Pendidikan Madilog Episode Satu

Esai, Literasi132 Dilihat

Seputar Pendidikan #16

Aldi Hidayat

Madilog adalah judul buku Tan Malaka, salah satu pahlawan besar Indonesia. Buku tersebut bertajuk: Madilog: Materialisme, Dialektika dan Logika. Buku ini berisi koreksi dan aspirasi. Tan Malaka mengoreksi kecenderungan orang Indonesia dalam menghadapi masalah. Suatu masalah, sebut saja bencana, seringkali dianggap murka Tuhan. Akibatnya, cara mengatasinya ialah dengan banyak doa. Akibatnya, sumber masalah yang riil terlupakan. Adapun aspirasinya ialah menumbuhkan pola pikir yang bertumpu pada materialisme, dialektika dan logika. Apakah ini berarti doa harus ditinggalkan? Apakah ini berarti kita tidak perlu bertuhan layaknya agamawan, namun cukup bertuhan pada ilmu pengetahuan? Baiklah…. penulis ulas secara perlahan.

Adagium populer agamawan, “Berusaha tanpa doa itu sombong. Berdoa tanpa usaha itu bodoh.” Usaha dan doa adalah satu paket yang menyatu. Urusan doa barangkali kita tidak kekurangan. Akan tetapi, apakah usaha kita sudah memenuhi kriteria? Esai sebelumnya telah membeberkan betapa peringkat literasi kita masuk dalam jajaran 10 paling bawah. Satu data ini sudah mampu menggertak kesadaran bahwa usaha kita masih tak ubahnya “khayalan tingkat tinggi” atau “ilusi tak bertepi”. Jadi, secara usaha, kita masih jauh di bawah semestinya. Lalu apa yang dibutuhkan dalam usaha?

Usaha itu harus berangkat dari gagasan. Usaha tanpa gagasan sama dengan hujan tanpa air. Mana bisa ada hujan, kalau tidak ada air? Mana bisa ada usaha, kalau tidak ada pikir? Atau setidaknya, usaha tanpa pikir itu ibarat masak tanpa resep. Akan jadi apa masakan tanpa resep? Begitu juga, akan jadi apa usaha tanpa pikir? Jadi, mestinya bukan, “kerja, kerja, kerja!”, tapi, “pikir, pikir, pikir baru kerja!” Pikirnya 3 kali agar kerjanya tidak nyasar ke kali. Lalu apa hubungan lebih jelasnya dengan Madilog?

Jangan Lewatkan Baca Juga: Literasi di Ambang Basi

Sebelumnya, penulis tegaskan bahwa esai ini bukan tulisan deskriptif. Artinya, penulis tidak akan menjelaskan ulang bagaimana pemikiran Tan Malaka dalam bukunya itu. Akan tetapi, ini adalah tulisan kreatif. Penulis hendak mengembangkan lebih lanjut inti buku tersebut. Buku itu memuat tiga poin pokok, yakni materialisme, dialektika dan logika. Esai ini akan fokus pada poin pertama.

Apa itu materialisme? Materialisme gampangnya ialah paham bahwa yang ada hanyalah apa yang bisa diindera. Konsekuensinya, Tuhan, malaikat, surga, neraka dan lain seumpamanya dianggap tidak ada, karena semua itu tidak bisa diindera. Gegara hal ini, materialisme selalu dipandang secara sinis oleh agamawan. Sayangnya, pandangan sinis itu memukul rata. Pokoknya, kalau sudah berbau materialis, maka itu pasti salah. Sebenarnya ini rancu, namun anehnya, sudah lumrah. Bagaimana kerancuannya dan bagaimana pula mengadopsi materialisme secara aman, damai dan sejahtera?

Pola pikir “Pokoknya kalau….. pasti salah” dalam terminologi akademik disebut oposisi-binner. Pola pikir demikian rancu. Gampangnya, jika ada orang ateis bilang, “Penjajahan itu tidak berperikemanusiaan”, apakah ucapannya ini salah, hanya karena dia ateis? Jelas tidak. Itu artinya, sesesat-sesatnya pemikiran bukan berarti tak ada benarnya sama sekali. Demikian pula dengan materialisme. Lalu apa yang bisa kita ambil dari materialisme?

