Siswa Sekolah Rakyat Mundur: Gelombang Baru Dalam Program Nasional

Kabar, Nasional1625 Dilihat
Siswa Sekolah Rakyat Mundur Gelombang Baru Dalam Program Nasional
Antara Foto/Abdan Syakura

ejogja.ID | Yogyakarta – Pada Jumat, 1 Agustus 2025, Menteri Sosial Saifullah Yusuf—yang akrab dipanggil Gus Ipul—mengungkap bahwa tak hanya guru yang mundur. Sekitar 115 siswa telah mengundurkan diri dari Sekolah Rakyat. Titik sorotnya kini bergeser: setelah gelombang pengunduran diri guru, giliran murid yang mundur, memunculkan pertanyaan besar: apa yang sebenarnya terjadi?

Sebelumnya, pada akhir Juli 2025, sekira 160 guru menyerahkan pengunduran diri mereka. Penyebab utama: penempatan terlalu jauh dari domisili masing-masing guru, yang membuat mereka enggan berbagi ruang jauh dari keluarga dan lingkungan dekatnya.

Jangan Lewati: Senjakala Guru Besar: Di Balik Pemeriksaan 16 Profesor ULM

Bukan sekadar angka statistik: pengunduran diri ini mencerminkan kompleksitas sistem rekrutmen yang melalui Satgas, dengan Badan Kepegawaian Negara dan Kementerian PAN‑RB sebagai jembatan utama proses penempatan. Banyak guru yang merasa tidak siap maupun tidak nyaman ditempatkan jauh dari rumah.

Mengapa Siswa Juga Mengundurkan Diri?

Pada situasi yang serupa, siswa-siswa ini disebut “memilih merendahkan diri”—istilahnya Gus Ipul untuk menggambarkan mereka yang keluar dari program ini atas keinginan sendiri atau tekanan dari keluarga. Sekolah Rakyat memang menyaring berdasarkan desil 1 dan 2 dari Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), tapi ternyata kesiapan psikososial dan dukungan keluarga menjadi faktor krusial.

Meski pengunduran diri cukup besar, Kemensos memastikan bahwa pengganti untuk guru dan siswa sudah siap. Para guru cadangan telah lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan siap ditempatkan melalui mekanisme seleksi lebih lanjut. Bukan hanya guru, tenaga pendukung seperti wali asrama, pengasuh, petugas kebersihan, dan sekuriti juga segera disuplai mengikuti kebutuhan program. Gus Ipul menegaskan, “posisi kosong yang ditinggalkan siswa atau pun guru… sudah ada penggantinya.”

Titik Temu Antara Ambisi dan Kenyataan

Sekolah Rakyat adalah program unggulan Presiden Prabowo Subianto, bertujuan memutus lingkaran kemiskinan lewat pendidikan bagi anak-anak dari kalangan sangat rentan (desil 1–2) dengan sistem boarding school gratis. Namun pada praktiknya, beberapa aspek operasional—khususnya dalam aspek penempatan fisik dan dukungan keluarga—masih memerlukan perbaikan serius.

Jangan Lewati: Mengapa 160 Guru Menolak Menjadi Pengajar di Sekolah Rakyat?

Gus Ipul sendiri mengakui bahwa tantangan ini adalah bahan penyempurnaan sistem ke depan, walaupun secara umum pelaksanaan program masih berjalan sesuai jadwal.

Gambaran Singkat Program Sekolah Rakyat
Item Detail
Pengunduran Guru ± 160 orang karena penempatan terlalu jauh
Pengunduran Siswa ± 115 orang karena ketidaksesuaian konsep asrama / tekanan keluarga
Pengganti Siap Sudah ada cadangan lulus PPG & tenaga pendukung lainnya
Isu Utama Lokasi penempatan & kesiapan sosial siswa
Tantangan Besar Sinkronisasi mekanisme seleksi, penempatan, dan dukungan keluarga

Meskipun data ini datang dari tingkat pusat, gambaran konfliknya terasa nyata. Bayangkan anak-anak yang harus meninggalkan rumah mereka jauh dari orang tua, dan guru-guru yang harus beradaptasi di lingkungan baru tanpa pendampingan memadai. Banyak yang memilih mundur bukan karena menolak pendidikan, melainkan karena kondisi ideal yang belum terpenuhi.

Refleksi Untuk Masa Depan

Program ambisius ini menunjukkan niat baik pemerintah untuk mendidik generasi penerus dari keluarga kurang mampu. Namun hasilnya membuka celah evaluasi: sistem penempatan, kesiapan komunitas keluarga, dukungan psikososial—semua harus diperkuat sebelum ekspansi lebih besar.

Jika tidak addressed, program bisa melahirkan efek samping: pesrtisipan yang hilang, tenaga pendidik yang putus asa, dan kepercayaan publik yang terganggu.

Jangan Lewati: Kolaborasi LPDP UNS dan Puskesmas Gajahan: Layanan Gratis dan Beasiswa

Pengunduran diri massal di Sekolah Rakyat tidak hanya sekadar angka. Ia mencerminkan keterbatasan sistem dalam merespons kesiapan manusia dari berbagai sisi. Dengan memperbaiki mekanisme penempatan dan memperkuat dukungan sosial keluarga, harapannya adalah model ini bisa kembali berjalan sesuai visi: mencetak generasi baru yang sejahtera dari akar sosial-ekonomi paling bawah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *