Itu Asbab al-Nuzul? #2

Qurani2 Dilihat

Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an #12

Aldi Hidayat

Esai sebelumnya mengurai unsur asbab al-nuzul dan segelintir contoh kesalahpahaman, sebab tidak berpegang pada asbab al-nuzul. Esai kali ini akan menggubah sumber dan redaksi yang menunjukkan asbab al-nuzul. Dari mana informasi tentang asbab al-nuzul suatu ayat dan bagaimana menentukan bahwa informasi itu memang berkenaan asbab al-nuzul? Berikut sajiannya.

Seputar sumber, paling tidak ada 3. Pertama, bersumber langsung dari Nabi SAW. Bersumber dari Nabi SAW berarti perawi dari kalangan sahabat menyaksikan sendiri perihal Nabi SAW menerima suatu wahyu. Kedua, bersumber dari sahabat. Rata-rata ulama sepakat bahwa jikalau sahabat menuturkan perihal latar belakang turunnya ayat, maka informasinya bernilai otoritatif alias sah dijadikan pegangan. Pasalnya, turunnya wahyu adalah sesuatu yang tidak bisa dinalar, melainkan disaksikan. Sahabat sendiri adalah kelompok muslim pertama yang menyaksikan langsung prosesi turunnya wahyu. Oleh sebab itu, informasi mereka menyangkut ini absah menjadi acuan. Ketiga, bersumber dari tabi’in (muslim yang pernah melihat sahabat). Al-Suyuthi mensyaratkan informasi tabi’in tentang asbab al-nuzul suatu ayat sah dijadikan pegangan, asalkan si tabi’in dikenal pernah belajar pada sahabat, seperti Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah dan lain sebagainya.

Lebih lanjut, tiga sumber di atas belum cukup. Harus ada selidik atas mata rantai perawi yang “mengatasnamakan” diri bersumber dari salah satu tiga pihak tadi. Di sini, disiplin ilmu hadits masuk dalam nominasi. Artinya, kajian atas sanad (mata rantai perawi) atau biasa disebut kritik sanad harus dilibatkan. Jika demikian, maka buku tentang para perawi masuk dalam keranjang bacaan, semisal Tahdzib al-Tahdzib, Tahdzib al-Kamal, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal dan lain sebagainya.

Jangan Lewatkan: APA ITU ASBAB AL-NUZUL?

Lantas redaksi macam apa yang menunjukkan asbab al-nuzul? Pertama, redaksi yang jelas yaitu yang secara tegas menyebutkan latar belakang turunnya ayat. Ada dua redaksi yang diabsahkan, yaitu سبب نزول هذه الآية كذا (sebab turunnya ayat ini begini…..) atau disebutkan dulu suatu kejadian kemudian disusul oleh fa’ ta’qibiyyah (bermakna lalu, lantas dan kemudian). Jika pembaca mendapati salah satu redaksi ini tatkala membaca literatur tafsir, maka jelas redaksi demikian seputar asbab al-nuzul suatu ayat. Berikut akan penulis hidangkan contoh tentang ini dalam karya al-Wahidi, Asbab al-Nuzul.

قال ابن عباس في رواية أبي صالح: لما ضرب الله سبحانه هذين المثلين للمنافقين يعني قوله (مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا…) وقوله (أَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاءِ…)، قالوا: الله أجل وأعلى من أن يضرب الأمثال. فأنزل الله هذه الآية (إِنَّ اللهَ لَا يَسْتَحْيِيْ أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا….).

Ibnu ‘Abbas dalam riwayat Abu Shalih menyampaikan bahwa setelah Allah menurunkan 2 perumpamaan orang munafik, tepatnya ayat (perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api…. [QS. Al-Baqarah (2): 17]) dan ayat (Atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit…. [QS. Al-Baqarah (2): 19]), orang-orang munafik menanggapi, “Allah terlalu agung dan terlalu tinggi untuk sekadar membuat perumpamaan”. Setelah itu, Allah menurunkan ayat ini (Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan… [QS. Al-Baqarah (2): 26]).

Pada redaksi di atas, penulis menebalkan lafal fa anzala (setelah itu, Allah menurunkan). Itulah yang disebut fa’ ta’qibiyyah, yakni fa’ yang menunjukkan terjadinya suatu hal setelah hal lain terjadi sebelumnya. Dalam kaidah ‘Ulumul Qur’an, khususnya asbab al-nuzul, redaksi demikian menegaskan sebab turunnya suatu ayat.

Jangan Lewatkan: NUZUL AL-QUR’AN

Berdasarkan riwayat di atas, terungkap bahwa ayat 26 surat al-Baqarah turun guna menanggapi ledekan dan ejekan orang munafik. Hanya saja, riwayat Abu Shalih ini–menurut ‘Isham bin ‘Abdil Muhsin al-Hamidan, kritikus hadits Asbab al-Nuzul-nya al-Wahidi–bernilai lemah (dha’if). Karena itu, informasi tersebut tidak bisa dijadikan acuan. Lalu adakah riwayat lain berkenaan ayat ini yang shahih (valid)?

Dalam karya al-Wahidi lagi, perihal ayat itu ditutup oleh riwayat dari al-Hasan dan Qatadah. Menurut riwayat ini, sebab turunnya ayat di atas ialah ejekan orang musyrik akan penyebutan laba-laba (al-‘ankabut) dan lalat (al-dzubab) dalam al-Qur’an. Menurut mereka, ngapain Allah menyebut dua binatang ini? Apa gunanya? Lalu turunlah ayat tadi. Dalam Fath al-Qadir, karya al-Syaukani, informasi dari Qatadah ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnul Mundzir dan ‘Abd bin Humaid. Menurutnya, informasi dari Qatadah ini bernilai shahih. Dengan demikian, latar belakang turunnya ayat 26 surat al-Baqarah ialah ejekan orang musyrik terhadap penyebutan laba-laba dan lalat dalam al-Qur’an. Ayat itu turun menanggapi ejekan mereka; bahwa Allah pantang enggan dalam memberikan contoh, sekalipun hanya dengan seekor nyamuk.

Kedua, redaksi yang samar yaitu redaksi yang mengandung dua kemungkinan makna; entah tentang sebab turunnya ayat atau tentang kandungan ayat. Redaksi demikian berbunyi نزلت في كذا (ayat ini turun tentang/karena). Fa’ pada redaksi tersebut adalah huruf jar, yang salah satu maknanya ialah “tentang” atau “karena”. Karena itu, apabila pembaca mendapati redaksi demikian saat membaca tafsir suatu ayat, maka ada dua kemungkinan makna yang bersangkutan.

Jangan Lewatkan: Pembelajaran Baca Kitab Metode 33 Angkatan II

Meski demikian, bukan berarti setiap ada redaksi semacam di atas, maka maknanya pasti salah satu dari 2 kemungkinan tadi. Sebenarnya makna redaksi demikian menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut al-Bukhari, redaksi demikian berarti tentang sebab turunnya ayat. Akan tetapi, mayoritas ulama lainnya, khususnya ahli hadits, seperti Muslim dan Imam Ahmad (di samping beliau juga ahli fiqih), tidak memaknainya sebagai turunnya ayat, melainkan perihal “kandungan” ayat. Jadi, bilamana pembaca mendapati redaksi di atas, pembaca bisa memilih pendapat al-Bukhari atau pendapat mayoritas. Mengapa tidak terbatas pada mayoritas saja? Karena tolok ukur kebenaran bukan seberapa berkuantitas, melainkan seberapa berkualitas. Karena itu, bila sekiranya pendapat al-Bukhari lebih berkualitas untuk dipasangkan pada suatu ayat, maka sah-sah saja. Demikian sebaliknya.

Di bawah ini, penulis hendak melampirkan contoh redaksi asbab al-nuzul ini yang bermakna “tentang” kandungan suatu ayat. ‘Abdullah bin al-Zubair pernah bersengketa dengan seorang sahabat Anshar, selaku veteran perang Badar. Mereka bersengketa tentang beberapa petak tanah tak berpasir yang sama-sama mereka gunakan untuk mengairi kurma mereka. Si Anshar ingin agar ‘Abdullah membiarkan air mengalir di tanah itu, namun ‘Abdullah enggan. Kemudian mereka mengadukan perkara itu kepada Nabi SAW. Nabi SAW menyarankan agar ‘Abdullah mengairinya lalu membiarkan air itu juga mengalir ke tetangganya itu (si Anshar). Si Anshar tidak terima sampai-sampai menggugat, “Apa karena dia keponakanmu, Nabi?” Nabi SAW tidak berkenan atas gugatan itu. Akhirnya, beliau tegas menyuruh ‘Abdullah mengairi untuk kurmanya sendiri lalu menahan air tersebut dari si Anshar. Baru setelah itu, si Anshar boleh mendapat jatah pengairan. Solusi terakhir ini beliau lontarkan, sebab sebelumnya beliau sudah memberikan solusi yang imbang, yakni keharusan ‘Abdullah membiarkan air mengalir, sehingga si Anshar juga kebagian jatah pengairan untuk kurmanya. Akan tetapi, solusi ini masih ditolak. Alhasil, beliau memberikan solusi yang timpang tadi.

Jangan Lewatkan: FEBI UAD Bermitra dengan JKSM

Akibatnya, si Anshar terpaksa meminta terlebih dahulu jatah pengairan kepada ‘Abdullah. Seandainya dia menerima solusi pertama, tentu dia tidak perlu meminta, sebab di solusi pertama, setiap pihak sama-sama dapat jatah. Akan tetapi, di solusi kedua, ‘Abdullah menerima jatah lebih besar, sehingga si Anshar harus meminta izin dulu kepadanya untuk pengairan kurmanya. Tak berselang lama, si Anshar bertanya kejelasan hukum persengketaan ini bagaimana? Maka ‘Abdullah menjawab:

ما أحسب هذه الآية إلا في ذلك.

Saya kira ayat ini memang hanya menjelaskan persengketaan tadi.

Ayat yang dimaksud berbunyi:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, sehingga (kemudian) tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. Al-Nisa’ [4]: 65).

Cerita di atas menampilkan bagaimana ‘Abdullah bin al-Zubair menafsirkan ayat tadi sebagai jawaban atas persengketaan yang dia alami. Demikian paparan ringkas mengenai sumber dan redaksi asbab al-nuzul. Akhir kata, Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Esais Muda Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *