Demonstrasi Kaum Santri: Daripada Rasis Lebih Baik Tuntut Miras

Literasi, Opini835 Dilihat

Demonstrasi Kaum Santri: Daripada Rasis Lebih Baik Tuntut Miras

Alkautsar Holzian

Kantor Kepolisian Daerah Istimewah Yogyakarta (Polda DIY) diramaikan dengan aksi demonstrasi pada hari Selasa, 29 Oktober 2024. Berbagai elemen masyarakat dan mayoritas santri yang ikut aksi ini. Ribuan santri memenuhi halaman Polda DIY dan menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas kasus Penusukan terhadap dua orang santri yang terjadi 23 Oktober 2024 silam. Berawal dari Kasus penusukan tersebut, para santri terdorong untuk menggelar aksi solidaritas dan menyuarakan “tuntutan” agar pelaku mendapat hukuman yang pantas.

Di halaman Polda DIY, saya menyaksikan langsung bagaimana aksi demonstrasi itu berjalan. Entah karena sudah menjadi hobi saya untuk mengikuti demonstrasi, atau karena dorongan tugas dari dosen. Seruan aksi pasti ada banyak instrumen, mulai dengan menyanyikan mars Yalal Wathon yang menjadi ciri khas bagi kaum santri, dan juga lagu Buruh Tani yang biasanya mahasiswa nyanyikan saat demo. Terdapat juga instrumen lain dalam aksi ini, terdapat tulisan-tulisan spanduk dan juga banyak demonstran yang membawa kertas berisikan slogan. 

Janga Lewatkan: Gegara Santri Ditusuk, Ribuan Santri Desak Polda DIY Adili Pelaku dan Tutup Outlet Miras

Dari instrumen yang ada, saya jadi memahami bahwasannya demo ini juga merujuk pada tuntutan lain, yakni “Tolak Miras”. Pernyataan dari Muiz, selaku koordinator aksi solidaritas santri, semakin memperkuat pemahaman saya tentang arah demonstrasi ini. Awalnya, saya kira demo ini untuk mendesak pemerintah untuk meningkatkan keamanan di Yogya, namun ternyata juga untuk mendesak aparat memperketat control terhadap peredaran minuman beralkohol. 

Yogyakarta memang terkenal dengan peredaran Miras yang cukup tinggi ketimbang daerah-daerah lain. Meski tidak ada data pasti tentang angka peredaran dan konsumsi miras di Yogya, masyarakat umumnya sudah mengetahui bahwa peredaran miras marak terjadi di Yogya. Golongan mahasiswa khususnya, mereka memahami bagaimana minuman beralkohol tidak sulit di lingkungan sekitar. 

Terlepas dari soal peredaran Miras, saya tertarik dengan isi tuntutan para santri di aksi ini yakni penolakan Miras. Penolakan Miras dalam demonstrasi ini tentunya tidak hanya bermotif pada pelanggaran HAM yang terjadi pada korban penusukan. Terdapat motif lain yang berbeda dengan pelanggaran HAM dan keamanan lingkungan Yogya, yakni “Haramnya Miras”. Semua orang di seluruh dunia telah tahun hukum haramnya miras. 

Jangan Lewatkan: Halaqah BEM Pesantren Dukung Penuh Aksi Solidaritas Santri di Mapolda DIY

Motif-motif lain kiranya sangat mungkin melatar-belakangi konflik Penusukan Santri di atas. Entah itu karena kognitifnya para pelaku, keamanan yang tidak stabil, dan kemungkinan lainnya. Saya sendiri sempat mengamati polemik yang terjadi usai berita tentang Penusukan ini beredar. Opini-opini “berbahaya” pun mulai bertebaran sana-sini, dari yang menyalahkan etnis si pelaku, stereotip-stereotip tak berdasar, sampai rasisme. Akan tetapi, Aksi Solidaritas Santri kemudian memperjelas motif utama yang mestinya diusut. Secara tidak langsung aksi ini mempertegas “Penyebab utama konflik adalah MIRAS!!”.

Bagi saya, isu miras dalam demonstrasi ini memiliki efek positif. Penilaian ini bukan subjektifitas saya yang bukan pengonsumsi minuman beralkohol, ataupun karena identitas saya sebagai seorang muslim. Namun efek positif ini saya amati dari pra-kondisi demonstrasi dan juga pemetaan konflik yang mengekor dari peristiwa “Penusukan Santri”. 

Dalam menganalisa konflik, literatur sosiologi menyediakan banyak cara dalam mengartikan sebuah konflik, atau memahami bagaimana alur konflik berjalan. Tentunya cara-cara analisis ini akan berbeda tergantung teorinya. Salah satu teori konflik yang cukup terkenal adalah teori konflik Lewis Alfred Coser.