Tonton Puisi Ibu D Zawawi Imron, Suara Asli Penyair Nasional si Celurit Emas

Agama mengajarkan bahwa ada dua alam; gaib dan nyata. Selama ini, kita selalu digiring pada alam gaib, sehingga abai pada alam nyata. Mengapa ada pencurian? Karena pelaku tidak becus beribadah. Jika Islam mengajarkan usaha, itu berarti jangan terburu-buru berpikir teologis (dikit-dikit dibawa ke Tuhan) atau mitis (dikit-dikit pakai mantra, pergi ke dukun dan lain sebagainya). Akan tetapi, fokus dulu pada duduk perkaranya! Pencurian lebih ditengarai oleh ketimpangan dan kesenjangan ekonomi. Sayangnya, agamawan kita sering mendoktrin, “Ngapain kaya, wong dunia hanya sementara?” Sementara itu, si agamawan malah bergelimang harta. Sebuah kontradiksi yang membingungkan. Apa yang terjadi, jikalau orang awam didoktrin untuk menjauhi dunia?

Penguasa dan pengusaha akan lebih mesra dalam menjalankan propagandanya. Sumber Daya Alam (SDA) diperas habis-habisan, sehingga rakyat jelata kehilangan lahan. Dalam pada itu, masih saja mereka ditekan, “Syukuri apa adanya! Hidup adalah anugerah.” Syukur itu bukan berdiam diri saat Sumber Daya Alam dimonopoli. Justru, yang demikian adalah bentuk halus dari dilalimi.

Cari Lowongan Kerja? Info Loker Jogja Terlengkap

Karena itu, kita mesti membuka diri betapa problem masa kini tidak cukup dihadapi dengan menengadahkan tangan, seolah keberuntungan akan jatuh dari kahyangan. Harus ada usaha mendalam di mana mau tidak mau harus dengan mengadopsi aneka pemikiran, gagasan, sudut pandang dan hasil penelitian. Selama ini, agamawan kita sibuk mencarikan status hukum tindakan mencuri, padahal yang paling dibutuhkan bukan hukumnya, tapi apa dan bagaimana strategi menghentikan pencurian? Setiap orang dipastikan yakin bahwa menyakiti orang lain itu buruk. Mencuri termasuk menyakiti.

Jadi, mencuri itu buruk. Tapi mengapa masih banyak yang mencuri? Bahkan, mengapa pemuka agama pun masih asyik-masyuk bertransaksi dengan politisi? Tidakkah banyak kiai mau uang sogokan setelah dipoles sedemikian rupa agar terlihat halal? Orang awam pun bilang, “Sekarang ini tidak ada kiai yang benar”. Dalam pada itu, apa yang mesti dilakukan? Apa masih mau saling menyalahkan atau masih betah hanya dengan tangan yang menengadah? Tentu saja, usaha yang betul-betul membumi dan menyentuh akar persoalan harus dikampanyekan, didakwahkan dan disemarakkan. Itulah materialisme, yakni membaca persoalan berdasarkan situasi dan kondisi riil yang tengah dihadapi.

Kiai disogok barangkali tidak murni imannya keropos, tapi lantaran lembaganya krisis uang, sementara masyarakat enggan berdonasi besar-besaran, “Jadi kiai itu harus ikhlas! Jadi, nggak perlu banyak-banyak memberi bantuan!” Dalih lainnya yang lumrah, “Rezeki sudah diatur Tuhan”. Memang sudah diatur, tapi bukan berarti kita diam terpekur. Jika memang rezeki diatur Tuhan, maka tugas kita ialah memahami seluk-beluk sirkulasi rezeki di tangan manusia. Pasalnya, itulah wujud konkret dari bagaimana Tuhan mengatur rezeki manusia. Jika demikian, fokuslah pada tantangan, ancaman dan harapan ekonomi di masa kini! Baru setelah itu doa dipersilakan sekhusyuk-khusyuknya. Inilah secuil contoh bagaimana materialisme diterapkan. Materialisme itu ber-uang tanpa harus jadi beruang. Materialisme ketika dikawinkan dengan Islam, maka akan menjadi ber-uang demi menyebar kasih sayang. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 komentar

  1. Kalo bisa mengangkat esai yang kekinian bang, contoh yang kemarin² kasus Eddy tentang pro kontranya ibu kota yang mau dipindahkan