Oleh Ahmad Muchlish Amrin
Saya ingin mengawali pembicaraan ini dengan sebuah pertanyaan kecil, apa saja yang sudah kita pandang? Alat apa yang kita gunakan untuk memandang?
Secara lahiriah, mata adalah alat dasar untuk memandang. Sejak bangun tidur sampai tidur lagi, mata menyerap objek pandangan, mulai dari warna-warni kehidupan; pohon-pohon, gunung-gunung, hewan, manusia, awan, langit, tanah, dan segalanya.
Bahkan ketika diberi nilai (value), objek pandangan itu bisa dikatakan sebagai objek pandangan yang indah, brengsek, brutal, sopan, bagus, jelek, dan seterusnya. Mata di sini tidak hanya berfungsi sebagai mata biologis yang hanya bisa melihat atau memandang, tetapi pada hilirnya mata menjadi penyuplai informasi dalam pikiran yang kemudian bisa menilai, apakah objek yang dipandang memiliki makna lain.
Itulah alasannya, Penyair Rabindranath Tagore bergumam: mata yang mengandung tanya itu duka. Tagore sangat lihai memainkan nilai bagi mata; tanya dan duka. Ia ingin mengungkapkan sebuah ekspresi, perasaan, pengalaman batin, yang tergambar dalam mata, bahwa mata tak dapat menutup rahasianya ketika nilai berdenyut erat di dalamnya.
Tagore menghadirkan dua sisi mata dalam pandangan dan pengalamannya; mata lahir dan mata batin. Dua-duanya tentu begitu penting dalam kehidupan kita yang dalam terminologi Plato disebut sebagai makhluk jasmani dan makhluk rohani.
Jangan Lewatkan Klik Belajar
Belajar memandang tentu perlu dimulai sejak dini, sebab tidak semua yang indah dipandang mata, akan terlihat indah dipandang batin. Tidak semua yang jelek menurut batin, terlihat jelek menurut mata lahir. Dari itulah, kita tidak bisa memandang secara parsial; dalam kodratnya kita adalah makhluk yang utuh. Hasil pandangan kita dapat dikonfirmasi dengan hasil pandangan lain, baik melalui kitab suci, buku-buku, pengalaman, dan pendapat-pendapat kaum terdidik.
Mulai sekarang, sejak membuka mata, kita bisa belajar menyekolahkan mata agar pandangan-pandangan bisa lebih bijaksana, sebagai implikasinya dapat melahirkan tindakan yang lebih bijaksana.
*) Santri Kutub Yogyakarta
2 komentar