Sebuah Jembatan Sepotong Kenangan

Cerpen, Literasi818 Dilihat

Sebuah Jembatan Sepotong Kenangan

Salman Rusydie Anwar

Jembatan itu masih seperti yang dulu, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Selain catnya yang sudah mulai memudar, bentuk bangunannya sama sekali tidak ada yang berubah. Di bawahnya sungai mengalir dan tetap saja penuh dengan sampah. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu.

Entah sampai kapan orang-orang akan berhenti membuang sampah ke dalam sungai.

Liana membatin. Ia melihat warna air sungai di bawah sana hitam keruh dan berbau. Pampers bayi mengambang di antara bungkusan plastik lain yang berisi berbagai macam sampah rumah tangga. Plastik bungkus makanan ringan tak terhitung jumlahnya. Bangkai ayam yang sudah habis jeroannya dimakan ikan menjadikan pemandangan sungai dari atas jembatan tampak begitu buruk.

“Seandainya orang-orang mengerti betapa menderitanya ikan-ikan dan semua jenis makhluk yang tinggal di dalam sungai itu, mereka mungkin berpikir untuk tidak lagi membuang sampah sembarangan di sini.”

Ah, kata-kata Rafi terngiang kembali di telinga Liana. Dan kata-kata itulah yang membuatnya sadar untuk tidak lagi membuang sampah di sungai sebagaimana yang biasa dilakukan oleh ibunya, neneknya dan juga dirinya dulu.

Nikmati Juga: Kado Doa untuk Pak Guru

Bukan hanya itu. Orang yang mengucapkan kata-kata itu juga yang telah menjadikan hati dan perasaannya kembali berbunga-bunga. Masih jelas dalam ingatan Liana bagaimana pagi itu menjadi awal dari semua perubahan yang dialaminya. Ia tidak hanya mengerti kenapa harus berhenti membuang sampah di sungai. Namun ia juga mengerti bahwa ada sosok laki-laki seperti Rafi yang diam-diam mampu menyita perhatiannya kembali.  

“Tidak seharusnya sampah dibuang di sungai,” kata Rafi ketika itu saat Liana selesai melempar bungkusan plastik berisi sampah ke sungai dari atas jembatan.

Liana yang sebelumnya mengira kalau Rafi hanya sedang duduk bersantai di bibir jembatan setelah lari pagi tampak terkejut dan menoleh kepadanya. Di mata Liana kala itu, Rafi terlihat seperti laki-laki biasa pada umumnya meskipun beberapa tetangganya kerap membicarakannya. Terutama setelah ia pulang kampung sehabis menyelesaikan pendidikannya di kota.

Memang siapa yang tidak kenal Rafi. Anak Pak Kaum itu sejak dulu memang menjadi primadona para gadis. Terutama karena hidungnya yang sedikit mancung dan memberi kesan kalau dia terlihat lebih tampan dari beberapa pemuda yang ada di sekitar rumahnya. Apalagi sikapnya yang selalu murah senyum dan tentu saja pandai mengaji.

“Memangnya kenapa?! Kami dari dulu sudah biasa membuang sampah di sini,” jawab Liana agak ketus.

“Saya khawatir jangan-jangan di dalam sungai ini ada ikan cantik macam kamu yang berubah jadi jelek karena sampah-sampah yang kamu buang itu.”

Nikmati Juga: Kristal Kehidupan

“Lebay!” kata Liana sambil meninggalkan Rafi yang hanya senyum-senyum saja.

Sejak itu, tidak ada yang mengira bahwa pertemuan Liana dengan Rafi pagi itu menjadi awal dari lembaran cerita hidup Liana. Meski sebelumnya Liana bersikap ketus kepada Rafi, namun diam-diam ia mulai berusaha mengingat-ingat wajahnya, mengingat bentuk hidungnya yang mancung dan juga caranya tersenyum.

Setiap pagi, Liana mulai sering melihat-lihat keadaan jembatan itu untuk menemukan ada tidaknya sosok Rafi di sana. Bahkan sesekali Liana sengaja membawa beberapa sampah bekas makanan untuk dibuang di sungai sekadar untuk bisa kembali ditegur oleh Rafi yang ternyata dikemudian hari ia ketahui kalau Rafi adalah aktivis lingkungan. Sesuatu yang membuat Liana semakin mengaguminya.

Hal yang sama juga terjadi pada Rafi. Ia tahu kapan Liana akan pergi ke jembatan itu dan melempar sampah berisi bekas makanan sehingga ia akan berada di sana beberapa menit sebelum Liana tiba. Percakapan kecil pun berlangsung di sana disertai senyum tawa yang artinya pun sudah bisa diketahui oleh orang lain yang melihatnya, lebih-lebih mereka berdua.

Tapi belum juga mekar bunga cinta di hati Liana, ia harus menelan kesedihan dan sekaligus kekecewaan yang teramat dalam. Rafi yang ia harapkan bisa terus menyinari hari-harinya ternyata harus ia relakan untuk pergi. Bahkan kepergiannya tidak mungkin bisa ia harapkan kembali karena hingga beberapa hari sejak kabar kepergiannya itu santer terdengar, jejak keberadaannya pun tak kunjung diketahui. 

Nikmati Juga: Bambu Berdarah

“Kata teman-temannya, waktu itu si Rafi berusaha meraih bambu yang melintang di depan pintu dam sungai karena menghalangi sampah-sampah yang akan diangkut.”

“Tapi tanah tempat pijakan kakinya gugur sampai ia tercebur.”

“Dan anehnya tubuhnya langsung hilang. Seperti tertelan.”

“Ya, seperti ada palungnya di depan pintu dam itu. Padahal kalau lagi kering yang biasa saja tidak ada palung apa-apa.”

“Tumbal lagi. Tumbal lagi.”

Begitulah cerita dan kesaksian beberapa warga setelah kejadian menghilangnya Rafi saat mengadakan acara bersih-bersih sungai. Dan kejadian itu beserta segenap ceritanya, meskipun sudah berlalu selama sepuluh tahun yang lalu, tetap saja seperti peristiwa yang baru di benak Liana. 

Liana tidak bisa menghapus semua kenangannya tentang Rafi. Dan ia berusaha untuk selalu mendatangi jembatan itu jika sore hari sekadar untuk duduk sejenak di sana dan lalu menabur beberapa kembang ke dalam sungai. Dan itu ia lakukan selama sepuluh tahun lamanya.

Nikmati Juga: Cerpen Kisah Kecil Pemulung

Orang-orang ada yang menganggap dirinya sudah gila dengan melakukan ritual itu. Tetapi ia tidak peduli. Baginya rasa cinta terkadang memang menghadirkan kegilaan-kegilaan yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh mereka yang belum benar-benar merasakannya.

“Kali ini, mungkin bukan hanya ikan-ikan yang menderita ketika orang-orang membuang sampah ke sungai ini, tapi juga kamu di kedalaman sana,” gumam Liana dengan suara serak menahan tangis sambil melemparkan beberapa butir kembang melati ke sungai itu.  

Salman Rusydie Anwar, laki-laki biasa yang terbiasa dengan kebiasaan yang biasa-biasa saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *