Apa Itu Asbab al-Nuzul?

Qurani12 Dilihat

Cara Santai Belajar ‘Ulumul Qur’an #11

Aldi Hidayat

Beberapa penulis ‘Ulumul Qur’an menempatkan makkiyah-madaniyah sebelum asbab al-nuzul. Segelintir lainnya menempatkan sebaliknya. Penulis di sini mengikuti yang segelintir tersebut, yakni asbab al-nuzul dulu, baru makkiyah-madaniyah. Alasannya sederhana, tidak mungkin mengkategorikan suatu ayat (apakah Makkiyah atau madaniyah) sebelum melacak realita di balik ayat tersebut. Pelacakan atas realita itu adalah apa yang disebut asbab al-nuzul. Jadi, asbab al-nuzul ialah realita yang melatarbelakangi suatu ayat.

Realita itu lazimnya dalam kategorisasi pakar ‘Ulumul Qur’an, ada 2. Berikut akan penulis jelaskan beserta contohnya. Pertama, adanya suatu kejadian. Misal, al-Bukhari meriwayatkan kisah tentang Khabbab bin al-Arat dan al-‘Ash bin Wa’il. Khabbab adalah tukang besi yang saat itu hendak menagih hutang ke al-‘Ash. Saat ditagih, al-‘Ash mengancam, “Saya tidak akan melunasi hutang saya sebelum kamu mengingkari kerasulan Muhammad dan balik menyembah al-Latta dan al-‘Uzza!”. “Saya tidak akan pernah kafir pada Allah, bahkan sekalipun engkau mati lalu bangkit lagi!” jawab Khabbab. “Berarti setelah aku mati, aku akan bangkit lagi. Ya sudah, tunggu aku sampai hari itu, karena saat itu, aku akan dianugerahi harta dan anak, lalu akan melunasi hutangku padamu”, balas al-‘Ash. Setelah itu, turunlah ayat:

أَفَرَأَيْتَ الَّذِيْ كَفَرَ بِآيَاتِنَا وَقَالَ لَأُوْتَيَنَّ مَالًا وَّوَلَدًا. أَطَّلَعَ الْغَيْبَ أَمِ اتَّخَذَ عِنْدَ الرَّحْمنِ عَهْدًا. كَلَّا سَنَكْتُبُ مَا يَقُوْلُ وَنَمُدُّ لَهُ مِنَ الْعَذَابِ مَدًّا. وَنَرِثُهُ مَا يَقُوْلُ وَيَأْتِيْنَا فَرْدًا.

Apakah kamu melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia mengatakan, “Pasti aku akan diberi harta dan anak”. Adakah ia melihat yang gaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah? Sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan, dan benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya, dan Kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri. (QS. Maryam [19]: 77-80).

Jangan Lewatkan: Nuzul al-Qur’an #2

Kedua, adanya pertanyaan yang disambut dengan turunnya ayat al-Qur’an. Contoh, Mu’adz bin Jabal pernah bertanya, “Nabi, orang-orang Yahudi kerap mencekcoki kita. Mereka sering mempertanyakan apa itu hilal (awal bulan). Mereka juga bertanya bagaimana bila hilal nampak sedikit demi sedikit lalu nampak sempurna hingga kemudian berkurang lagi lantas menjadi tidak nampak lagi?” Setelah itu, turunlah ayat:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ. قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ…..

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.”…. (QS. Al-Baqarah [2]: 189).

Contoh lainnya ialah ayat ruh. Suatu hari, Ibnu Mas’ud bersama Nabi SAW berjalan-jalan di Madinah. Tiba-tiba segerombolan orang Yahudi bertanya, “Coba kamu terangkan tentang ruh?” Nabi SAW terdiam lalu beliau mengangkat kepala, tanda ada wahyu tiba. Setelah itu, beliau melantunkan ayat:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ. قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيْلًا.

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”. (QS. Al-Isra’ [17]: 85).

Jangan Lewatkan: Beasiswa BRILiaN Scholarship

Tanpa pengetahuan tentang asbab al-nuzul, pemahaman atas ayat bisa menyesatkan. Berikut beberapa contoh kesalahpahaman atas ayat, lantaran tidak melibatkan konteks turunnya ayat. Pertama, Marwan bin al-Hakam, khalifah keempat dinasti Umayyah, mengutus pembantunya menemui Ibnu ‘Abbas. Marwan hendak mempertanyakan maksud ayat:

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّوْنَ أَنْ يُحْمَدُوْا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوْا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ. وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ.

Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapatkan azab yang pedih. (QS. Ali ‘Imran [3]: 188).

Marwan mengira ayat ini berlaku universal. Artinya, siapa saja yang merasa bangga atas pekerjaannya atau ingin dipuja, padahal tidak sesuai dengan kenyataannya, maka dia pasti akan disiksa. Sebagai khalifah, Marwan minta restu Ibnu ‘Abbas melalui pelayannya, untuk menjalankan eksekusi itu. Ibnu ‘Abbas lantas mengoreksi, “Bukan begitu maksudnya. Ayat ini turun untuk menanggapi Yahudi. Kala itu, Nabi SAW menanyakan sesuatu pada mereka, namun mereka menyembunyikannya. Malah mereka mengutarakan hal lain. Habis itu, mereka memproklamirkan diri telah memberitahu yang sesungguhnya dan merasa berhak mendapatkan pujian atas itu. Akibatnya, turunlah ayat tadi”.

Jangan Lewatkan: Dosa dan Ampunan

Kedua, ‘Urwah bin al-Zubair pernah keliru memahami ayat berikut:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ. فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا….

Sesungguhnya Shafa dan Marwa merupakan sebagian syi’ar (agama) Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya…. (QS. Al-Baqarah [2]: 158).

Redaksi “fala junaha ‘alayhi ay yaththawwafa bi hima” (tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya) oleh ‘Urwah dipahami sebagai kebolehan sa’i. Artinya, sa’i adalah sesuatu yang mubah. Karenanya, disebut tidak berdosa melakukannya. Konsekuensinya, bila sa’i itu mubah, maka tidak masalah meninggalkannya saat beribadah haji. Pemahamannya itu ia sampaikan kepada bibinya, ‘Aisyah ra. ‘Aisyah ra kemudian meluruskan pemahaman keponakannya itu. “Nak, kalau pemahamannya begitu, mestinya redaksi ayatnya berbunyi fa la junaha ‘alayhi an la yaththawwafa bi hima (maka tidak ada dosa baginya meninggalkan sa’i di antara keduanya)”. ‘Aisyah ra kemudian menambahkan bahwa ayat itu turun untuk menjawab stigma para sahabat saat itu. Dulu di era Jahiliyah, orang-orang biasa melakukan sa’i (lari-lari kecil) antara Shafa dan Marwa. Memang, haji saat itu sudah ada. Hanya saja, mereka mempersembahkan hajinya untuk dua berhala, yaitu Isaf di Shafa dan Na’ilah di Marwah. Tatkala banyak orang masuk Islam, mereka keberatan melakukan sa’i, khawatir meniru kebiasaan Jahiliyah itu. Atas dasar itu, turunlah ayat di atas; bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah memang bagian dari ibadah haji. Karena itu, tetaplah laksanakan! Tidak perlu khawatir meniru tradisi Jahiliyah.

Jangan Lewatkan: Meriahnya Wisuda Ahlul Quran di IIQ An Nur Yogyakarta

Sekilas contoh di atas adalah data betapa memahami ayat al-Qur’an tidak cukup secara literal. Jika demikian, maka secara tidak langsung, data di atas merupakan undangan untuk merekrut disiplin ilmu lain, seperti revisionisme. Mengapa demikian? Karena data tanpa logika bakal menghasilkan pemahaman yang buta. Meminjam pernyataan Immanuel Kant , “Theory without experience is blind. Experience without theory is mere intellectual play“: Teori tanpa pengalaman adalah buta. Pengalaman tanpa teori adalah permainan intelektual belaka. Data sejarah tentang turunnya al-Qur’an cukup melimpah. Akan tetapi, data itu akan terseret pada praksis pemahaman yang keliru, salah, bahkan sesat, jika tidak ditopang oleh perangkat keilmuan yang kaya. Demikian juga al-Qur’an adalah dokumen intan. Akan tetapi, dokumen intan ini takkan berharga, bila manusia tidak mengapresiasinya. Salah satu apresiasi itu ialah pemerkayaan gagasan dalam memahaminya. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Esais Muda Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar