennya AA. Navis,” kata Ataka pada Wisnu saat ikut mendengarkan sambutan yang disampaikan Warsito selaku ketua RT dan sekaligus ketua panitia pembangunan musala di desa mereka.
“Jangan berisik, dengerin saja,” sergah Wisnu.
Keduanya terdiam, khidmat mendengarkan pemaparan Warsito yang dengan sangat bersemangat menyampaikan alasan mengapa dia berkeinginan untuk renovasi muslla. Sekitar lima puluh warga lain yang turut memenuhi ruangan musala Nurul Huda hingga pelataran depan dan samping terlihat mengangguk-anggukkan kepala.
“Sempitnya surau kami. Ya, itulah alasannya kenapa saya berkeinginan untuk merenovasi musallah kita ini. Bapak-bapak diundang bukan sekadar untuk mendengarkan alasan saya, tapi diharapkan bantuannya. Musallah kita ini sudah tidak bisa menampung jamaah, apalagi kalau bulan puasa,” kata Warsito.
Tidak jauh dari Warsito, Koh Juju, yang didaulat menjadi bendahara pembangunan musala terlihat senyam-senyum sambil mempermainkan rokok di jemari tangannya. Sesekali ia menarik napas, memejamkan kedua mata dan lalu kembali senyam-senyum sendirian seakan-akan ada hal yang lucu dari kata-kata Warsito.
Tapi bukan itu alasan sebenarnya yang membuat Juju sesekali terlihat senyum-senyum sendiri. Ia hanya teringat bagaimana dulu Fudlani rela salat di samping musala meski diguyur hujan dan lalu tipesnya kambuh sehari berikutnya.
Jangan Lewatkan: Guru yang Tak Hanya Mengisi Ribuan Kepala
“Asyemm, gara-gara kehujanan pas teraweh kemarin, ini tipes saya kambuh,” katanya sambil mengangkat memperlihatkan tangannya yang sedang diinfus pada beberapa tetangganya yang datang menjenguk. Sejak saat itu Koh Juju mengusulkan kepada Warsito agar musala direnovasi untuk diperluas.
“Dananya dari mana. La wong orang-orang kita kalau suruh urunan saja seretnya lebih parah dari orang sembelit kok,” sergah Warsito kala itu.
“Itu si Subekti punya jaringan ke Arab Saudi. Kita bikin proposal saja ke sana,” jawab Koh Juju. Setelah berpikir beberapa saat, Warsito setuju dan sebagai langkah pertama ia selaku ketua RT mengumpulkan warganya untuk diajak musyawarah.
***
Ibarat orang yang sedang mancing, meski berkas proposal sudah diajukan namun dana yang diharap tak kunjung mendapatkan hasil. Kepanikan membias di wajah Warsito. Tubuhnya yang kurus jadi semakin kentara tulang-tulangnya karena selama dua hari nafsu makannya seakan hilang. Apalagi ia sudah terlanjur menggerakkan warga membongkar musala.
Jangan Lewatkan: Istiqomah Khidmah, Bisnis Melimpah
“Celaka. Ini celaka. Proposalnya tidak di acc. Musolla sudah kadung dibongkar. Haduh, mau ditaruh mana mukaku sama Kiai Suryadi ini. Padahal saya meyakinkan kalau dalam waktu satu bulan dana dari Arab pasti cair. Celaka ini. Cepét…cepét,” kata Warsito malam itu di rumah Koh Juju.
“Sudah tidak usah panik. Tadi sudah tak buatin rekening untuk orang-orang yang mau beramal jariyah buat musolla,” jawab Koh Juju.
“Lah, kok aku nggak dikasih tahu?”
“Mau kasih tahu bagaimana, wong Pak RT ngumpet aja di kamar kayak keong kepanasan,” goda Koh Juju. Lalu ia menunjukkan buku rekening dan memperlihatkan nomor rekening musolla untuk dicatat dan disebarluaskan lewat android miliknya.
“Ini dari kemarin sudah ada sumbangan jariyah yang masuk. Nih catat nomor rekeningnya, saya bacakan: Rekening Takmir Musolla Nurul Huda, BRI Cabang Kuwaru 6692-01-019150-53-4.”
Warsito senyam-senyum meski ia belum sepenuhnya tenang karena jumlah dana yang dibutuhkan masih lebih besar dari dana yang masuk. Ya, Allah! Ini yang mau tak renovasi adalah rumah-Mu, mbok tolong dibantu. Katanya membatin.
Note: Kisah nyata. Tokoh, nama tempat, dan nomor rekening dalam cerpen adalah fakta dan cerpen ini dimaksudkan sekaligus sebagai ajakan donasi buat pembaca. Terima kasih.
Salman Rusydie Anwar, cerpenis, tinggal di Kebumen