Sajak-sajak Rudiana Ade Ginanjar

Literasi, Nasional, Puisi544 Dilihat
Malam Upik Abu

Menjelang tengah malam

percakapan harus usai,

atau semakin banyak

kekeliruan menebak

salam hormat niskala.

 

Engkau tidak mabuk larut—belum,

sebuah tangan masih menyelinap

antara gembira dan haru:

mereka setia berjaga

menunggu gadis berambut sebahu

menurunkan sepasang sepatu

kesunyian.

 

Saat yang teramat jarang.

Bangku-bangku belum dikatup

detik demi detik berlayar.

Seorangkah itu, melayanimu semenjak petang

dan menyembunyikan kebaikan

di ruang peleburan?

 

Menjelang tengah malam,

kau meminta gadis itu

menyebut alamat pulang,

tapi hanya separuh jalan

 

selebihnya senyum.

2020

 

Ciuman Lembut

Sepasang burung dara

di senja yang tenang

berdekut di atap.

Ketinggian melingkupimu

dengan bayang

penyatuan.

 

Di kejauhan,

serasa ada yang menimang

tangga ke peraduan.

 

Kau akan berbaring

lantas berbelok lagi

pada saat mendebarkan itu:

lanskap terbentuk di naungan awan,

angin berdesau menyibak dedaunan mangga,

burung-burung bangau berkelepak jauh

menembus kabut pegunungan.

 

Bebuahan telah dipetik pada musimnya,

tangan-tangan keriangan

membagi aroma

ke segenap penjuru.

Hari-hari hibuk [1]bak pelabuhan

berlalu. Sejoli itu bergenggaman

mengaitkan telapak nasib mereka

di jalan yang masih basah.

 

Hanya sehelai daun jatuh.

Engkau mendengar erangan pelan,

ketika jam-jam menguak hari baru.

Membenamkan separuh wajah

ke bantalan tanah

di mana bahagia ladam

mengeram.

 

Di dinding-dinding gedung

kau gurat sekali lagi

ciuman pertama

yang melengkapkan jiwamu

kepada bakti

sang penyubur.

2020

 

Ingatan Hio

Gadis Tionghoa pernah

membuat separuh baris

dari napas perjalanan. Kau yakin,

seperti ketika kelenteng yang dicari

mengenang pelayaran laksamana.

 

Hanya lidi, sebatang tongkat mungil

menggali sumber nyala.

2020

 

Kehidupan Kecil

Ladang orang kecil,

dikenakan padanya silsilah:

dahulu, sungai adalah urat nadi

dan rimba bertakhta di pegunungan.

 

Dusun orang pedalaman,

dibangun padanya rumah-rumah

yang pernah tugur[2] sebagai hunian segala musim,

dengan jerami dan batang pohon

konon berdiam suatu riwayat.

 

Kehidupan kecil,

bernyanyi di ketinggian bukit.

Dentang para  penggali sumber

yang menggerakkan jalur baru

ke masa akanan.

 

Adalah ternak di penggembalaan padang rumput

berdengung seruling debar dawai jiwa.

2019

 

Mahkota Daun Nangka

1.

Seperti apa lengan baju waktu

menjumbai haru?

 

Terulurlah, masa kecil …

 

Dengan wajah bundar,

mahkota daun melingkari tubuh bunyi,

tari dan tawa kenangan

dari helaian murni pagi.

 

2.

Srintil,[3] bukan dibentuk dengan ganjil

adalah putri dari dusun dongengan.

 

Duri-duri hidup,

membalut tanah orang-orang kecil.

Dan menari bersamanya,

Srintil—bidadari bermahkota daun nangka.

 

3.

Kami baru saja mencatatnya,

ketika seorang tamu asing

muncul. Sehelai dari sang pohon

yang merebahkan musim hujan.

 

Lalu sketsa cinta manis

tugur dalam kepala tak dikenal.

2019 

 

Rumah Penyimpanan

Bawalah malam, bawalah pagi.

Ceritakan esok:

yang bermukim di bawah bukit

mendengar gemerisik daun,

denting orang-orang menyanyikan musim,

menuai buah-buahan,

aliran sungai nun dari pemukiman luar perbatasan.

 

Orang-orang datang,

orang-orang membawa bintang

di kelopak ingatan,

di pelupuk mata coklat cuaca.

 

Ke rumah penyimpanan.

 

Mengarak cahaya malam

berlarian bak pesiar.

 

Di bawah atap,

terkadang berembus

warna gembira panenan.

 

Yang tumbuh di ladang jauh,

tinggal di bawah atap ini.

Menyimpan kesegaran,

menimbun jejak hikayat para peladang.

 

Syahdan, mereka tiba di subuh

dalam suluh pertama mentari

bersama himpunan kabut di pucuk pegunungan

mengenakan tenunan pagi

dalam pekan raya saudagar

di mana bertandan dan bergerombol

himne-himne pedusunan.

2019 

Jangan Lewatkan Baca Juga: Pelajaran Berharga dari Membunuh Kucing

Seseorang Muncul di Waktu Lengang

Warna biru eksotik

di kelopak matamu itu,

adalah tamu tak dikenal

menyambangiku

bagai seorang merana.

 

Aku berhenti menghitung

senarai kunjungan

ke rumah penyimpanan. Kau akan terkejut,

jika usia bertaut antara malam dan siang

bertaut antara diriku dan dirimu.

2019

 

Profil RudianaRudiana Ade Ginanjar, lahir di Cilacap, 21 Maret 1985. Beberapa karyanya terhimpun dalam surat kabar dan antologi bersama, antara lain: Rasa Rumangsa Tanggap Sasmita (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cilacap, 2010), Blues Mata Hati (Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas, 2008), Pendhapa 5 (Dewan Kesenian Jawa Tengah, 2008), Rumahlebah Ruang Puisi #4 (Komunitas Rumahlebah, 2017), Horison, Seputar Indonesia, Suara Merdeka, Radar Banyumas, Harian Rakyat Sumbar, Solopos, Kedaulatan Rakyat. Menamatkan pendidikan formal di SMA N 1 Majenang, pendidikan berbasis keterampilan komputer di El Rahma Satria Purwokerto, dan menimba ilmu di sejumlah pondok pesantren di Yogyakarta. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk memperdalam khazanah pengetahuan dan menulis. Selain menulis puisi, ia juga menulis esai dan menerjemahkan karya sastra asing untuk mengisi masa-masa senggang. Manuskrip antologi puisi tunggalnya antara lain Salam Bumi (2019). Bergabung di Komunitas Sastra Kutub Yogyakarta.

 

[1] Banyak pekerjaan atau kesibukan; giat. (Jawa Kuno)

[2] Tetap pada suatu tempat; menunggu; menjaga. (Jawa)

[3] Protagonis dalam novel masyhur Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar