Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an #10
Aldi Hidayat
Mengapa al-Qur’an turun secara bertahap? Esai ini akan fokus menjawabnya. Paling tidak ada 5 hikmah di balik turunnya al-Qur’an secara bertahap. Hikmah sendiri gampangnya tujuan tersembunyi. Kita sebenarnya bebas memakai istilah lain, seperti faktor, motif, orientasi, fungsi dan lain seumpamanya. Intinya, semua itu berpulang pada alasan mengapa al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Berikut 5 hikmah tersebut.
Hikmah pertama ialah memantapkan diri Nabi SAW. Ini dirinci menjadi lima hal. Pertama, dengan bertahap, Nabi SAW akan merasakan suasana batin yang terus terhibur. Pasalnya, bila beliau menerima al-Qur’an sekali jadi, maka suasana batin berjumpa dengan Sang Sakral hanya sekali, sehingga profanitas beliau sebagai manusia biasa tidak lagi tersentuh oleh Sang Sakral. Alhasil, beliau kekurangan amunisi sakral dalam meladeni dunia profan.
Kedua, memudahkan Nabi SAW untuk menghafal dan memahami ayat-ayat al-Qur’an. Kalau meminjam istilah F. Budi Hardiman, kebertahapan membuat Nabi SAW menjadi manusia yang refleksi, bukan refleks. Refleksi berarti ada momen di mana beliau menghayati ayat-ayat yang turun kepadanya. Refleks berarti gampang menanggapi suatu hal tanpa pertimbangan yang matang atau tanpa pertimbangan sama sekali.
Jangan Lewatkan Juga: Nuzul al-Qur’an
Ketiga, kebertahapan membuat al-Qur’an bisa meladeni tantangan orang kafir. Dari situ, kemukjizatan al-Qur’an terungkap sedikit demi sedikit di hadapan musuh-musuhnya. Hal itu akan menguatkan diri Nabi SAW perihal kebenaran Ilahi. Keempat, sebagai implikasinya, Nabi SAW akan menyaksikan kemenangan-kemenangan ayat Tuhan atas para penentang. Dengan begitu, penguatan batin beliau semakin kentara.
Hikmah kedua ialah pelan-pelan mendidik umat Nabi SAW. Secara umum ada dua umat, yaitu umat Islam dan umat dakwah. Umat Islam tertentu pada mereka yang sudah masuk Islam. Umat dakwah ialah mereka yang belum memeluk Islam. Hikmah kedua ini dibagi lagi menjadi:
Pertama, memudahkan umat Nabi SAW, umat Islam untuk menghafal al-Qur’an. Seperti dicatat oleh sejarah, setiap kali turun suatu ayat, Nabi SAW tidak sekadar menyampaikan dan menyuruh sahabat untuk menghafalnya. Akan tetapi, beliau juga menyuruh mereka menulisnya di berbagai sarana penulisan, seperti kayu, batu, tulang dan pelepah kurma.
Kedua, memudahkan umat Islam dalam memahami al-Qur’an. Seperti usai disinggung di muka, kebertahapan memberi peluang untuk refleksi, sehingga menyelamatkan muslimin dari refleks. Lebih jelasnya, dua poin berikut akan melanjutkannya.
Ketiga, memudahkan muslimin lepas dari tradisi sebelumnya, seperti penyembahan berhala, mitos, takhayul, khurafat dan lain sebagainya. Taruhlah misal, ‘Umar ibn al-Khaththab ra harus melewati beberapa fase guna terlepas dari kebiasaannya di era silam, yaitu mabuk-mabukan.
Jangan Lewatkan Juga: Jenggot
Keempat, memudahkan mereka untuk membiasakan diri dengan ajaran Islam. ‘Umar ibn al-Khaththab ra saja membutuhkan 10 tahun untuk mengamalkan surat al-Baqarah. Contoh lainnya ialah shalat 5 waktu. Di samping titah doktrin ini harus mengalami negosiasi berkali-kali dari yang awalnya 50 waktu menjadi 5 waktu, kiblat dalam shalat juga mengalami kebertahapan. Pada mulanya, shalat menghadap Baitul Maqdis di Palestina kemudian beralih ke Ka’bah di Mekkah.
Kelima, melatih spiritualitas dan emosionalitas umat Islam dalam memahami al-Qur’an. Kebertahapan tidak hanya memudahkan penghafalan dan pembelajaran, namun juga melatih kesabaran dan ketabahan. Dengan demikian, turunnya al-Qur’an juga menyentuh afeksi audien pertamanya. Audien pertama berarti pihak yang perdana kali menerima al-Qur’an.
Hikmah ketiga ialah al-Qur’an menyesuaikan diri dengan berbagai peristiwa. Tak heran, salah satu sub bab utama ‘Ulumul Qur’an ialah asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat). Ini tidak saja menegaskan pentingnya melibatkan konteks dalam memahami teks al-Qur’an. Lebih dari itu, ini secara tidak langsung adalah afirmasi atas temuan Nasr Hamid Abu Zayd bahwa al-Qur’an adalah produk budaya. Dalam artian, kemunculannya ke dunia manusia pasti bersinggungan pula dengan budaya manusia. Hikmah ketiga ini lebih jelasnya sebagai berikut.
Jangan Lewatkan Juga: Cinta dan Akal
Pertama, menjawab pertanyaan. Beberapa ayat ada yang turun guna menjawab pertanyaan sahabat atau non-muslim. Salah satunya ialah ayat tentang ruh sebagai jawaban atas pertanyaan Yahudi perihal ruh. Pertanyaan sendiri oleh pakar ‘Ulumul Qur’an klasik dimasukkan sebagai unsur asbab al-nuzul.
Kedua, adaptasi hukum Islam yang termuat dalam al-Qur’an dengan keadaan. Suatu peristiwa acapkali melatarbelakangi turunnya ayat. Rinciannya adalah di kitab tentang asbab al-nuzul. Poin kedua ini adalah unsur pula dalam asbab al-nuzul. Lebih jelasnya akan penulis urai nanti pada edisi seputar asbab al-nuzul.
Ketiga, menerangkan kesalahan umat Islam. Ada beberapa kesalahan sahabat yang disinggung oleh al-Qur’an. Kesalahan ini barangkali cukup langka di pendengaran. Karena itu, penulis akan mencuplik segelintir contoh kesalahan yang ditegur oleh al-Qur’an.
وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ الْمُؤْمِنِيْنَ مَقَاعِدَ لِلْقِتَالِ. وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ.
Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berangkat pada pagi hari meninggalkan keluargamu untuk mengatur orang-orang beriman pada pos-pos pertempuran. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. Ali ‘Imran [3]: 121).
Jangan Lewatkan Juga: Joshua dan Segala Harapan Kita
Ayat ini dan beberapa ayat setelahnya melansir seputar perang Uhud. Pada perang itu, pasukan Islam dikalahkan pasukan kafir. Faktor utamanya ialah tidak disiplin dalam menjaga posisi saat pertempuran. Selengkapnya tentang perang ini tertera di buku-buku sejarah Nabi SAW. Ayat lain yang juga menegur kesalahan muslimin (sahabat) berbunyi:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللهُ فِيْ مَوَاطِنَ كَثِيْرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِيْنَ. ثُمَّ أَنْزَلَ اللهُ سَكِيْنَتَهُ عَلَى رَسُوْلِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَأَنْزَلَ جُنُوْدًا لَّمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا. وَذلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِيْنَ. ثُمَّ يَتُوْبُ اللهُ مِنْ بَعْدِ ذلِكَ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ.
Sungguh Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir. Itulah balasan bagi orang-orang yang kafir. Setelah itu, Allah menerima tobat orang yang Dia kehendaki. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-Tawbah [9]: 25-27).
Secara tersurat ayat ini menyinggung rasa bangga muslimin saat perang Hunain, perang melawan Arab Badui (pedalaman) dari suku Hawazin dan Tsaqif pada 630 M. Saat perang ini sebagaimana disebutkan ayat tadi, pasukan muslim melimpah, sehingga mereka terlalu percaya diri (kira-kira sombong). Akibatnya, dalam pertempuran, mereka sempat terdesak, meski kemudian kemenangan berpihak pada mereka. Teguran seperti tadi tentu takkan terjadi, bila al-Qur’an turun sekali jadi.
Jangan Lewatkan Juga: Agregasi Ruang Tamu
Keempat, dapat mengungkap keadaan musuh-musuh Islam, terutama orang munafik (kelihatannya muslim atau setidaknya memusuhi Islam, namun nyatanya memusuhi dalam diam). Salah satu ayat yang mendokumentasikan itu ialah ayat 8 sampai 20 surat al-Baqarah. Demikian pula, tertera ayat tentang keberadaan dan keadaan orang munafik dalam surat al-Tawbah. Investigasi ini takkan ada atau takkan muslim pahami, jikalau al-Qur’an turun sekaligus.
Hikmah kelima ialah pembuktian bahwa al-Qur’an benar-benar dari Tuhan. Bagaimana gerangan? Al-Qur’an yang turun selama rentang 23 tahun bisa bersinergi antara satu ayat dengan ayat lainnya. Al-Zarqani menegaskan, manusia tentu lemah merancang karya demikian. Pasalnya, manusia akan selalu mengalami perubahan, khususnya secara pikiran. Karena itu, bila manusia menulis 1 hal di usia 10 tahun, maka beberapa tahun kemudian, dia akan merevisi atau paling tidak melontarkan hal yang bertentangan dengan 1 hal tadi. Nyatanya, dalam al-Qur’an, tidak ada kontradiksi demikian. Ini disinyalir secara ringkas oleh ayat berikut:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ. وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا.
Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) al-Qur’an? Sekiranya (al-Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya. (QS. Al-Nisa’ [4]: 82). Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Esais Muda Kutub Yogyakarta
1 komentar