Cerpen Daruz Armedian
Tak ada yang dipertanyakan Mei, perempuan yang menjadi korban penyerangan orang-orang pada etnis Tionghoa itu, ketika duduk di sebuah bangku yang usianya sudah tua, kecuali satu: adakah cinta benar-benar keras kepala?
Mei melihat seluruh perempuan yang duduk di bangku taman itu gelisah. Mereka sama-sama menunggu seseorang yang telah berjanji akan bertemu. Tetapi, Mei, salah satu di antara lima perempuan yang duduk di lima bangku itu, tidak memperlihatkan aroma kegelisahan. Bagaimanapun juga, menunggu adalah pekerjaan, pikirnya. Dan bukankah bekerja tak ada yang sia-sia kecuali bagi yang putus asa?
Daun pun jatuh.
Mei teringat sesuatu ketika daun itu tepat tergeletak di pangkuannya.
Anak kecil duduk sendirian di bangku tempat penjemputan depan sekolahan. Di bawah mendung tebal yang sebentar lagi mencair jadi hujan. Anak kecil itu, dengan rambut dikuncir dua, mempermainkan ujung bajunya. Kadang-kadang melihat jam yang ada di pergelangan tangan kirinya.
“Sedang menunggu siapa, Sayang?” tanya Mei bersamaan daun-daun yang berjatuhan sebab angin semakin kencang.
“Ayah.” Jawab anak kecil itu singkat. Matanya melihat Mei, lalu beralih ke daun-daun yang sudah berguguran di jalanan.
Mei mengerti bocah itu gelisah. Mungkin ia sudah lama di sini. Ayahnya lupa menjemput, atau di rumah masih sedang sibuk. Segala kemungkinan pastilah bisa terjadi di luar dugaan. Sebagai perempuan yang sudah dipanggil guru, atau memang kelakuan aslinya seperti itu, Mei segera mengatakan hal ini:
“Mau kuantar pulang?”
Dan entah sebab anak itu takut mendung akan segera jadi hujan atau takut ayahnya lupa menjemput atau terlalu percaya dan rindu pada perempuan dewasa karena sudah lama kehilangan seorang ibu, ia menganggukkan kepala. Mengatakan setuju tanpa kata-kata.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Pelajaran Berharga dari Membunuh Kucing
Itu adalah hari di mana pertama kali Mei bertemu seorang lelaki yang baik hati—selain almarhum ayahnya. Lelaki itu begitu lembut ketika berhadapan dengan anaknya atau siapa pun. Ia juga tidak segan mengucap terima kasih pada perempuan. Seingat Mei, jarang sekali lelaki berterima kasih pada perempuan kecuali dalam rayuan. Sejak tragedi yang merugikan orang-orang Tionghoa di beberapa tahun lalu, Mei selalu beranggapan kalau semua lelaki adalah lambang kejahatan. Mungkin ia sedang trauma bagaimana seorang lelaki mengangkanginya. Waktu itu ia berumur lima belas tahun. Maka ia bersumpah tidak akan menikah.
Tetapi, saat Mei bertemu lelaki itu, ia melanggar sumpahnya. Dan, sumpah itu berganti menjadi sebuah sumpah bahwa ia akan menerima segala resiko yang muncul akibat melanggar sumpah.
Lelaki yang ditunggu Mei belumlah datang sebagaimana orang-orang yang ditunggu perempuan-perempuan lainnya. Mei sesekali memperhatikan perempuan-perempuan tersebut dengan prihatin. Ah, seharusnya tak perlu ada penantian bagi setiap yang tidak jelas untuk datang.
Mei melanjutkan ingatannya. Ia semakin sering mengantarkan anak kecil itu ke rumahnya. Kemudian, mungkin sudah takdirnya, Mei akhirnya dinikahi ayah anak itu. Mereka menjadi keluarga paling bahagia di dunia, dengan kesetiaan yang sempurna. Terutama bagi Mei, kehidupannya menjadi lebih cerah dari biasanya.
