Anas S. Malo
Beberapa hari menuju keberangkatan, ia sering melamun, dengan pandangan kosong. Tatapannya begitu sendu. Ada perasaan gelisah yang selalu menggelayut. Setiap saat, ia selalu berwudhu. Setiap saat, ia mengingat Tuhan.
“Apa benar, ini adalah perasaan gelisah yang menimpa orang yang akan menemui ajal?” gumamnya sambil menarik nafas panjang. Tetapi ia pun tidak yakin dengan perasaan yang menggelisahkan ini. Bisa saja, perasaan gelisah ini memang karena hakikat manusia tidak lepas dari rasa gelisah atau cemas. Ia pun ingat, ciri-ciri orang yang akan mangkat dari jasad menurut Kiai kampung yang mengajarinya mengaji di surau beberapa puluh tahun yang lalu. Salah satu ciri orang yang akan meninggal adalah cemas tanpa alasan. Tetapi, begitulah Mak Warsih, ia selalu siap jika harus meninggalkan dunia ini. Menurutnya, kematian adalah jalan rindu seorang kekasih.
“Jika ini kehendak-Mu, hamba ikhlas dengan apa menjadi ketentuan-Mu. Setidaknya, hamba sudah bercita-cita menyempurnakannya rukun agama dengan beribadah haji, seperti halnya orang-orang saleh pada umumnya.”
Di tahun ini, Mak Warsih berkesempatan untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima. Ia sudah tidak sabar melihat Ka’bah dan mencium hajar aswad. Hal ini merupakan impian yang sudah lama ia pendam dan sebentar lagi akan terwujud. Ia pun tidak menyangka tanah yang hanya seperempat hektar bisa dihargai tinggi oleh pihak pertambangan. Ia pun bisa merenovasi rumah, menyumbang pembangunan masjid, menikahkan putrinya dan dengan uang tersebut, ia bisa berangkat haji.
Tidak hanya Mak Warsih, beberapa tanah milik penduduk juga dibeli dengan harga selangit oleh pihak pertambangan. Desa Gayam memiliki sumber minyak yang melimpah, sehingga investor asing bersedia menanam modal di sana. Tidak sedikit warga menjual tanahnya untuk keperluan lain, seperti menikahkan anaknya, untuk modal usaha, membeli mobil dan tidak jarang mereka mendaftarkan diri untuk naik haji.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Rekomendasi untuk Para Santri
Akhirnya keinginan Mak Warsih akan segera terwujud. Setiap tengah malam, ia selalu berdoa untuk keberangkatannya. Tanah satu-satunya peninggalan almarhum suaminya sudah resmi menjadi milik pihak pertambangan setelah ia tanda tangan di atas materai 6000 untuk pelepasan tanahnya. Sebelumnya, Rustam mengadakan musyawarah keluarga dengan saudara-saudaranya untuk membicarakan penjualan tanah yang akan digunakan sebagai biaya keberangkatan Mak Warsih ke tanah suci.
***
“Apa sebaiknya kita tidak usah menjual tanah itu? Bapak membeli dengan penuh perjuangan. Tanah itu juga menghasilkan panen yang banyak,” ucap Kasim.
“Memangnya abang sanggup membiayai ibu haji?” potong Sari sang putri bungsu.
“Begini saja, kalau memang Kasim mampu membiayai keberangkatan ibu untuk pergi haji, kita tidak usah dijual menjualnya. Kasim berhak atas tanah itu. Lagi pula ibu juga tinggal bersamamu,” ucap Rustam anak sulung.
“Kakak tahu sendiri kan, pekerjaan sebagai penulis cerita pendek tak seberapa? Untuk makan saja masih pas-pasan, apalagi untuk membiayai keberangkatan ibu. Kalau memang jalan satu-satunya hanya bisa menjual tanah itu, apa boleh buat. Itu juga demi kebaikan ibu,” ucap Kasim.
“Pihak pertambangan menawarkan harga yang tinggi. Sisanya masih banyak, kita gunakan sebagai modal usaha,” ucap Rustam.
“Iya, aku setuju. Kebetulan suamiku membutuhkan modal untuk pengembangan usaha toko gentengnya,” sahut Sari.
“Bagaimana dengan kamu Kasim?”
“Aku juga setuju, tetapi aku berhak mendapat jatah yang lebih banyak, karena aku yang merawat ibu. Lagi pula, aku mau usaha ternak bebek,” jawab Kasim
“Tidak bisa seperti itu, kami berdua juga sering menyambangi ibu dan selalu meninggalkan uang untuk ibu. Bagaimana bisa kamu berpikiran seperti itu,” sahut Rustam.
“Kamu tidak tahu setiap harinya. Saat ibu sakit kamu di mana?” Ucap Kasim.
“Kenapa kamu tidak memberi kabar, jika ibu sakit? Kamu anggap apa aku selama ini?”
Jangan Lewatkan Baca Juga: Bambu Berdarah
Pertengkaran kecil terjadi. Mak Warsih muncul dari kamarnya, dengan wajah amat kecewa. Perempuan berumur kurang lebih enam puluh tahun itu duduk di antara anak-anaknya yang bersitegang.
“Bagaimana perasaan bapak kalian melihat kalian bertengkar gara-gara warisan? Sisa biaya haji, biar ibu yang membagi secara adil, selebihnya ibu akan menyedekahkan uangnya untuk pembangunan masjid yang membutuhkan sumbangan, sebagai amal jariah bapak kalian,” tegas Mak Warsih.
Sari menghela napas. Ia begitu kecewa dengan keputusan ibunya. Ia mengira, bahwa ia akan menerima modal usaha yang besar. Setidaknya, ia mengira akan menerima modal yang cukup untuk mengembangkan usaha yang dirintisnya. Ia butuh mobil untuk mengangkut genteng pesanan dari pelanggan. Selama ini, suaminya hanya bisa menyewa jasa angkut milik tetangganya.
Sementara Kasim juga demikian. Ia juga merasa kecewa dengan keputusan ibunya. Ia berpikir, jika ibunya akan membagi uang penjualan tanah dengan jumlah yang besar, tetapi nyatanya, ibunya tak mewariskan apa pun terhadap dirinya. Tiba-tiba ia keluar dari rumah ibunya dengan menahan geram sejadi-jadinya. Sebelumnya, beberapa kali ia berusaha membujuk ibunya untuk mempertimbangkan semua itu. Untung saja, Kasim dan kedua saudaranya itu, tidak berani menentang keputusan ibunya.
Mak Warsih dikenal sebagai orang yang dermawan. Ia selalu membagikan makanan pada tetangga terdekat. Biasanya, ia memasak daging kurban, dengan kuah banyak, supaya tetangganya bisa kebagian. Atau saudaranya yang mengadakan acara doa bersama, ia mendapat kiriman berupa makanan yang selalu ia bagikan, meski tidak seberapa.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Sajak-sajak Azam Tanjalil Anfal
Mak Warsih rajin jamaah di masjid. Rumahnya tak terlalu jauh dari masjid. Setiap waktu, ia selalu menyempatkan untuk pergi jamaah di masjid, meskipun kadang kala, asam urat dan asmanya sering kambuh. Pernah suatu kali, ia berhenti dalam langkahnya. Di tengah-tengah langkahnya, ia meringis kesakitan; memegang dadanya yang terasa sesak. Ia terus berusaha melangkah di jalan berkerikil, dipayungi pohon-pohon ketapang. Berjalan terhuyung-huyung. Untung saja, Mak Warsih selalu ada yang menolong. Sudah bertahun-tahun, penyakit asmanya bersarang di dadanya. Selain itu, waktu terus menggerogoti kesehatannya, meski ia tahu, bahwa semua itu pertanda, hidup akan selalu seperti itu, akan lapuk oleh waktu.
Mak Warsih membuka jendela. Dilihatnya beberapa truk-truk melintas di depan rumahnya. Udara semakin panas dan pengap. Debu-debu jalan beterbangan. Sementara itu, di tempat berbeda, pembangunan pertambangan terus berlangsung. Kian hari pertambangan semakin meluas. Beberapa sawah ditanam fondasi. Beberapa yang lain mengeruk tanah menggunakan alat besar. Sawah-sawah yang semula membentang, hijau segar, berubah menjadi tumpukkan bahan material yang akan menjadi bangunan megah, mengalahkan bukit-bukit kapur. Tanaman yang begitu subur berubah menjadi pipa-pipa raksasa, truk-truk besar.
***
Setelah berwudhu, Mak Warsih di balik jendela dengan perasaan gelisah yang tak kunjung berakhir. Kemudian, ia duduk di ranjang. Perlahan tubuhnya menjadi dingin, seperti tidak teraliri darah, lalu terasa mati rasa. Jantungnya berdegup kencang lalu melemah. Tenggorokannya terasa haus. Sepertinya, ia tahu, apa yang terjadi pada dirinya. Ia selalu mendambakan kematian yang indah. Ia cukup bersyukur dengan apa yang dialaminya, meskipun tiga hari ke depan, ia dijadikan untuk berangkat ke tanah suci.
Anas S. Malo, lahir di Bojonegoro, belajar di Universitas Nahdatul Ulama Yogyakarta Prodi Teknologi Hasil Pertanian. Karya-karyanya sudah tersiar di media lokal maupun nasional. Antologi cerpennya diterbitkan Belibis Pustaka berjudul Si Penembak Jitu, 2020