Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an #13
Aldi Hidayat
Asbab al-Nuzul memunculkan persoalan yang belum tuntas hingga sekarang, sekalipun mayoritas menilai sudah usai. Persoalan itu ialah apakah maksud suatu ayat mengacu pada redaksinya yang umum atau terbatas pada latar belakangnya yang khusus? (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi am bi khushush al-sabab?) Rata-rata memilih jawaban pertama (bi ‘umum al-lafzhi); keumuman lafal, bukan latar belakangnya yang khusus (bi khushush al-sabab). Berikut penulis hidangkan rinciannya.
Pertama, apabila suatu ayat menyangkut perintah atau larangan agama, maka maksudnya harus mengacu pada keumuman lafal, bukan sebab turunnya yang kasuistik. Berikut penjelasannya. Pertama, salah satu tradisi Yahudi ialah menjauhi istrinya saat menstruasi (haid). Mereka mengeluarkan istri dari rumah, tidak menanggung sandang dan pangannya serta yang pasti tidak bersenggama dengannya. Tradisi ini ditanyakan kepada Nabi SAW. Alhasil, turunlah ayat:
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ. قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ. فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ. إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.
Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor”. Karena itu, jauhilah istri dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang bersuci. (QS. Al-Baqarah [2]: 222).
Usai membacakan ayat itu, Nabi SAW menafsirkan:
جامعوهن في البيوت واصنعوا كل شيئ إلا النكاح.
Tetap gauli mereka (istri kalian) di rumah dan lakukan apa saja (dengan mereka) kecuali hubungan badan! (H.R. Muslim dan lainnya).
Jangan Lewatkan: DIBUKA BEASISWA SANTRI BAZNAS 2022
Ayat tadi turun guna menanggapi tradisi tertentu dari agama tertentu. Akan tetapi, maksud atau lebih tepatnya hukum ayat itu berlaku umum; untuk muslim di mana dan kapan saja.
Contoh lainnya ialah kasus li’an (tuduhan suami bahwa istrinya berzina [berselingkuh], namun si suami tidak punya bukti dan saksi). Alkisah, Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syuraik bin Sahma’. Nabi SAW menjawab, “Harus ada bukti. Kalau tidak, kamu yang akan disanksi“. Hilal membalas, “Nabi, masak suami yang menuduh istrinya berzina dengan orang lain harus mendatangkan bukti?” Menurut Hilal, tidak mungkin suami sekeji itu pada istrinya kecuali si istri memang betul-betul berzina. Karenanya, dia mempertanyakan kenapa suami harus mendatangkan bukti. Apa jawaban Nabi? Beliau tetap meminta bukti. Pada gilirannya, Hilal bersumpah bahwa istrinya memang berzina dengan Syuraik. Dia juga meyakinkan bahwa Allah akan membenarkan sumpahnya itu.
Tak berselang lama, turunlah ayat:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ. وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِيْنَ. وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِيْنَ. وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ.
Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), namun mereka tidak memiliki saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah bersumpah empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya ia benar (dalam tuduhannya). Sumpah yang kelima yaitu laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Istri itu terhindar dari hukuman, apabila dia bersumpah empat kali atas nama Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar orang yang berdusta. Sumpah yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri), jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang berkata benar. (QS. Al-Nur [24]: 6-9).
Jangan Lewatkan: ITU ASBAB AL-NUZUL? #2
Ayat di atas meskipun turun untuk menanggapi 1 kasus, hukumnya berlaku untuk setiap muslim. Dalam artian, muslim yang melakukan li’an, maka hukumnya mengacu pada ayat ini. Selain itu, bahkan surat al-Ikhlash, selaku saripati teologi Islam pun turun, sebab pertanyaan kasuistik. Alkisah, orang Yahudi menanyakan konsepsi ketuhanan dalam Islam. Mereka bertanya pada Nabi SAW, “Jelaskan pada kami bagaimana Tuhan yang kamu yakini!” Tak menunggu lama, turunlah surat al-Ikhlash.
Secara umum, ayat al-Qur’an dari segi ada-tidaknya sebab turunnya, dibagi dua. Pertama, yaitu ibtida’iyyah yaitu ayat yang turun tanpa sebab. Dalam artian, tidak ada pertanyaan atau kejadian yang melatarbelakangi turunnya ayat. Ayat pertama al-Qur’an, yaitu al-‘Alaq ayat 1-5 turun tanpa sebab. Yang terjadi hanya Nabi SAW sebelumnya menyepi di gua Hira’ kemudian turunlah 5 ayat ini. Menyepinya beliau di gua Hira’ bukan sebab turunnya ayat. Ia hanya peristiwa yang tidak ada sangkut-pautnya dengan 5 ayat al-‘Alaq tersebut. Kedua, nuzuliyyah yaitu ayat yang turun, lantaran suatu sebab sebagaimana telah dijelaskan secara singkat dalam edisi-edisi asbab al-nuzul ini.
Absah dikata, setiap ayat nuzuliyyah bertolak dari sebab tertentu, yaitu pertanyaan atau kejadian. Akan tetapi, sebagian–atau bahkan rata-rata–ayat tersebut dipahami berdasarkan keumuman lafal (‘umum al-lafzh), bukan kekhususan sebabnya (khushush al-sabab). Meski demikian, bukan berarti tidak ada ayat nuzuliyyah yang tidak mengacu pada kekhususan sebabnya. Di bawah ini, penulis persembahkan sedikit contoh tentang ayat demikian.
Jangan Lewatkan: CALL FOR PAPER PEKAN PENDIDIKAN AL-QURAN
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Abu Bakr pernah memerdekakan 6 budak muslim yang disiksa oleh majikannya, yaitu Bilal, ‘Amir bin Fuhairah, Nahdiyah dan putrinya, Ummu ‘Isa, budak wanita Bani al-Mu’il. Setelah itu, turunlah ayat:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى. وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى. فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى. وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى. وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى. فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى. وَمَا يُغْنِيْ عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى. إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدُى. وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُوْلَى. فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى. لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى. اَلَّذِيْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى. وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى. اَلَّذِيْ يُؤْتِيْ مَالَهُ يَتَزَكَّى. وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى. إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى.
Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga). Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan). Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah). Serta mendustakan (pahala) yang terbaik. Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan). Dan hartanya tidak bermanfaat baginya, apabila dia telah binasa. Sesungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk. Dan sesungguhnya milik Kamilah akhirat dan dunia itu. Maka Aku memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Yang hanya dimasuki oleh orang yang paling celaka. Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa. Yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya). Dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. (QS. Al-Lail [92]: 5-21).
Menurut riwayat yang populer, ayat yang penulis tebalkan (bold) turun untuk menilai Abu Bakr. Hanya saja, menurut ‘Amir bin ‘Abdillah bin al-Zubair, semua ayat tadi memang persembahan untuk Abu Bakr. Terlepas dari perbedaan ini, rata-rata ulama sepakat bahwa semua ayat ini, khususnya yang penulis tebalkan, hanya berlaku bagi Abu Bakr.
Jangan Lewatkan: NUZUL AL-QUR’AN #2
Term al-Atqa menurut sebagian dinilai tidak tertentu pada Abu Bakr, namun bagi siapa saja yang mengikuti jejak Abu Bakr, terutama kedermawanannya dalam membebaskan 6 budak dari siksaan. Akan tetapi, al-Suyuthi membantahnya secara gramatikal (ilmu nahwu). Al pada kata Atqa bukan al mawshul (semacam kata sambung dalam tata bahasa Indonesia dari segi penamaan, namun tidak dari segi fungsi dalam kalimat). Dalam kaidah tafsir, suatu kata bisa bermakna umum (universal), jika memenuhi salah satu dari 2 syarat berikut.
Pertama, kata plural (jama’) yang diawali al ma’rifah (kata penentu, seperti si, sang, itu dan ini dalam bahasa Indonesia). Kedua, ism atau harf mawshul, seperti al-ladzi (bermakna “yang”, “barangsiapa” dan lain seumpamanya). Nyatanya, kata atqa adalah kata tunggal (ism mufrad), bukan kata plural (jama’). Karena itu, term al-atqa tidak bisa dimaknai secara umum, melainkan khusus, tepatnya khusus pada Abu Bakr. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Esais Muda Kutub Yogyakarta
2 komentar