Situasi Sosial Sastra

Esai, Literasi617 Dilihat

Situasi Sosial Sastra Rudiana Ade Ginanjar

Rudiana Ade Ginanjar

KENDATI dikenal sebagai bentuk prosa romantisisme sosial, Ronggeng Dukuh Paruk (1982) merupakan warna sejarah yang gamblang dituliskan. Dalam warnanya, kebudayaan menjadi poros cerita: tradisi ronggeng. Mereka yang mencintai gambaran emosional antarinsan kini harus lebih jeli memandang sebuah latar pengisahan yang lain. Mereka memandang keluar lewat arahan sang pengarang novel tersebut. Cinta menjelma dalam lingkaran lebih luas. 

Jangan Lewatkan: Sajak-sajak Rudiana Ade Ginanjar

Ketika membaca novel tersebut pertama kali semasa sekolah menengah, rentang tahun-tahun pertama milenium ketiga, saya semata melihat Ronggeng Dukuh Paruk sebagai tidak lebih kisah asmara. Tidak, di Banyumas, wilayah yang menjadi latar cerita, kisah tersebut menjelma gambaran nasib kehidupan suatu masyarakat kecil, seniman tradisional atau sejarah kelam besar yang berada di luar kuasa mereka. Penulisan novel tersebut dalam situasi genting: pertaruhan antara kebenaran dan kemelut politik. Tanpa menjadi bagian “internal” dari kisah fiktif tersebut tidak cukup adekuat bagi seorang penulis untuk memaparkan narasinya. Juga tanpa perimbangan yang bijak, penulis mudah tergelincir dalam kecamuk tujuan yang mendistorsi alur sesungguhnya. Corak yang sama yang bisa kita temui dalam dongeng fiksi-futuristiknya George Orwell, 1984 (1949).

Kegentingan yang membagi pandangan ideologis rakyat vis-a-vis negara. Meski yang tampak menonjol hanyalah semata sentuhan humanisme pengarang—pola yang membawa pada kesimpulan akan persuasi perdamaian, pengarang tidak kalah jeli menggambarkan alam sosial bernilai. Secara umum, gagasan bahwa karya sastra adalah dokumen sosial masih ada. “Memang ada semacam potret sosial yang bisa ditarik dari karya sastra. Ini adalah pendekatan sistematis yang paling tua,” ujar sepasang teoretikus terkemuka Rene Wellek dan Austin Warren (Wellek & Warren, 2016:110). Sebab, seorang adalah juga bagian dari masyarakat yang dalam tindak sosial terkecilnya turut memberi andil bagi keseluruhan. Tidak terkecuali pengetahuan dan pengalaman seorang pengarang. 

Jangan Lewatkan: Suatu Bahasa Sunyi

Dalam hal persepsi sosial, pengarang masa romantisisme adalah mereka yang dipandang sebagai lawan. Pun para penerus ideologi tersebut. Sajak-sajak bercorak sosial kerap mengkritik kaum romantis sebagai anggur dan bulan. Dan kisah-kisah yang terjalin dalam drama atau prosa menggambarkan pertentangan antara para pelaku romantisisme dan konvensi lingkungannya. Sajak-sajak yang setia pada keunggulan emosi penyair, menindaklanjuti perasaan-perasaan serupa. Jauh dari dalam dirinya, para penyair membawa sebuah misi. Sebagian dari mereka mengubah dunia—dalam arti sesungguhnya. Tengoklah misalnya pada masa-masa hidup Boris Pasternak di Rusia. Situasi sosial dengan satu cara menyelipkan pengaruh bahkan bagi mereka yang enggan turut campur. Kehidupan pribadi, pandangan individualis yang mengental, tidak serta-merta menepikan Chairil Anwar dari kecamuk masyarakat transisi Nusantara ke ambang kemerdekaan Indonesia. Kedua penyair yang tersebut terakhir itu menjadi lambang dari suatu perlawanan pada masanya. Sebuah “suara lain”, ucap Octavio Paz. 

Hanya pada mereka yang bersetia dalam kesunyian, karya-karya tertulis melahirkan bentuk situasi sosial yang damai. Posisi, daya tawar, dan kharisma seorang bisa menyelamatkan dirinya dari pergumulan yang mungkin terjadi di sekelilingnya. Alih-alih terjebak, sastrawan Rabindranath Tagore telah menjelma juru damai yang menyejukkan lewat gita kata. Pujangga India tersebut dikaruniai sekian keunggulan yang kolega sezamannya jarang-jarang memilikinya. Namun apakah strata sosial yang mengunci kemenangan sastrawan atas perhadapannya dengan dunia luar? Edgar Allan Poe (1809-1849) merupakan seorang yatim piatu yang meskipun menggantungkan diri pada kemurahan hati keluarga kaya, tetap memilih jalan sulit sebagai penulis mandiri. Dan pencetus genre cerita pendek detektif tersebut berhadapan dengan situasi kemanusiaan dari pribadi dengan keretakan psikologis.

Jangan Lewatkan: Nasihat Gandhi Bagi Orang-Orang Serakah

Lazim ada dalam kisah-kisah detektif yakni tindak tak terpuji yang lantas menjadi buah bibir atau kegegeran. Namun, Poe lebih sublim menyusun ceritanya sendiri. Dalam lensa batin yang ia miliki, konflik-konflik pribadi dari tokoh-tokoh fiktifnya menjadi bayangan dari situasi kolektif. Sigmund Freud mengungkapkan adanya gejala pengalihan (sublimasi) atas suatu kepribadian menyimpang yang pada cerita-cerita horor Poe tergambarkan lewat mimpi, penampakan di luar kesadaran atau gunung es bawah laut keinginan manusia. Dari keadaan-keadaan masyarakatnya, karya tulis memperlihatkan bentuk-bentuk cerapan pengarang. Senantiasa terjadi upaya saling pengaruh dari kedua variabel tersebut. Konvensi berhadapan dengan keinginan bebas yang lantas melahirkan bentuk tawar-menawarnya berupa kompromi. Sayangnya, setiap situasi sosial selalu tidak menampung kemungkinan pola khusus dari unsur-unsurnya.

Dari sifatnya yang liyan, akhir tragis tokoh Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk menunjukkan kekurangan atas suatu kesepakatan bersama itu. Sebagian dari kita bertindak di luar jalan semestinya dengan merampat semua adangan. Watak-watak sosial dibentuk dengan apa yang disebut pengarang Ahmad Tohari sebagai kuasa sejarah. Suara dari mereka yang kalah terus-menerus menjadi daya evokasi sang pengarang. Suara kecil yang juga berada dalam diri penyair Chairil Anwar: kepasrahan, penerimaan. Pasternak dalam menjawab suatu pemerintahan ambisius juga patuh untuk undur diri dan menyingkir.

Jangan Lewatkan: Harmoni Agama dan Sains: Mencari Kesadaran yang Lebih Holistik

Hanya dalam gaya realislah catatan dokumentatif terlihat. Selebihnya pembaca suatu karya sastra melihat dengan bayang-bayang atas suatu peristiwa sosial. Banyak ataupun sedikit, kebenaran dari suatu yang samar dapat kita temukan. Hari ini, sebagian dari karya sastra kita menjadi masif berkat genggaman wahana teknologi. Yang nyata dan bualan hanya terpisah dalam garis tipis. Kejujuran dan semangat menggebu atas kuasa niaga saling bertarung memperebutkan ruang di dunia siber. Pola-pola penyesuaian dan persaingan serta diplomasi sastra hari ini menentukan kualitasnya. Sebab, “Hari ini, mustahil mengatakan apakah hal-hal yang akan dikeluarkan dengan cara berbeda tidak mereka angkat dan laksanakan sendiri,” ujar sastrawati Prancis, Annie Ernaux. Masyarakat modern membangun situasi narcissus pada khalayak dan alur melenakan itu menghujani karya sastra tanpa terkecuali. Para pengarang tidak lagi memiliki patron melainkan diri mereka sendiri. Dalam gerak jeram kehidupan seperti itu, mampukah sastra memotret situasi terbaiknya?

Rudiana Ade Ginanjar, penyair yang lahir di Cilacap pada 21 Maret 1985. Sejumlah karyanya tersebar di surat kabar, buku antologi bersama, dan media daring. Selain puisi, juga menulis esai dan terjemahan. Buku puisi terbarunya, Wanita dari Tarifa: Vol. I (2024). Tinggal di Cilacap, Jawa Tengah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *