Ajal Bahasa Lokal Tinggal Sejengkal

Esai, Literasi321 Dilihat

Seputar Pendidikan #31

Aldi Hidayat

Bhineka Tunggal Ika adalah slogan keramat di Indonesia. Seringkali kita berbangga dan busungkan dada bahwa kita telah menerapkannya. Bhineka Tunggal Ika; berbeda-beda, tapi satu cita-cita. Ini cukup kontradiktif. Satu sisi, kita membiarkan perbedaan dan keragaman. Sisi lainnya kita berambisi akan kesatuan dan persatuan. Kesatuan dan persatuan berpotensi meniscayakan kesamaan identitas. Kalaupun identitas tidak perlu disatukan, paling tidak sistem yang harus disatukan. Ketika sistem mesti disatukan, maka dengan sendirinya kearifan lokal akan tergerus seiring perputaran roda zaman. Termasuk bahasa. Ajal bahasa lokal tinggal sejengkal.

Penulis akan mencontohkan Madura. Di antara kekayaan lokal pusparagam daerah di Indonesia ialah bahasanya, tepatnya bahasa daerah. Di Madura, bahasa terbagi pada beberapa tingkatan, seperti be’na (logat Sumenep timur), be’en (logat Sumenep barat dan Pamekasan), kakeh (logat Sampang), hedeh/be’eng (logat Bangkalan). Semua kosakata ini bermakna, “Kamu/Kau” untuk lawan bicara yang sebaya. Jikalau ditujukan pada yang lebih tua, tersedia kosakata, “Sampeyan“. Kepada guru, digunakan kosakata, “Panjhenengan“. Kepada Tuhan, orang tua dan kiai, dipakai kosakata, “Ajunan“. Kekayaan lokal ini terancam punah, mengingat lembaga pendidikan Madura tidak lagi mengajarkan bahasa halus (bhesa alos). Kini, orang Madura yang menguasai bahasa halus tinggal dihitung jari. Artinya, sudah sedemikian sedikit, sehingga boleh jadi 1 dasawarsa ke depan, bahasa halus Madura sudah tinggal kenangan dan khayalan. Apakah ancaman punahnya kekayaan bahasa hanya berlaku bagi bahasa Madura?

Mamat Alkatiri, salah seorang peserta Stand Up Comedy Seasion 7 (SUCI 7) menuturkan bahwa daerah asalnya, Fakfak, Papua Barat, terancam kehilangan bahasa daerahnya. Pasalnya, penduduk di sana sering memakai bahasa Indonesia guna menghargai pendatang yang tidak mengerti bahasa Papua. Kawasan yang merupakan destinasi pelancong pariwisata memang rentan kehilangan bahasa daerahnya. Kerentanan ini diperparah oleh sistem pendidikan kita yang menomorsatukan bahasa nasional dan internasional sembari mengesampingkan bahasa, peribahasa dan kearifal lokal.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Prestise atau Prestasi

Kompas, bertitimangsa 21 Februari 2020 memberitakan laporan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud) bahwa 11 bahasa daerah telah punah. Maluku merupakan kawasan yang paling banyak kehilangan bahasa daerahnya. 2 sisanya dimiliki Papua Barat dan Papua. 11 bahasa daerah itu adalah Tandia (Papua Barat), Mawes (Papua), Kajeli/Kayeli, Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, Serua dan Nila. Semua yang disebutkan terakhir adalah bahasa daerah di Maluku. Selain itu, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), melaporkan bahwa ada sekitar 3.000 bahasa daerah di dunia yang akan mengalami kepunahan pada penghujung abad ini.

Pada 22 Desember 2021, Kompas memperbaharui warta tentangnya. Dengan melansir warta UNESCO, Kompas menyebut bahwa 100 bahasa daerah atau lokal di Indonesia terancam punah. Indonesia adalah negara terkaya secara SDA dan SDM. Secara SDM, Indonesia memiliki ragam budaya, tradisi, adat, mitos, bahasa lokal dan lain sebagainya. Bahasa lokal Indonesia berjumlah 718 bahasa. Hanya saja, baru 94 darinya yang diteliti. Hasil penelitian tersebut menunjukkan 8 bahasa lokal telah punah, 5 bahasa lokal mengalami kondisi kritis, 24 bahasa lokal terancam punah, 12 bahasa lokal mengalami kemunduran, 24 bahasa dalam kondisi rentan (masih stabil, namun tetap mengidap potensi untuk punah), dan 21 bahasa masih berstatus aman. Secara total, bahasa daerah yang masih setia dilestarikan hanya 21. Selebihnya, yakni 73 bahasa lokal sudah punah atau berpotensi untuk punah. Ini masih 94 bahasa daerah yang sempat diteliti. Masih tersisa 624 bahasa daerah yang belum dijamah. Boleh jadi, bahasa-bahasa sisanya tersebut menunjukkan kondisi yang lebih parah.

Baiknya Aambil Juga: Beasiswa S3 untuk Dosen

Mengapa bisa demikian? Karena kita terlalu ambisius pada Tunggal Ika, hingga lupa akan Bhineka. Dalam pada itu, bagaimana mestinya lembaga pendidikan kita mengambil sikap? Memang faktor kemunduran bahasa daerah tidak sebatas karena minimnya perhatian lembaga pendidikan atasnya. Sangat mungkin kepunahan bahasa daerah berpijak pada situasi hidup yang serba urban dan kosmopolitan. Banyak orang merantau ke daerah lain, sehingga mengharuskan penduduk pribumi memakai bahasa nasional. Selain itu, dunia digital yang mempertemukan manusia lintas kawasan, budaya dan bahasa mengharuskan mereka memakai bahasa yang bisa dimengerti bersama. Dalam pada itu, kita tidak sah membiarkan hanya karena keadaan terlanjur mencampuradukkan manusia dari berbagai latar belakang. Tentu solusi utama dan pertama bagi potensi bahasa lokal punah ialah pendidikan. Pendidikan formal merentang dari usia belia (PAUD, TK lalu SD) hingga usia dewasa (perguruan tinggi). Rentang waktu yang demikian lama ini adalah momen berharga dalam memupuk kesadaran anak bangsa akan pentingnya bahasa daerahnya.

Setiap bahasa tentu memiliki kekhasan tidak hanya dalam hal pengucapan dan tata bahasa, tetapi juga makna dan kesan budaya si pemilik bahasa yang bersangkutan. Makna dan kesan budaya ini akan hilang seiring dengan pudarnya bahasa, selaku penanda budaya dari perhatian. Karena itu, percuma kita berkoar-koar Bhineka Tunggal Ika, selama kesadaran kita masih tersita pada bahasa nasional dan internasional hingga tidak menyisakan ruang bagi bahasa lokal. Di Madura misalnya, sering penulis dapati orang tua, khususnya orang tua muda, mengajarkan bahasa nasional, bahkan internasional pada anak-anaknya. Tentu, ini membuat mereka terlihat memesona. Akan tetapi, mereka tanpa sadar telah mengorbankan bahasa dan budaya kampung halamannya demi bahasa dan budaya bangsa luar sana.

Cari Info Kursus Daerah Istimewa Yogyakarta? Kursus Jogja

Lembaga pendidikan kita terlalu sesak dengan materi-materi nasional yang bersumber dari rekomendasi internasional, seperti Fisika, Kimia, Biologi dan lain sebagainya selaku rumpun ilmu eksakta. Selain itu, pendidikan pesantren yang menahbiskan diri sebagai pelestari budaya kadang tidak memasukkan kekayaan lokal daerahnya sebagai materi untuk santri. Ilmu-ilmu demikian adalah muatan nasional, karena diajarkan secara massal. Disebut internasional, karena kesemuanya itu diakui oleh masyarakat dunia. Sementara itu, keunikan dan kekhasan lokal kurang–bilamana sungkan disebut tidak–diperhatikan. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti, kearifan lokal menemui ajal lalu bertahtalah budaya internasional di mana semua orang di dunia tidak lagi punya ciri khas. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar