Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an #8
Aldi Hidayat
Esai sebelumnya menjelaskan tata cara wahyu turun kepada malaikat dan kaitannya secara sekilas dengan Nabi Muhammad SAW. Esai kali ini akan mengungkap rincian bagaimana turunnya wahyu kepada Nabi SAW sendiri. Sebelumnya, ada pertanyaan menggelitik yang harus dijawab, “Mengapa disebut turunnya wahyu?” Dalam bahasa Arab, turun tersebut disimbolkan dengan kata nazal. Mengapa harus disebut nazal atau turun?
‘Abdul ‘Azhim al-Zarqani menyebutnya sebagai kiasan belaka. Pasalnya, bila turun tersebut dipahami secara denotatif (sesuai makna aslinya), maka kesannya Allah itu ada di atas, padahal Allah tidak bertempat. Turun di sini hanya kiasan dari posisi Allah sebagai atasan bagi segalanya dan posisi Nabi SAW sebagai bawahan-Nya. Sebenarnya yang terjadi bukan turunnya firman Tuhan, melainkan penyampaian firman dari Sang Maha Teratas untuk bawahannya, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Jangan Lewatkan: Bagaimana Wahyu Tiba?
Lebih lanjut, kata turun di sini sah-sah saja dipahami secara denotatif. Pasalnya, dalam rentetan proses turunnya, firman Tuhan terlebih dulu bersemayam di Baitul ‘Izzah (langit pertama). Bumi sendiri berada di bawah langit, paling tidak dalam pemahaman manusia, meski kenyataannya bukan di bawah langit, namun dilingkupi oleh langit. Hanya saja, yang bersemayam di Baitul ‘Izzah bukan firman Tuhan, karena sekali lagi, firman-Nya tidak bertempat. Yang ada di sana adalah terjemahan-Nya yang immanental atas firman-Nya yang transendental. Menyangkut ini, penulis akan mengkajinya lagi pada edisi-edisi mendatang. Sekarang kita balik lagi ke topik; apa saja cara turunnya wahyu kepada Nabi SAW.
Secara skriptural, ayat yang menerangkan bentuk-bentuk turunnya wahyu kepada rasul dan nabi adalah:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ. إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيْمٌ.
Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Tinggi, Maha Bijaksana. (QS. Al-Syura [42]: 51).
Berdasarkan ayat ini, tata cara wahyu sampai pada Nabi SAW ada tiga, yaitu bersifat langsung, dari belakang tabir dan lewat perantara malaikat. Pertama, bersifat langsung, seperti ilham dan mimpi. Pada esai sebelumnya, disebutkan tentang aneka macam wahyu. Wahyu yang berupa ilham masuk dalam kategori bersifat langsung. Konon, Nabi Dawud as menerima kitab Zabur dalam bentuk ilham. Lalu bagaimana dengan wahyu lain, seperti insting binatang dan manusia, bisikan setan dan lain sebagainya? Apa semua itu masuk wahyu kategori ini? Wahyu itu penyampaian informasi secara cepat dan tersembunyi. Siapa yang menyampaikan dan siapa yang menerima itu hal lain. Wahyu yang kita bicarakan sekarang adalah wahyu yang dari Allah sebagai komunikator dan untuk Nabi SAW sebagai komunikan.
Jangan Lewatkan: Wahyu Terus Tiba, Sekalipun Rasul dan Nabi Sudah Tiada
Pertanyaannya, adakah ayat al-Qur’an yang disampaikan lewat mimpi, jika memang mimpi merupakan bagian dari wahyu? Tidak ada. Mimpi Nabi SAW hanya persiapan bagi turunnya wahyu saat beliau sadar. Contohnya ialah surat al-Kautsar. Ada yang menuduh surat ini turun saat Nabi SAW tidur alias melalui mimpi. Sebenarnya tidak demikian. Dalam Hadis riwayat Muslim, disebutkan bahwa suatu hari, Nabi SAW duduk-duduk bersama beberapa sahabat di masjid Nabawi. Beberapa saat kemudian, Nabi SAW tertidur sejenak. Tak berselang lama, beliau bangun sambil mendongakkan kepala diiringi senyuman. Sahabat heran menanyakan mengapa beliau tiba-tiba tersenyum. Beliau kemudian membacakan surat al-Kautsar. Mimpi dalam kisah tersebut adalah pengantar saja sebelum kemudian beliau secara sadar menerima wahyu yang diisyaratkan dengan dongakkan kepala beriring senyuman.
Kedua, dari belakang tabir maksudnya tiba-tiba seorang rasul atau nabi mendengar suara tanpa diketahui siapa gerangan yang melafalkannya. Suara itu adalah terjemahan Tuhan yang membumi atas firman-Nya. Menurut Manna’ al-Qaththan, tidak ada satupun ayat yang terkirim pada Nabi SAW dalam bentuk ini. Lalu, apa tata cara ayat al-Qur’an turun kepada Nabi SAW? Berikut jawabannya.
Ketiga, lewat perantara malaikat yang dalam hal ini Jibril as. Rata-rata ulama sepakat bahwa al-Qur’an sepenuhnya turun melalui perantara Jibril as. Ada beberapa keganjilan dalam kesepakatan ini. Sekarang kita telaah berdasarkan Hadis riwayat Bukhari. Disebutkan bahwa al-Harits bin Hisyam bertanya pada Nabi SAW perihal bagaimana wahyu tiba pada beliau. Nabi SAW menyebutkan ada dua, yaitu seperti bunyi bel dan malaikat berwujud manusia lalu membacakan ayat kepada beliau. Dua bentuk ini diyakini sebagai cara Jibril as menyampaikan wahyu kepada Nabi SAW.
Jangan Lewatkan: Beasiswa BRILiaN Scholarship
Bila kita baca ulang berbagai riwayat tentang turunnya wahyu kepada Nabi SAW, nampak bahwa turunnya wahyu menggunakan 3 cara di atas, bukan hanya tertentu pada Jibril as. Pertama, bersifat langsung. Ini seperti pada kasus surat al-Kautsar. Bahkan, dalam kasus itu, dua macam wahyu langsung dialami oleh Nabi SAW. Mula-mula beliau bermimpi dan tatkala sadar, beliau menerima langsung wahyu itu. Peran Jibril as dalam penurunan wahyu itu tidak dijelaskan, tapi rata-rata ulama masih meyakini ada peran Jibril as di situ. Keyakinan ini tentu lemah, sebab tidak berdasarkan keterangan yang benar-benar jelas. Justru dalam keadaan seperti itu, cara wahyu yang paling mendekati benar ialah wahyu secara langsung.
Kedua, dari belakang tabir. Ini seperti dijelaskan sebelumnya adalah adanya suara yang tiba-tiba Nabi SAW dengarkan. Menyerupai bunyi bel, selaku salah satu cara Nabi SAW menerima wahyu, justru mendekati wahyu kategori ini. Yang menyerupai bunyi bel di sini bukan lafal al-Qur’annya, namun proses turunnya. Ibarat orang yang mengaji secara cepat. Suara ngajinya terdengar mendengung layaknya suara nyamuk, namun bukan berarti ia benar-benar mendengung, sebab ia sedang mengaji al-Qur’an. Kira-kira begitulah gambaran prosesi jenis kedua saat Nabi SAW menerima wahyu. Siapa yang melantunkan ayat itu, sehingga menyerupai bunyi bel? Hadits riwayat Bukhari menjelaskan bahwa saat Allah SWT menghendaki sesuatu, maka malaikat akan mengepakkan sayapnya, sehingga muncullah suara mirip bunyi bel. Hadis ini belum menunjuk langsung wahyu, tapi menunjuk kehendak Allah. Selain itu, di hadits itu, tidak disebutkan Jibril as secara spesifik. Sebaliknya, Nabi SAW menyebut malaikat dalam bentuk malaikat.
Artinya, yang mengepakkan sayap adalah para malaikat, bukan hanya Jibril as. Kalau pun hadits ini bisa dikerucutkan pada urusan turunnya wahyu, maka hadits ini juga menegaskan betapa turunnya wahyu kepada Nabi SAW tidak hanya melalui Jibril, melainkan juga lewat min wara’ hijab (dari belakang tabir) yang rinciannya berupa para malaikat mengepakkan sayap, sehingga menimbulkan suara mirip bel.
Jangan Lewatkan: Loker Guru Bahasa Inggris Freelance
Dua kategori wahyu di atas menurut Ibnu Khaldun adalah momen di mana Nabi SAW lepas dari dimensi kemanusiaannya lalu masuk pada dimensi ketuhanan. Tak heran, Nabi SAW menyebut wahyu macam ini paling berat, sebab beliau harus keluar dari “cangkangnya” (dimensi kemanusiaan). Setelah itu, beliau masuk dalam dimensi ketuhanan.
Ketiga, malaikat Jibril as menyerupai manusia lalu membacakan al-Qur’an kepada Nabi SAW. Ini merupakan kategori ketiga dari tata cara wahyu kepada nabi dan rasul sebagaimana disinyalir oleh ayat di atas. Ini juga salah satu, bukan satu-satunya cara sampainya wahyu (al-Qur’an) kepada Nabi SAW berdasarkan uraian beberapa paragraf di muka. Menurut Ibnu Khaldun, kategori ini adalah momen di mana Tuhan masuk ke dalam dimensi kemanusiaan Nabi SAW. Tak ayal, Nabi SAW menilai wahyu kategori ini paling ringan. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Esais Muda Kutub Yogyakarta
2 komentar