Seputar Pendidikan #26
Aldi Hidayat
Adakah praktek kecil dalam Islam yang bisa menjadi gerbang ke arah hidup minimalis-maksimalis-permakulturitatif? Ada, tapi sayang selama ini dimaknai secara harfiah saja. Praktek kecil itu ialah kesunnahan membaca basmalah dalam pusparagam kegiatan. Nabi SAW bersabda:
كل أمر ذي بال لا يبدأ ببسم الله فهو أبتر
Setiap urusan berkelanjutan yang tidak diawali dengan basmalah, maka urusan itu terpotong (berkahnya).
Apa dan bagaimana hubungan basmalah dengan seni hidup minimalis-maksimalis-permakulturitatif? Di bawah ini, akan penulis urai sedemikian rupa.
Pertama, basmalah selama ini dimaknai cukup membaca lafalnya dalam setiap kegiatan. Lantaran sekadar dimaknai demikian, maka basmalah tidak membawa pengaruh nan jelas terhadap kualitas perilaku berikut dampaknya. Tak heran, umat Islam masa kini masih sangat terbelakang. Isma’il Raji al-Faruqi, dalam karyanya yang berumbul Tauhid: Its Implication for Thought and Life, menyebut muslim sebagai entitas yang besar secara kuantitas, namun kerdil secara kualitas. Sering penulis kutip testimoni H.A.R. Gibb, betapa Islam much more than a system of theology. It is a complete civilization: Islam sebenarnya lebih dari sekadar sistem teologi (keyakinan).
Ia adalah peradaban yang lengkap. Akan tetapi, mengapa muslim, selaku cerminan Islam malah menunjukkan realita yang berseberangan dengan idealita? Salah satu faktornya ialah menjamurnya pemaknaan harfiah atas Islam. Basmalah, contohnya, cukup dimaknai sunnah membaca lafalnya tatkala akan memulai suatu kegiatan. Sisi positif yang acapkali ditampilkan adalah bahwa membaca basmalah akan berbuah pahala di surga. Akibatnya, basmalah seolah hanya tabungan untuk hari esok, sementara hari ini terkesan tidak ada solusi pragmatis-visioner dari Islam. Sebabnya, basmalah mesti dimaknai ulang, supaya praktek sederhana berefek luar biasa ini tidak sekadar berupa bacaan, namun betul-betul mendongkrak kita dari kejumudan.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Seni Hidup Maksimalis
Basmalah gampangnya ialah menyebut nama Allah dengan bacaan konvensional yang sudah ditetapkan oleh Islam. Mengapa kegiatan mesti diawali dengan nama Tuhan? Meminjam pernyataan Gus Dur, “Agama diturunkan untuk manusia, bukan untuk Tuhan, karena Tuhan tidak butuh manusia.” Mengawali kegiatan dengan nama Tuhan berarti mengawali kegiatan dengan visi-misi yang menjurus pada problem terbesar masa kekinian. Itulah kriteria dakwah menurut al-Qahthani dalam Kayfiyyat al-Da’wah ‘ala Dlaw’ al-Kitab wa al-Sunnah. Problem terbesar dakwah masa kini bukan krisis orang tidak tahu shalat, mengaji, pentingnya sedekah, tapi krisis keadilan dan kapitalisme eksploitatif terhadap alam. Mestinya, dakwah lebih dominan berbicara tentang cara efektif dalam menangani dua problem tersebut. Prinsip menanggulangi dua problem ini adalah makna tersirat dari basmalah.
Mengawali kegiatan dengan nama Tuhan berarti menyegarkan prinsip bahwa setiap kegiatan tidak berorientasi pada pemenuhan keperluan privat, seperti reputasi, gengsi, popularitas, harta dan lain seumpamanya. Akan tetapi, nama Tuhan adalah simbol bahwa kasih sayang, keadilan dan keseimbangan manusia bersama alamlah yang menjadi tujuan. Lebih baik menyadari bahwa makan bertujuan untuk menguatkan badan dalam mengejar kesuksesan, walau tidak diawali basmalah daripada makan hanya untuk cari kenyang, meskipun diawali basmalah. Itulah hakikat dari basmalah. Hanya saja, cukupkah kita menyadari tujuan kegiatan tanpa harus mengawalinya dengan lafal basmalah? Tentu tidak. Lafal basmalah adalah penegas dan pengingat akan prinsip visioner itu. Selanjutnya, apa makna kesuksesan yang tersimpan di balik lafal basmalah? Poin terakhir akan menjawabnya.
Mau Lanjut? Beasiswa Pascasarjana ke Australia
Kedua, para ulama memaknai abtar sebagai terpotongnya berkah dari suatu kegiatan. Apa itu berkah? Berkah adalah bertambahnya kebaikan. Apakah bertambahnya kebaikan harus dengan kaya raya, terkenal karena sesuatu yang remeh-temeh (karena ketampanan, kecantikan, penampilan dan lain semacam), mengeruk kekayaan alam tanpa batas dan anggapan lain yang seragam? Cobalah kita jawab dengan pertanyaan, “Mana lebih nyaman antara kaya raya, tapi hidup gelisah dan hidup miskin, tapi bahagia?” Tentu banyak orang bakal melabuhkan jawaban pada pilihan kedua. Artinya, betapa pun kaya hampir selalu menjanjikan kebahagiaan, kaya bukanlah syarat mutlak dalam menggapainya. Yang jauh lebih manusia butuhkan daripada kaya ialah sejahtera.
Jika sejahtera yang menjadi kebutuhan, maka seharusnya kaya tidak secara mutlak menjadi tujuan. Hanya saja, lantaran hidup ini serba menawarkan kemewahan dan kemegahan, banyak orang kemudian terbius untuk meraih keduanya. Ketika dipikir ulang, kemewahan dan kemegahan menuntut eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Dalam pada itu, kemewahan dan kemegahan justru menjadi bumerang. Alih-alih mendatangkan kebahagiaan, justru ia menggerus keseimbangan alam. Jadi, berkah yang terpotong maksudnya pudarnya prinsip keseimbangan dalam diri manusia, sehingga dia merasa bahwa bahagia ialah mencari kesenangan sebanyak-banyaknya.
Cari Info Kerja Daerah Yogyakarta? Loker Jogja
Meski begitu, pemaknaan basmalah seperti di atas bukan berarti menghindari hingar-bingar trend zaman. Basmalah adalah gerbang untuk melakoni hidup secara seimbang. Satu sisi, kita mengikuti trend masa kini, sisi lainnya kita berupaya melakukan restorasi sana-sini. Hanya saja, efektifkah pemaknaan basmalah seperti tadi dalam menangkal arus kapitalisme yang sudah menjadi-jadi? Tidakkah sekarang begitu melimpah penceramah dan ustadz yang memviralkan hidup ala kadarnya? Bukankah sudah bergelimang pesan islami di berbagai media? Tidakkah pemaparan tadi tak ubahnya pesan-pesan yang sudah bersilewaran di mana-mana? Secara substansial, ajakan ke arah hidup ala kadarnya sudah lumrah. Akan tetapi, pemaknaan secara visioner terhadap basmalah masih susah.
Banyak orang masih menganggap kesunahan basmalah cukup pada membaca lafalnya. Sebenarnya jauh lebih dari itu. Basmalah berarti mengawali setiap tindakan dengan kesadaran bahwa kegiatan tersebut mesti bersifat visioner. Visioner dalam arti menjadi sukses secara minimalis untuk diri keluarga serta maksimalis untuk umat manusia. Puncaknya, ialah mengarahkan kegiatan pada permakulturisasi alias berupaya hidup sejahtera tanpa harus membuat alam tereksploitasi. Pemaknaan basmalah seperti demikian akan berpengaruh kuat, jikalau ditanamkan dalam diri anak, mengingat pengalaman masa kanak-kanak sangat membekas hingga dewasa.
Hanya saja, seindah apa pun retorika takkan menjamin perubahan besar-besaran terhadap realita. Penentu perubahan lebih ditentukan oleh integritas, yakni keteguhan melawan godaan realita demi mempertahankan idealita. Apa dan bagaimana lebih jelasnya? Esai selanjutnya akan mengulasnya. Demikian. Wallahu A’lam.
1 komentar