Benih-Benih Cinta

Ngaji582 Dilihat

Kuswaidi Syafi’ie

Berkaitan dengan kharabat ini, berkaitan dengan reruntuhan alam semesta yang merupakan jejak-jejak cintaNya ini, di dalam kitab Burdah, Imam Muhammad Bushiri juga mengatakan, tapi dengan bahasa Arab yang berbeda: “Laulal hawa lam turiq dam’an ‘ala thalalin” (Andaikan tidak karena cinta, kau tidak mungkin menumpahkan air mata di atas reruntuhan rumah si dia).

Dalam kerangka cinta yang agak sempit, puisi Imam Bushiri di atas bisa dikonotasikan kepada seseorang yang sedang jatuh cinta kepada orang lain, seorang laki-laki yang sedang kasmaran kepada perempuan yang dicintainya.

Akan tetapi dalam takaran cinta yang lebih luas, puisi di atas menunjuk kepada seseorang yang sedang menempuh jalan rohani dan dirundung rindu kepada Tuhannya. Dan idiom reruntuhan dalam puisi di atas menunjuk kepada alam semesta raya yang fana ini yang tak lain merupakan bukti cintaNya.

Dari alam yang non-empirik yang terkandung di dalam hadiratNya, dunia ini “diambrukkan” oleh Allah. Jadilah kemudian seperti apa yang sekarang kita saksikan ini. Walaupun tentu saja Allah juga menggunakan sejumlah kronologi dan proses. Allah Yang Maha Dahsyat yang sanggup menciptakan apa saja dalam sekejap mata itu, ternyata menciptakan langit dan bumi mesti dalam enam masa. Fi sittati ayyam.

Baca Juga: Dzikir Paling Utama

Kenapa? Wong Allah Ta’ala bisa menerapkan kun fayakun. Lalu, kenapa pakai enam masa segala? Padahal, apa yang disebut ayyam, apa yang disebut waktu, saat itu belum ada. Kenapa menggunakan istilah ayyam? Bukankah waktu itu muncul sebagai efek dari munculnya ruang? Andaikan tidak ada benda-benda, waktu tidak akan pernah ada. Dari mana datangnya waktu? Dari adanya benda-benda bergerak.

Penciptaan langit dan bumi dalam enam masa itu sesungguhnya menunjuk kepada setidaknya dua hal. Pertama, manusia itu sebenarnya diciptakan oleh Allah SWT untuk menempuh sejumlah proses. Terus yang kedua, Allah menciptakan langit bumi dalam enam masa itu sebenarnya menunjuk pada empat dimensi horizontal dan pada dua dimensi vertikal manusia. Yaitu, kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah.

Sehingga dengan demikian, manusia berada di bumi dengan perasaan dan posisi tidak asing. Tapi kalau mereka jeli menyaksikan, dunia ini tak lain adalah tumpukan reruntuhan. Para pencinta Ilahi tidak mungkin tergila-gila pada reruntuhan semesta ini. Mereka senantiasa mengerlingkan mata terhadap Allah Maha Kekasih yang kemahaan dan kehadiranNya senantiasa menyertai seluruh partikel di antara reruntuhan ini.

Karena itu, dapat dipastikan bahwa setiap partikel sesungguhnya merupakan jejak Allah Ta’ala. Coba saksikan kalau musim hujan. Sehabis hujan di malam hari, di jalan kampung atau di tengah ladang kita bisa menyaksikan tapak-tapak dari bekas kaki anjing atau musang atau apa saja. Demikian pula semesta ini yang tak lain merupakan jejak Gusti Allah. Termasuk kita yang merupakan rumpun umat manusia ini.

Baca Juga: Dampak Pembelajaran Daring Pada Masa Pandemi

Bahkan kita ini adallu dalilin ‘alallah, kita ini sebenarnya merupakan bukti yang paling tegas yang menunjuk kepada Allah. Karena itu, siapa saja yang membaca partikel sampai tuntas, pasti sampai kepada Allah. Siapa saja yang membaca diri sampai tuntas, akan sampai pula kepada Allah. Kemudian dihadiskan oleh Rasulullah Saw: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu/ Siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” Karena itu, juga dapat disebutkan bahwa jalan kepada Allah itu sebanyak makhlukNya.

Cinta membuat kita sanggup menembus segala sesuatu. Sehingga dengan demikian kita akan menemukan dan berjumpa dengan Allah Ta’ala di balik berlangsungnya perjumpaan dengan segala sesuatu.

Cinta membuat kita tertarik untuk duduk bersama orang-orang yang berada di tengah reruntuhan. Bersama orang-orang yang senantiasa merenungi dan sadar betul bahwa alam semesta ini tak lebih dari karnafal kefanaan. Karena itu, tidak mungkin para pencinta Ilahi itu jatuh cinta kepada apa pun yang ada pada semesta ini. Karena segala suatu ini fana, segalanya reruntuhan belaka.

Jangan Lewatkan Simak: Makjleb Jawaban Dr Fahruddin Faiz Menangkal Neo-Ateisme

Kenapa para pencinta Ilahi itu memiliki frekuensi dan korelasi yang kuat dengan para pencinta yang lain? Li kayla ya’rifuna illa ahlul kharabat, agar tidak mengenal kami selain para pencinta pula. Yaitu, orang-orang yang berada di tengah reruntuhan cinta ilahiat itu.

Sebab itu, orang yang tidak merasakan cinta cuma bisa menerka-nerka terhadap cinta orang lain. Atau bahkan hanya bisa menyalah-nyalahkan orang yang jatuh cinta pada Tuhannya. Misalnya, dia menyatakan bahwa bodoh sekali orang yang berkorban terlalu besar di jalan cinta. Cinta itu dikalkulasi dengan akal pikirannya. Betapa menyedihkan.

Ya Allah, di tengah gelombang kehidupan yang fana dan seringkali tidak tahu malu ini, tolong bimbinglah kami di jalan cinta, tolong anugerahkan kepada kami nafas cinta untuk berjumpa denganMu. Sebagaimana Engkau melahirkan kami atas nama cinta, kami pun ingin menghadap kepadaMu atas nama cinta pula. Amin.

 

Anugerah - ngaji tasawufKuswaidi Syafi’ie, Penyair sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 komentar