Dunia itu cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang, kata Mahatma Gandhi suatu hari. Itu artinya kurang lebih adalah; sikap serakah itu bukan hanya dosa dari sudut pandang agama tapi juga cenderung merusak banyak tatanan.
Ketika jiwa seseorang terjangkit sikap serakah, ia akan merusak pola pikirnya sendiri. Tidak peduli apakah orang itu paham agama atau sangat paham agama, jika keserakahan sudah mengalir di dalam tubuhnya, pengetahuannya tentang agama menjadikannya serupa keledai yang mengangkut ribuan kitab dan buku di atas punggungnya.
Jangan Lewatkan: Demonstrasi Kaum Santri: Daripada Rasis Lebih Baik Tuntut Miras
Apa guna kitab dan buku bagi seekor keledai? Tidak ada. Ia hanya tahu bahwa di punggungnya ada ribuan kitab dan buku-buku tapi ia sendiri tidak mengerti apa isi di dalamnya. Tidak dapat mengambil manfaat dari apa yang sedang dibawanya.
Maka ketika ada berita tentang orang-orang yang melahap ribuan hektar hutan dan tambang untuk mengisi perutnya sendiri, menelan triliunan uang negara, ketika ada orang yang selalu menuntut bagian ini dan bagian itu hanya untuk dirinya sendiri saja, kita jadi bertanya-tanya; masih diperlukan atau tidak tuturan Gandhi di atas?
“Nak, jika kamu selalu ingin memikirkan tentang dirimu sendiri, aku tidak punya tempat terbaik untuk menampungmu di sini selain kandang babi milik tetanggaku,” kata seorang guru ketika menerima kedatangan seorang murid yang ia tahu si murid itu punya pikiran serakah dalam dirinya.
Si murid terdiam beberapa saat. Ia berusaha merenungkan kata-kata calon gurunya itu sampai akhirnya ia menyadari apa makna di balik pernyataan si guru tadi. Lalu segera ia bersimpuh dan bersujud di depan gurunya sambil berkata, “Mulai detik ini, ribuan babi yang selama ini mendiami hatiku akan aku lepaskan guru. Maka terimalah salam hormatku. Angkat aku jadi muridmu.”
Jangan Lewatkan: Merawat Kebhinekaan di Era Globalisasi
Si guru tersenyum. Hari itu ia merasa sangat senang karena memiliki seorang murid baru yang begitu mudah memahami masalahnya sendiri. Dan memang itulah inti dari sebuah didikan; bahwa seseorang perlu belajar memahami masalah terbesar yang membelenggu dirinya sendiri sebelum kemudian mengenal hal lain di luar sana.
Lalu apa salah satu masalah terbesar yang dihadapi manusia? Tidak lain adalah pikiran yang serakah. Ketika keserakahan sudah bertahta lebih awal di dalam pikiran seseorang, tidak ada hal lain yang menyertainya kemudian kecuali kerusakan demi kerusakan.
Seorang pedagang tewas dibunuh oleh temannya sesama pedagang karena si pembunuh merasa semua pembeli hanya boleh membeli dagangan miliknya sendiri. Seorang tukang parkir tega menumpahkan darah tukang parkir lainnya karena merasa pendapatannya lebih kecil dari rekannya sesama tukang parkir. Keserakahan itulah yang kemudian menjadikan mereka gelap mata.
Maka kita perlu diam-diam mengamini ketika penyair Celurit Emas, D. Zawawi Imron dalam salah satu bait sajaknya kurang lebih menulis begini; kami kaum gelandangan bersumpah untuk tidak menjadi orang serakah.
Ya, sepertinya mereka yang serakah kiranya perlu dijadikan kaum gelandangan sambil mendekam di penjara. Tujuannya agar mereka menyadari bahwa, orang yang tak pernah dapat bagian karena bagiannya telah diserobot orang lain yang mengambilnya dengan serakah, menanggung ratap pilu yang lebih parau dari sekadar luka karena putus cinta.
Jangan Lewatkan: Tas Hitam Kim
Di manakah letak orang-orang serakah itu? Tentu saja sejak dari pusat pemerintahan hingga ke dusun-dusun perkampungan dan bahkan termasuk di dalam diri kita sendiri. Dunia itu cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang. Begitu kata Gandhi suatu hari.
Rusdi, M.A, pengajar di IAINU Kebumen Jawa Tengah