Tetapi waktu memang cepat berlalu. Saat ini Mei terpisah dengan lelaki itu. Ketika berpisah, Mei tidak ingat apa-apa kecuali suaminya mengatakan akan terus menemuinya di bangku taman yang sudah disebutkan pada saat sore tiba.
Mei memutuskan ingatannya. Mungkin karena terlalu pahit untuk dikenang. Ia memandang sekitar. Ia memandang perempuan-perempuan lain yang menungggu sama seperti dirinya.
Sepertinya, sudah terlalu lama perempuan-perempuan itu menunggu. Kalau dalam perhitungan waktu, kira-kira akan ditemu: dua jam lebih dua puluh lima menit. Dan matahari yang tadi agak tinggi kini perlahan mulai tenggelam. Satu per satu dari mereka pergi, mungkin sudah patah hati. Tetapi Mei bergeming. Ia tetap menunggu. Menunggu dan menunggu.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Nikmati Kakimu, Bung!
Awalnya, perempuan yang kelihatan lebih tua, dengan kebaya hijau muda, menggumamkan sesuatu yang tidak bisa didengar siapa pun saking lirihnya, kecuali si penulis cerita ini, “Bagaimana bisa perempuan diciptakan hanya untuk bermain-main dengan penantian?”
Perempuan itu berdiri dan melangkah perlahan. Mengikuti orang-orang yang berlalu-lalang di taman. Ia tidak menoleh ke bangku yang tadi ditempatinya, sama sekali tidak menoleh. Padahal bisa saja tiba-tiba seseorang yang ia tunggu duduk di situ, memberinya kejutan berupa senyuman dan permintaan maaf atas keterlambatannya lalu diam-diam, tak disangka, mengeluarkan cincin mungil dari saku sebagai bentuk cintanya.
“Tidak. Aku tidak mau berimajinasi sekonyol itu.” Perempuan itu tetap melengang, tubuhnya ditelan kerumunan orang. Kerumunan orang yang hendak pulang meninggalkan taman. Taman yang hendak ditinggalkan matahari dan direbut malam.
Sementara itu, Mei melihat bangku yang sudah kosong. Waktu itulah, ia bertanya yang entah kepada siapa, adakah bangku kosong juga menunggu seseorang yang akan menempatinya? Bukankah setiap yang ada di muka bumi ini mempunyai perasaan? Tentu saja perasaan bangku dan manusia berbeda. Barangkali bangku lebih tabah dan lebih bijak menyikapi penantian ketimbang manusia.
Ah, aku ingin seperti bangku kosong itu. Ia tabah menunggu. Ia keras kepala mempertahankan cintanya. Suatu pembicaraan singkat terjadi di dunia kepala Mei.
Jangan Lewatkan Tonton Puisi: Perantau di Jalur Bantul-Sleman
Kemudian dua perempuan meninggalkan bangkunya masing-masing. Mereka melangkah mendekat satu sama lain. Keduanya memaki-maki—yang tentu saja tidak patut ditulis di sini. “Kenapa laki-laki diciptakan untuk mengingkari janji?”
Satu lagi, kini perempuan yang masih berwajah imut-imut, pergi dengan mata yang sembab. Mei berkata lirih seolah berbicara pada dirinya sendiri, ah, kasihan kau gadis kecil. Seumuran kau sudah mengenal patah hati.
Hari mulai petang dan Mei tetap teguh pendirian. Lampu-lampu menyala serentak, seperti ada satu lampu sebagai pemimpin yang menyuruh mereka menyala. Cahaya lampu-lampu itu menyisir rambut Mei, memoles wajahnya, mempertegas seorang pembaca bahwa ia tidak kenapa-kenapa. Tak ada gurat kecewa sedikit pun pada perempuan yang sudah lama menunggu itu. Orang-orang yang mulanya jarang-jarang, kini bertambah lagi. Bergerombolan, berduaan, dan kau harus tahu, Mei tetap sendirian.
Mei mendesah, tetapi hatinya tidak gelisah. Matanya tertumpu pada kunang-kunang yang kebetulan lewat di depannya. Dan sungguh, sebuah kebetulan itu malah membawanya pada dunia masa lalu.
Kunang-kunang kecil yang digenggam tangan kecil. Tangan itu milik Mei. Tangan itu meletakkan kunang-kunang di sebuah toples kaca. Si pemilik tangan tidak pernah mengira bahwa kunang-kunang kalau berada di toples dalam jangka waktu yang lama akan mati. Mei menangis nyaring.
“Sudahlah, jangan menangis. Kunang-kunang bisa ditangkap di manapun.” Itu suara ibunya.
Suara itulah yang terakhir kali Mei dengar dari perempuan yang melahirkannya tersebut. Sebab, sebuah tragedi yang terjadi beberapa tahun lalu telah membuat ibunya mati. Sebuah toko dibakar dan di dalamnya masih ada seorang perempuan yang anaknya berusia lima belas tahun.
Itu adalah hari di mana Mei merasa dunia ini nama lain dari neraka. Ia meneteskan air mata. Dan hampir lupa kalau di bangku itu ia sedang menunggu. Ketika ingat kalau dirinya sedang menunggu, Mei berusaha menghilangkan bayangan menyedihkan itu. Ia tidak mau kesedihan mengganggu penantiannya.
Dan akhirnya …
Jangan Lewatkan Cek Juga: Lomba Cover Sholawat Nahnu TV
Akhirnya, seseorang yang ditunggu itu datang. Lelaki jangkung dengan hidung mancung dan rambut panjang hitam legam seperti pertama kali ia bertemu. Mei bahagia dan ingin memanggilnya dengan suara lantang. Ia ingin bangkit dan menghambur ke sana, memeluknya, menciumnya. Tetapi, semua itu ia urungkan. Biarkan lelaki itu melangkah ke sini tanpa ada gangguan, pikir Mei.
Lelaki itu masih dengan seorang putrinya yang cantik dan imut-imut. Seorang gadis kecil yang pernah diantar pulang Mei. Mereka menuju di bangku tempat Mei duduk di atasnya. Mereka, tanpa bicara apa-apa sebelumnya, duduk di bangku itu juga. Di antara mereka, sampai waktu yang agak lama, tetap tak ada pembicaraan.
Lelaki itu membiarkan putrinya menghambur ke arah anak-anak sebayanya yang tampaknya sedang bermain. Sedangkan dirinya sendiri membiarkan lamunannya terbang entah ke mana. Sesekali tersenyum melihat tingkah putrinya. Senyum yang getir.
“Ah, seandainya Mei ada di sini.” Gumamnya. Gumaman lirih yang seolah ditujukan pada dirinya sendiri.
Mendengar gumaman itu, Mei membalas, “Aku di sini, Mas.”
Lelaki itu menatap ke arah yang jauh. Ke arah yang tak bisa disentuh.
“Mas, Mei di sini.” Kata Mei lagi dengan suara yang lebih kencang.
Tetapi lelaki itu tak mendengar. Di situ, di atas bangku itu tak ada suara siapa-siapa kecuali tawa anaknya yang bermain bersama anak-anak lainnya. Di situ, di hatinya itu, ia merasa tak ada apa-apa kecuali kehampaan yang semakin runcing dan menghunjam.[]
Daruz Armedian, pernah bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Mendapatkan penghargaan cerpen terbaik tingkat remaja di DIY dari Balai Bahasa Yogyakarta tahun 2016 dan 2017. Tulisannya pernah tersiar di Koran Tempo, Media Indonesia, Nova, Suara Merdeka, Republika, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Lampung Pos, Solo Pos, Detik.com, Basabasi.co, dll.
2 komentar