Jangan Lewatkan: Dua Santri Krapyak Ditusuk, Gus Hilmy: Tuntut Usut Tuntas dan Tutup Outlet Miras

Coser merupakan sosiolog Jerman-Amerika, lahir di Berlin pada tahun 1913 dan mengenyam Pendidikan tinggi di Amerika. Ia menjabat sebagai presiden ke-66 Asosiasi Sosiologi Amerika pada tahun 1975. Coser banyak berkontribusi di dunia sosiologi khususnya di bidang kajian konflik. Dalam bukunya yang berjudul ”The Functions of Social Conflict”, Coser memiliki pandangan yang berbeda dengan teoritikus-teoritikus konflik sebelumnya. 

Hal yang paling populer dari teori konflik Coser adalah ia memandang bahwa konflik tidaklah selalu bersifat negatif. Konflik juga memiliki fungsi tersendiri dalam merawat tatanan sosial masyarakat. Di kehidupan sehari-hari, konflik bahkan menjadi hal yang paling fundamental bagi kita. Coser menekankan bahwa konflik dapat menjadi sumber integrasi di antara masyarakat dan memicu adanya kompromi dalam komunikasi antar pihak. (Novri Sausan 2014)

Misalkan, Demonstrasi dalam Aksi Solidaritas Santri. Demonstrasi ini telah mengintegrasi ribuan santri yang berasal dari berbagai pondok pesantren di Yogya serta mendorong mereka untuk turun ke jalan. Aksi ini berhasil mempertemukan berbagai pihak yang mungkin belum pernah saling mengenal sebelumnya. Di sisi lain, aksi ini memediasi komunikasi masyarakat dengan pemerintah dengan menuntut peredaran Miras yang marak terjadi di Yogya. Bentuk komunikasi yang demikian menimbulkan respon dari aparat untuk menangani masalah yang sebelumnya jarang sekali mendapat perhatian. Aksi ini juga yang kemudian menggiring publik untuk memperhatikan Undang-undang peredaran Miras.

Coser juga membagi konflik berdasarkan dua jenis, yakni Realistis dan non-realistis. Konflik Realistis merujuk pada konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan keuntungan yang seharusnya pihak yang berkaitan mendapatkannya. Tuntutan dalam konflik ini diarahkan kepada objek yang awalnya menjanjikan terpenuhinya tuntutan tersebut. Semisal para buruh yang menuntut pemerintah untuk merevisi Undang-Undang ketenagakerjaan yang nyatanya tidak memberikan kesejahteraan sebagaimana janji sebelumnya,(George Ritzer 2005)

Jangan Lewatkan: Substansi Kefakiran

Sedangkan konflik non-realistis bukan berasal dari tujuan-tujuan yang berebut antara pihak yang bersaing dan tidak untuk mengalahkan seorang antagonis. Konflik ini bertujuan untuk meredakan ketegangan antar pihak yang berkonflik atau meredakan agresi salah satu pihak. Konflik ini bekerja dengan memunculkan “Kambing Hitam” baru sebagai lawan. Kambing Hitam baru didatangkan karena prasangka (Prejudice) dari sang penuntut tidak dapat dihilangkan. Simpelnya, pengalihan objek tuntutan pada hal yang lain agar konflik tersebut reda atau terhindar.

Seperti yang saya ceritakan di atas, aksi demonstrasi ini mempertegas dari “Penyebab atau Motif dari adanya konflik” berupa peredaran Miras. Selain memiliki tujuan ideologis, tuntutan terhadap peredaran Miras juga bisa sebagai penandatangan Kambing Hitam (Coser 1956). Tentunya Prejudice masyarakat akan terarah pada hal-hal yang berkaitan dengan pelaku, dan itu tidak dapat dihindari. Jika prasangka tertuju pada etnis atau identitas lain dari pelaku, hal ini dapat menyebabkan bentrokan baru (jenis bentrokan antar-etnis). Bahkan hal tersebut berpotensi menimbulkan opini-opini kontra-produktif (isu rasisme).

Oleh karena itu, hadirnya Penolakan Miras sebagai tuntutan utama pada demonstrasi santri memberikan dampak yang positif sekaligus meredakan ketegangan etnis. Ketegangan etnis sangat rentan dan sering terjadi di Yogya. Isu etnisitas dan kedaerahan merupakan hal yang sensitif karena cenderung bias dan melayani sentimen. Dengan langkah para santri ini, potensi peristiwa bentrokan etnis setidaknya dapat berkurang.

Saya pribadi menganggap tindakan para inisiator demonstrasi dan seluruh elemen yang ikut dalam aksi telah mengambil Langkah yang bijak. Sadar atau tidak, seluruh masyarakat masih berusaha menjaga kerukunan antar umat yang beragam. Taktik di atas akan benar-benar berdampak positif apabila arahnya pada tujuan yang tepat.

Alkautsar Holzian, Mahasiswa Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Referensi:

Coser, Lewis A. 1956. The Functions of Social Conflict. Routledge.

George Ritzer, Donglas J., GOodman. 2005. Teori Sosiologi Modern / George Ritzer, Donglas J. Goodman ; Diterjemahkan Oleh Alimandan ; Editor, Triwibowo Budi Santoso | OPAC Perpustakaan Nasional RI.

Novri Sausan. 2014. Pengantar Sosiologi Konflik. Kencana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *