Suatu Bahasa Sunyi

Esai, Literasi1465 Dilihat
Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh May-Brit Akerholt. Dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia oleh Rudiana Ade Ginanjar. Diperoleh dari pidato penghargaan nobel 2023 Jon Fosse, “A Silent Language”. Hak cipta pada © THE NOBEL FOUNDATION 2023.
Foto Jon Fosse

Jon Fosse

TATKALA SAYA BERADA di sekolah menengah pertama, peristiwa ini terjadi tanpa disangka. Guru meminta saya membaca nyaring. Dan entah dari mana datangnya, saya dikuasai oleh suatu rasa takut mendadak yang menyergap. Seolah-olah saya lenyap dalam ketakutan itu dan itulah segalanya tentang diri saya. Saya beranjak dan kabur dari ruang kelas.

Saya perhatikan tatapan melotot siswa-siswa seperti halnya guru itu mengikuti saya keluar dari ruang kelas.

Sesudah itu saya berusaha menjelaskan perilaku aneh itu dengan mengatakan saya harus pergi ke toilet. Saya bisa melihat pada wajah mereka yang mendengar bahwa mereka tidak memercayai saya. Dan mereka mungkin mengira saya telah sinting, ya, menuju jalan kegilaan saya.

Rasa takut membaca nyaring mengikuti saya. Seiring berlalunya waktu, muncul keberanian saya memohon pada guru untuk dikecualikan dari membaca keras-keras, saat saya demikian cemas, sebagian meyakiniku dan berhenti bertanya, sebagian menduga dalam satu atau lain cara, saya tengah berkelakar.

Saya belajar hal penting tentang orang-orang dari pengalaman ini.

Saya belajar banyak hal lain.

Ya, sungguh serupa sesuatu yang memampukan saya berdiri di sini dan membaca nyaring di hadapan hadirin hari ini. Dan nyaris sonder[1] rasa takut apa pun.

Apa yang telah saya pelajari?

Dalam suatu cara hal ini seolah-olah rasa takut mengambil bahasa saya dari diri saya, dan bahwa saya mesti merebutnya kembali, boleh dikata. Dan jika saya melakukan hal itu, tidak bisa berdasar pada ucapan orang lain, melainkan ucapan saya sendiri.

Saya mulai menulis teks saya sendiri, puisi pendek, cerita pendek.

Dan saya menemukan bahwa menjalani seperti itu, memberi saya suatu sentuhan rasa aman, memberi saya kebalikan dari rasa takut.

Dalam suatu cara saya menemukan satu tempat dalam diri saya sendiri yang semata milik saya, dan dari tempat tersebut saya mampu menuliskan apa yang milik saya belaka.

Sekarang, sekira lima puluh tahun berselang, saya masih duduk dan menulis—dan masih menulis dari tempat rahasia ini dalam diri saya, suatu tempat yang terus terang saya sungguh tidak lebih banyak mengetahui tentang yang lain dibandingkan dengan keberadaannya.

Penyair Norwegia Olav H. Hauge telah menggubah suatu sajak tempat ia memadankan tindakan menulis dengan menjadi seorang bocah, mendirikan gubuk beratap daun di dalam hutan, merangkak ke dalamnya, menyulut lilin, duduk dan merasa sentosa dalam kegelapan malam musim rontok.

Saya berpikir inilah gambaran tepat tentang bagaimana saya, juga, mengalami tindakan menulis. Sekarang—sebagaimana halnya lima puluh tahun lampau.

Dan saya belajar lagi, saya belajar bahwa, sekurang-kurangnya bagi saya, terdapat perbedaan besar antara bahasa terucap dan tertulis, atau bahasa sastrawi dan terucap.

Bahasa terucap seringnya sebuah komunikasi monologis dari suatu pesan bahwa sesuatu mesti jadi seperti ini atau seperti itu, atau merupakan komunikasi retoris dari suatu pesan dengan ajakan atau pendirian.

Bahasa sastrawi tidak pernah serupa itu–ia tidak memberitahukan, merupakan arti ketimbang komunikasi, ia memiliki keberadaannya sendiri.

Dan dalam pengertian tersebut, tulisan indah dan segala jenis khotbahan, tak pelak lagi bertolak belakang satu sama lain, entah khotbahan itu religius atau politis atau apa saja hendaknya.

Melalui rasa takut membaca nyaring saya memasuki kesunyian yakni sedikit banyak dari kehidupan pribadi yang menulis–dan saya telah tugur[2] di sana semenjak itu.

Saya telah menulis sebagian besarnya baik berupa prosa maupun drama.

Dan tentu saja, apa yang menjadi tabiat drama yaitu pembicaraan tertulis, tempat dialog, percakapan, atau seringnya upaya bercakap-cakap, dan sesuatu yang mungkin berupa monolog, senantiasa suatu semesta bayangan, merupakan anasir dari sesuatu yang tak memberi tahu, meski hal itu memiliki maujud sendiri, yang mengada.

Dan ketika drama menjadi prosa, Mikhail Bakhtin benar dalam perdebatan bahwa ragam ungkapan, tindakan bercerita sesungguhnya, memiliki dua suara di dalamnya.

Menyederhanakannya: suara dari pribadi yang berbicara, yang menulis, dan suara dari pribadi yang dibicarakan. Hal-hal ini seringnya bergulir satu dengan lainnya dalam suatu cara yang mustahil mengatakan siapa yang bersuara.

Prosa sungguh-sungguh menjadi suatu suara tertulis ganda—dan tentu saja juga merupakan bagian dari semesta tertulis, dan nalar di dalamnya.

Tiap satu karya yang telah saya tulis memiliki, demikian untuk mengucapkan, semesta fiksi miliknya sendiri, dunia miliknya sendiri. Yakni sebuah dunia yang baru dalam tiap lakon, dalam tiap novel.

Namun sajak yang indah, karena saya juga telah menulis sebagian besarnya tentang puisi, juga merupakan semesta miliknya sendiri—berhubungan terutama dengan dirinya sendiri. Dan lantas seseorang yang membacanya bisa memasuki semesta yakni puisi—ya, lebih seperti sejenis keterikatan (communion) daripada suatu komunikasi.

Sebagai suatu bahan bukti, hal ini mungkin kebenaran dari segala yang telah saya tuliskan.

Satu hal yang pasti, saya tidak pernah menulis untuk mengungkapkan diri saya sendiri, seperti kebanyakan orang, melainkan lebih pada menjauh dari diri saya sendiri.

Hingga saya berakhir sebagai seorang dramawan–ya, apa yang bisa saya utarakan tentang itu?

Saya menulis novel dan puisi dan tidak berhasrat untuk menulis drama, tapi pada waktunya saya melakukannya tersebab—sebagai bagian dari inisiatif terdanai publik guna menulis lagi drama Norwegia baru–saya ditawarkan apa yang sepatutnya bagi saya, seorang pengarang miskin, sejumlah uang yang cukup untuk menulis adegan pembuka dari suatu lakon, dan berakhir dengan menuliskan seluruh lakon, yang pertama dan masih lakon yang paling sering ditampilkan, Someone Is Going to Come[3].

Pertama kali saya menulis sebuah drama berubah menjadi kejutan terbesar dalam segenap kehidupan sebagai seorang penulis.

Sebab baik dalam prosa ataupun puisi saya telah mencoba menulis apa yang biasanya—dalam bahasa ucap harian—tidak bisa diucapkan dalam kata-kata. Ya, benarlah. Saya mencoba mengungkapkan yang tak bisa diucapkan, yang tersebut sebagai alasan dalam penganugerahan Hadiah Nobel pada saya.

Hal paling penting dalam kehidupan tidak bisa dikatakan, semata ditulis, memelintir ucapan masyhur dari Jacques Derrida.

Jadi saya mencoba menyemaikan kata-kata terhadap pidato sunyi.

Dan ketika saya tengah menulis drama, saya bisa mempergunakan pidato sunyi, khalayak sunyi, dalam seluruh cara lain daripada prosa dan puisi. Segala yang harus saya perbuat adalah menuliskan kata tunda (pause), dan pidato sunyi berada di sana. Dan dalam drama saya kata tunda tak diragukan lagi merupakan yang paling penting dan kata yang paling sering digunakan—amat tertunda, agak tertunda atau semata tertunda.

Dalam saat tertunda tersebut bisa terdapat banyak, atau begitu sedikit. Yang sesuatu tak dapat diucapkan, yang sesuatu tak ingin diucapkan atau hal terbaik adalah mengatakan tak ada apa-apa sama sekali.

Hening, saya hampir memastikan bahwa apa yang paling berbicara sepanjang tundaan adalah kesunyian.

Dalam prosa saya, barangkali seluruh repetisi mempunyai guna yang mirip sebagaimana tundaan bekerja dalam drama saya. Atau inilah cara saya berpikir mengenainya, yang selagi terdapat pidato sunyi dalam sandiwara, terdapat suatu bahasa kesunyian di balik bahasa tertulis dalam suatu novel, dan seandainya saya menulis karya sastrawi yang baik, pidato sunyi ini juga harus diungkapkan, semisal dalam Septology, adalah bahasa sunyi ini, memakai beberapa contoh nyata, sederhana, yang mengatakan bahwa tokoh Asle pertama dan Asle lainnya sangat mungkin menjadi pribadi yang sama, dan bahwa keseluruhan novel panjang itu, sekira 1.200 halaman, barangkali semata suatu ungkapan tertulis dari novel  yang diringkas kini.

Namun sebuah seruan sunyi, atau suatu bahasa sunyi, berbicara paling banyak dari kepenuhan satu karya. Entah berupa novel atau sandiwara, atau suatu pementasan teater, ia bukanlah anasir dari mereka itu sendiri yang bernilai, ia adalah suatu kepenuhan, yang juga harus ada dalam tiap rincian tunggal—atau barangkali saya mungkin berani berbicara soal roh totalitas, suatu roh yang dalam suatu cara berbicara baik dari dekat maupun nun di kejauhan.

Dan apakah yang Anda dengar kemudian, seandainya Anda menyimak cukup dekat?

Anda mendengar kesunyian.

Dan sebagaimana telah dikatakan, hanyalah dalam kesunyian sehingga kalian mampu mendengar suara Tuhan.

Mungkin.

Sekarang kembali menginjak tanah, saya ingin menyebut sesuatu yang lain yang telah diberikan pada saya dalam penulisan teater. Menulis adalah pekerjaan kesendirian, sebagaimana saya bilang, dan kesendirian itu menyenangkan—sepanjang seperti jalan kembali ke yang lain masih membuka, mengutip sajak Olav H. Hauge lainnya.

Dan apa yang memukau saya ketika pertama kali saya melihat sesuatu dari apa yang telah saya tulis ditampilkan di atas panggung, ya, yakni sesungguhnya yang berseberangan dari kesendirian, yaitu kebersamaan (companionship), ya, mencipta seni lewat berbagi seni—yang memberi saya sentuhan luar biasa kebahagiaan dan rasa aman.

Wawasan ini telah menguntit saya sejak itu, dan saya yakin ia telah memainkan sebuah peranan dalam sesuatu yang saya tidak sungguh-sungguh bertekun, bersama jiwa damai, tapi saya juga telah merasakan sejenis kebahagiaan bahkan dari pementasan buruk sandiwara-sandiwara saya sendiri.

Drama sesungguhnya suatu tindak menyimak luar biasa—seorang sutradara harus, atau setidaknya mesti, mendengarkan teks, cara para aktor mendengarkannya dan pada satu sama lain dan pada sutradara, dan cara penonton mendengarkan keseluruhan penampilan.

Dan tindak menulis bagi saya adalah menyimak: saat saya menulis saya tidak pernah bersiap-siap, saya tidak merencanakan apa pun, saya maju dengan mendengarkan.

Jadi seandainya saya mesti menggunakan suatu metafora dari tindak menulis, haruslah seperti menyimak.

Demikianlah, nyaris tanpa berkata apa-apa, bahwa menulis mengingatkan akan musik. Dan pada suatu masa yang pasti, saat usia belasan, saya bergerak sedikit-banyak dari semata bertaut dengan musik secara langsung, menuju tulisan. Saya sungguh berhenti sepenuhnya baik memainkan musik saya sendiri maupun mendengarkan musik, dan beranjak menulis, dan dalam tulisan saya, saya mencoba menciptakan sesuatu dari apa yang saya alami ketika saya memainkan musik. Itulah apa yang saya kerjakan kemudian—dan apa yang masih saya lakukan.

Sesuatu yang lain, barangkali agak aneh, yaitu saat saya menulis, pada satu titik tertentu saya selalu menemu suatu perasaan bahwa teksnya sudah ditulis, nun entah di mana, bukan dalam diri, dan bahwa saya cuma butuh menurunkannya sebelum teks memudar.

Terkadang saya bisa melakukannya tanpa membuat pergantian apa pun, di lain kesempatan saya mesti menyusuri teks itu dengan menuliskannya kembali, memangkas dan menyunting, berhati-hati berusaha memunculkan teks yang telah ditulis itu.

Dan saya, yang tidak berkehendak menulis untuk teater, mengakhiri hanya melakukan hal itu dalam waktu sekitar lima belas tahun. Dan lakon yang saya tulis juga ditampilkan, ya, seiring berjalannya waktu, terdapat banyak pementasan di belahan bumi.

Saya masih tak dapat memercayainya.

Kehidupan sungguh tak bisa dipercaya.

Sama halnya saya tak bisa meyakini bahwa saya kini berdiri di sini berusaha mengatakan kurang-lebih beberapa pernyataan peka tentang apa yang harus ditulis, dalam hubungannya dengan penganugerahan Hadiah Nobel Sastra.

Dan bahwa saya telah dianugerahi hadiah itu bertalian, sepanjang pemahaman saya, dengan baik prosa maupun drama saya.

Usai menulis terus hampir hanya drama selama bertahun-tahun, tiba-tiba terasa seakan-akan cukup sudah, ya lebih dari cukup, dan saya memutuskan berhenti menulis drama.

Namun menulis telah menjelma kebiasaan dan satu yang saya tak bisa mengurus hidup tanpanya—boleh jadi seperti Marguerite Duras, Anda bisa menyebutnya suatu cela—maka saya memutuskan kembali ke tempat segalanya dimulai, menulis prosa dan jenis tulisan lainnya, jalan yang telah saya kerjakan selama kurang lebih satu dasawarsa sebelum debut saya sebagai seorang dramawan.

Itulah apa yang telah saya kerjakan selama sepuluh-lima belas tahun terakhir. Ketika saya memulai menulis prosa kembali dengan serius, saya tidak memastikan apakah saya masih mampu. Saya menulis Trilogy pertama-tama—dan ketika dianugerahi Hadiah Sastra Dewan Nordik (The Nordic Council Literature Prize) karena novel itu, saya mengalaminya sebagai penegasan kuat bahwa saya sungguh telah memiliki sesuatu untuk ditawarkan selayaknya seorang penulis prosa.

Lantas saya menulis Septology.

Dan selama pengerjaan menulis novel tersebut, saya mengalami beberapa saat paling bahagia saya sebagai seorang penulis, misalnya saat seorang tokoh Asle menemukan Asle yang lain berbaring pada salju dan dengan begitu menyelamatkan hidupnya. Atau penutupannya, saat Asle pertama, tokoh utama, merencanakan pada perjalanan terakhirnya, di satu perahu, sebuah sampan nelayan kuno, bersama Asleik, teman terbaik dan satu-satunya, untuk merayakan Natal dengan saudari Asleik.

Saya tidak berencana menulis novel tebal, tapi novel itu kurang lebih menuliskannya sendiri, dan menjadi sebuah novel tebal, dan saya menulis banyak bagian dalam semacam aliran lembut bahwa segalanya mendadak pas.

Dan saya pikir itu adalah saat saya berada paling dekat dengan apa yang Anda sebut kebahagiaan.

Keseluruhan Septology memiliki kenangan di dalamnya mengenai banyak hal dari karya yang lain yang telah saya tulis, meskipun dipandang dari sorot yang lainnya. Bahwa terdapat bukanlah satu pemberhentian penuh tunggal dalam keseluruhan novel adalah bukan suatu penemuan. Saya semata menulis novel seperti itu, dalam satu aliran, satu gerak yang tidak meminta suatu pemberhentian penuh.

Saya berkata dalam wawancara suatu kali bahwa menulis adalah sejenis doa. Dan saya malu ketika saya melihatnya dalam bentuk cetakan. Namun kemudian saya membaca, sebagai sejenis pelipur, bahwa Franz Kafka telah mengatakan hal yang sama. Jadi mungkin—setelah semua itu?

Buku-buku pertama saya diulas dengan sungguh buruk, tapi saya memutuskan tidak mengindahkan kritikus, saya sebaiknya memercayai diri saya sendiri saja, ya, teguh pada tulisan saya. Dan jika saya tidak melakukan hal itu, ya, waktu itu saya akan berhenti menulis usai novel debut, Raudt, svart (Red, Black) mengemuka empat puluh tahun silam.

Kemudian saya menerima ulasan baik secara umum, dan saya bahkan mulai menerima penghargaan—dan kemudian saya berpikir penting untuk melanjutkan dengan nalar yang sama, bila saya tidak mendengarkan ulasan buruk, saya juga tidak akan membiarkan keberhasilan memengaruhi, saya akan berpegang teguh pada tulisan saya, menggenggamnya, bergantung pada apa yang telah saya jadikan.

Dan saya berpikir itulah apa yang telah berhasil saya lakukan, dan saya sungguh-sungguh percaya bahwa saya akan terus seperti itu bahkan usai saya menerima Hadiah Nobel.

Ketika diumumkan saya mendapat anugerah Hadiah Nobel Sastra itu, saya menerima banyak pos elektronik dan tahniah, dan tentu saja saya sangat semringah[4], sebagian besar ucapan itu bersahaja dan mengelu-elu, tapi beberapa orang menulis bahwa mereka gemetar dalam rasa senang, lainnya meneteskan air mata. Sungguh mengharukan.

Terdapat banyak peristiwa bunuh diri dalam tulisan saya. Lebih dari yang saya pikirkan. Saya jadi cemas jikalau, dengan jalan ini, turut andil mengabsahkan bunuh diri. Maka apa yang mengharukan saya lebih dari segalanya yakni mereka yang dengan tulus menulis bahwa tulisan saya telah sungguh bersahaja menyelamatkan kehidupan mereka.

Dalam satu pemahaman saya senantiasa mengerti bahwa menulis mampu menyelamatkan hidup, barangkali juga telah menyelamatkan kehidupan saya sendiri. Dan jika tulisan saya juga bisa menolong kehidupan yang lainnya, tiadalah yang membuat saya lebih bahagia.

Terima kasih, Akademi Swedia, karena telah menganugerahi saya Hadiah Nobel Sastra.

Dan terima kasih, Tuhan.

 

Jon Fosse, peraih nobel saatra 2023. Ini pidato Jon Fosse dalam penganganugerahan nobel sastra 2023 yang diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh May-Brit Akerholt dan dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia oleh Rudiana Ade Ginanjar. A Silent Language. Hak cipta pada © THE NOBEL FOUNDATION 2023.

[1] Tanpa; tidak dengan.

[2] Menetap; menjaga. (Jw.)

[3] Lengkapnya diterjemahkan sebagai Someone Is Going to Come Home. Dari Nokon kjem til å komme, dipentaskan pertama kali 1996. (Penerj.)

[4] Berseri-seri. (Jw.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *