Guru yang Tak Hanya Mengisi Ribuan Kepala
Sebuah Refleksi di Hari Guru
Salman Rusydie Anwar
Dalam sekejap, Nagasaki dan Hiroshima, dua kota berpengaruh di Jepang runtuh. Tubuh-tubuh hangus terpanggang. Gedung dan rumah-rumah hancur. Waktu itu tak ada tempat yang aman untuk berlindung di dua kota tersebut. Bahkan untuk sekadar menghirup napas dan menaruh harapan-harapan. Mereka yang masih bernyawa, menatap sisa hidupnya dengan keputusasaan yang tak terkatakan.
Jangan Lewatkan: Lawan Budaya Patriarki, Gus Hilmy Ajak Perempuan Menulis Sejarahnya Sendiri
Di tempat lain, Kaisar Hirohito dengan wajah yang hanya tampak tegar bertanya kepada jenderalnya. “Berapa jumlah guru yang masih hidup?” tanyanya dengan suara gemetar. Sang Kaisar merasa lega bahwa masih ada sejumlah guru yang tersisa. Dan beberapa tahun kemudian, Jepang pun tumbuh menjadi negara besar yang diperhitungkan.
Kaisar Hirohito, sebagaimana juga Voltaire, mungkin percaya akan satu hal; bahwa perubahan memang perlu terjadi. Itu hanya bisa dilakukan melalui pendidikan terhadap manusia, secara perlahan dan penuh damai.
Mungkin tak ada maksud bagi Hirohito menafikan warga biasa yang menjadi tumbal keganasan bom atom tentara sekutu, termasuk para prajurit yang harus meregang nyawa tanpa sempat mengokang senjata. Ia hanya melihat satu peluang bagi negaranya, bahwa setelah mengalami kehancuran harus ada yang bertanggung jawab untuk mengubah keadaan, harus ada orang yang mampu berbicara pentingnya bangkit dari keterpurukan. Dan bagi kaisar, hanya seorang guru yang bisa melakukannya.
Bagi Hirohito, meratapi kehancuran dan kekalahan bukanlah sikap seorang ksatria. Negaranya memang memiliki persenjataan lengkap dan canggih. Sejarah leluhurnya pun memiliki taktik perang yang mematikan. Hanya saja, hancurnya Nagasaki dan Hiroshima menunjukkan bahwa negaranya tidak memiliki pengetahuan yang memadai. Pengetahuan untuk membuat bom serupa untuk membalas, atau teknologi mutakhir yang dapat mendeteksi dan menggagalkan setiap rencana serangan dari pihak musuh.
Jangan Lewatkan: Nasihat Gandhi Bagi Orang-Orang Serakah
Tetapi bukan hanya untuk kepentingan menciptakan bom atom itu saja sang kaisar merasa optimis dengan masih tersisanya guru di negaranya pasca bom atom oleh sekutu, melainkan adanya peluang untuk merebut masa depan. Generasi yang tersisa tidak mungkin semuanya dilatih untuk membuat dan membidik senjata, melainkan harus dipersiapkan untuk menciptakan penemuan demi penemuan di bidang teknologi yang akan selalu diperlukan oleh seluruh manusia.
Maka seperti yang kita saksikan hari ini, Jepang tumbuh dan maju lebih cepat dari yang diduga; dan semuanya berkat seorang guru. Di negara Tirai Bambu itu, guru tidak lagi dihibur sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, namun dipahami sebagai pencetus peradaban dan sejarah bangsa. Karenanya, mereka yang memutuskan untuk menekuni profesi seorang guru mendapatkan perlakuan yang lebih dari sekadar pahlawan.
Jika guru, Sensei, menjadi sosok yang ditanyakan pertamakali oleh Kaisar Hirohito pasca negaranya luluh lantak oleh bom atom untuk kemudian dijadikan garda terdepan membangun kembali masa depan negara itu, kita justru dibuat tersentak oleh kenyataan lain, bahwa di sini sebagian guru masih berpikir keperluan hidupnya di hari esok akibat negara belum sepenuhnya menfasilitasi mereka. Jika di sana guru mendemonstrasikan hasil karya dan penemuan, kita justru berdemo untuk menuntut kesejahteraan.
Jangan Lewatkan: Sebuah Jembatan Sepotong Kenangan
Sudah bukan saatnya lagi menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Demikian pernyataan penyair Celurit Emas D. Zawawi Imron suatu waktu. Dan pernyataan itu benar mengingat kepahlawanan seorang guru tidak mungkin muncul dalam keadaan perut mereka yang lapar, kebutuhan yang tak terpenuhi. Sementara kita tahu bahwa guru bekerja bukan semata-mata untuk kepentingan politis melainkan untuk kepentingan kebudayaan dan peradaban.
Kita tidak boleh diam melihat berbagai bentuk pelecehan dan kejahatan kepada seorang guru tanpa pandang siapa pelakunya. Tetapi pada saat memutuskan untuk menjadi seorang guru, pengajar, dosen atau apa pun, kita juga tidak boleh berhenti untuk menggali dan memaksimalkan potensi diri.
Sebab, seorang guru tidak hanya menghadapi ribuan kepala untuk dibuat mengerti tentang ilmu, namun ia juga menghadapi masa depan peradaban umat manusia dengan sekian kemungkinan dan tantangan yang tidak menentu. Seperti halnya seorang guru samurai, ia tidak boleh hanya mengajarkan cara bermain pedang yang benar, tapi memastikan, bahwa di tangan muridnya pedang itu tidak sampai melukai yang tak bersalah apalagi tubuhnya sendiri. Selamat hari guru, wahai guru!
Salman Rusydie Anwar, pengajar di IANU Kebumen, Jawa Tengah.