Seputar Pendidikan #14
Aldi Hidayat
Esai sebelumnya telah mengupas seputar amr ma’ruf dalam kerangka kemanusiaan. Gampangnya, bagaimana menjadikan amr ma’ruf sebagai kebutuhan, bukan sebagai kewajiban. Dengan begitu, dakwah yang satu ini bisa membumi, bukan menjadi alergi. Kini kita beranjak pada padanannya, yaitu nahy munkar.
Nahy munkar gampangnya ialah mencegah keburukan. Nahy munkar sah dikata lebih susah dari amr ma’ruf. Pasalnya, amr ma’ruf mengarah pada kebaikan. Kebaikan sendiri adalah watak bawaan. Artinya, setiap manusia tentu ingin baik dan lebih baik. Jika demikian, bukankah berarti keburukan itu bukan watak bawaan? Kalau bukan watak bawaan, mengapa bisa dikatakan nahy munkar lebih susah dari amr ma’ruf? Itu karena kejahatan kerap dipicu oleh watak bawaan lainnya dari diri manusia, yaitu naluri. Amr ma’ruf mengarah pada fitrah, sedangkan nahy munkar mengarah pada naluri. Ada persamaan dan perbedaan antara keduanya?
Fitrah adalah watak bawaan manusia untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Karena itu, semua orang pasti setuju bahwa kita harus berproses, belajar lebih giat, lapang dada atas masalah yang menimpa, bertanggung jawab atas akibat dari tindakan sendiri dan masih banyak lagi. Adapun naluri ialah watak bawaan untuk mencari kenikmatan sebanyak mungkin. Mengapa orang bisa terkendala malas saat belajar, padahal watak bawaannya bilang bahwa belajar itu adalah kebutuhan? Karena ada naluri yang selalu menggoda, “Sudahlah! Cari yang nikmat-nikmat saja! Belajar itu nggak jelas nikmatnya!” Dalam istilah yang lebih familiar, fitrah adalah adalah hati, sedangkan nafsu adalah padanan bagi naluri. Masing-masing kata tidak bermakna persis dengan padanannya, namun berdekatan dan sangat serupa.
Selain Nahy Munkar yang Berkemanusiaan Baca Juga: Amr Ma’ruf yang Berkemanusiaan
Sekarang persoalannya ialah apa hubungan antara nahy munkar dan naluri? Naluri manusia secara umum ialah mencari kenikmatan untuk diri sendiri. Dorongan ini begitu kuat. Kekuatannya seringkali mengalahkan dorongan fitrah. Contoh, apakah menipu itu terlarang? Fitrah akan bilang iya, karena itu merugikan orang lain. Itu bukan lelaku baik, di mana baik adalah target utama fitrah. Lalu mengapa masih ada penipuan? Karena naluri memenangkan pertandingan. “Nggak apa-apa menipu orang, asal kepentingan sendiri terpenuhi. Toh, orang belum tentu memikirkan dirimu sendiri.” Nahy munkar berupaya menghadang orang dalam memenuhi nalurinya, padahal naluri begitu kuat dalam diri. Akibatnya, orang yang dicegah berbuat buruk merasa dilalimi. Dari situlah, nahy munkar terasa lebih berat dijalani.
Hanya saja, nahy munkar selama ini identik dengan anggapan bahwa dosa itu dilakukan karena keinginan. Karena dilakukan oleh keinginan, maka pelaku harus dapat hukuman. Hukuman itu tidak pandang bulu, sehingga siapa pun itu harus dihukum secara pilu. Dari anggapan ini, nahy munkar terkadang tidak mau tahu betapa pelaku tidak sepenuhnya ingin. Akan tetapi, ada faktor lain yang mendorongnya berbuat dosa. Apa saja faktor lain? Inilah saatnya masuk ke inti tulisan.
Dosa itu dilakukan setidaknya atas tiga landasan, yaitu keinginan, kesempatan dan keterpaksaan. Bagaimana gampangnya memahami dosa dalam kerangka tiga landasan di muka? Penulis akan mencontohkannya dengan mencuri. Bagaimana menyikapi mencuri?
Jika lelaku ini bermuasa dari keinginan, bukan keterpaksaan, apalagi kesempatan profesi lain terbuka lebar, maka jelas pencurian macam ini harus dihukum berat. Pasalnya, kejahatan yang dia lakukan sebatas karena kesenangan. Masalahnya, apakah setiap pencuri itu berangkat dari keinginan? Seringkali dosa ini bertolak dari kesempatan. Adakalanya, seseorang sama sekali tidak mau mencuri, melainkan ada kesempatan berupa barang di mana pemiliknya tidak berada di hadapan. Lebih jauh, seringkali pencurian bukan karena keinginan, namun karena korupsi sudah merajalela alias menjadi dosa massal.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Wisata dan Corona
Akibatnya, saat ada kesempatan mencuri, meski terbuka kesempatan pada profesi lain, dia santai-santai saja melakukannya. Dalihnya, “Toh, sudah banyak orang korupsi dibiarkan. Berarti mencuri pun bukan persoalan.” Adakah orang ini layak mendapat hukuman seberat pencurian dengan motif keinginan? Tidakkah pencuriannya berangkat dari lingkungan yang terlanjur berjamaah melakukan korupsi dan lain semacam? Bukankah secara tidak langsung lingkungan telah menghipnotisnya untuk berubah haluan? Tidakkah lingkungan demikian secara tidak langsung membuat mencuri yang awalnya haram menjadi setengah haram?
Berikutnya, apakah setiap pencuri berangkat dari kesempatan? Tidak juga. Malah tidak jarang orang mencuri karena terpaksa. Demi menjaga diri dari kelaparan, akhirnya seseorang mencuri. Demi membayar hutang, seseorang tertekan untuk mencuri. Layakkah pencuri kategori ini mendapat hukuman setara dengan pencuri atas motif kesempatan? Tentu saja tidak. Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab pernah membatalkan hukum potong tangan bagi budak yang mencuri unta majikannya. Itu karena si budak dibiarkan kelaparan hingga hampir meninggal dunia.
Masalahnya, bagaimana mendeteksi antara keinginan, kesempatan dan keterpaksaan dalam suatu tindakan dosa dan kriminal? Di sinilah, pentingnya kita membuka cara pandang pada berbagai disiplin ilmu, berbagai pihak, berbagai perspektif dan lain sebagainya. Tanpa keterbukaan seperti ini, kita–sebagai misal–bakal mudah merazia PSK dengan dalih memberantas zina? Padahal para PSK rata-rata dipaksa oleh tuntutan ekonomi, sehingga tak ada cara lagi selain menjual harga diri. Karena itu, penulis sangat menyayangkan aksi kalangan militan yang kasar dalam memberantas kemungkaran, padahal kemungkaran itu lebih ditengarai oleh kesempatan atau keterpaksaan.
Selain Baca Nahy Munkar yang Berkemanusiaan, Anda Cari Lowongan Kerja? Ini Ada di Loker Jogja
Akibatnya, yang ditindak adalah pelaku, sedangkan akar masalahnya (kesempatan dan keterpaksaan) dibiarkan melaju. Apa yang terjadi? Agama dianggap tidak memberi solusi. Aksi militan tersebut malah menjadi bumerang bagi agama itu sendiri. Orang-orang menjadi bingung dalam menentukan langkah. “Saya juga berhak bertahan hidup, tapi mau bagaimana lagi, wong lingkungan terlanjur liar, sedang agama tidak memberi jalan keluar? Yang ada malah memaksa untuk total menghindar.” Kira-kira begitulah jeritan batin manusia, saat nahy munkar diterapkan secara harfiah, bukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang menjalar dan lumrah. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
1 komentar