Membangun Sekolah NU yang “Benaran”: Seruan Kolektif

Jogja, Kabar858 Dilihat
Membangun Sekolah NU yang “Benaran” Seruan Kolektif
Dari kiri: Gus Hilmy, Gus Mustafid, dan Dr. Muhajir

ejogja.ID | Yogyakarta, 3 Agustus 2025 — Udara Yogyakarta masih terasa lembap ketika satu per satu tokoh Nahdlatul Ulama memasuki Ruang Pertemuan DPD RI. Di luar, kota sibuk dengan lalu lintas Ahad pagi, tapi di dalam ruangan itu, waktu seakan melambat. Sekitar 50 orang — para pegiat pendidikan dari RMI, Muslimat NU, Pergunu, dan LPT PWNU DIY — duduk melingkar, sebagian memegang catatan kecil, sebagian lain tampak gelisah tapi penuh harap.

Jangan Lewati: Kaisar Abu Hanifah Serahkan PIP untuk Siswa SD se-Kulon Progo

Hari itu bukan sekadar agenda reses biasa. Suasana ruang terasa berbeda. Ada ketegangan lembut, ada semangat kolektif, seolah semua sepakat bahwa pendidikan NU tidak bisa terus dibiarkan jalan di tempat. Acara tersebut bertajuk Peningkatan Kualitas Pendidikan dan SDM NU DIY.  Ini diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY.

Di depan hadirin, Gus Hilmy — Katib Syuriah PBNU sekaligus anggota DPD RI asal Yogyakarta — membuka forum dengan suara tenang, namun berisi. “Saya sangat senang sekali, reses ini produktif untuk membangun pendidikan yang lebih berkualitas,” ucapnya, sembari menatap peserta satu per satu.

Namun, ia tidak berhenti pada pujian. “Banyak lembaga pendidikan mengalami penurunan peserta didik. Bukan hanya sekolah umum, tapi juga pesantren,” ungkapnya, jujur dan tanpa basa-basi. “Kalau ada masalah, kita hadirkan shahibul masalah langsung bertemu pemangku kebijakan. Di situ solusi bisa lahir.”

Kata-kata Gus Hilmy menukik pada realitas yang banyak dirasakan: sekolah-sekolah swasta, termasuk yang dikelola NU, kini terengah-engah. Bukan hanya karena jumlah murid yang menurun, tapi juga karena urusan pendanaan yang semakin pelik. “Sekolah swasta tak bisa hanya mikir soal murid. Mereka juga pusing cari dana operasional. Ini perlu perhatian penuh,” tegasnya.

Dari sisi pengurus wilayah, suara yang sama datang dari Dr. Muhajir, Sekretaris PWNU DIY. Dengan gaya khas akademisi, ia membuka data dan menyampaikan analisis tajam. “Kualitas SDM NU di Yogyakarta ini banyak. Tapi kenapa lembaga pendidikannya belum melesat?” tanyanya.

Ia menyebut bahwa pendidikan NU tak bisa lagi hanya dipikul oleh pengurus. “Ini harus ‘dikroyok’ bersama. Semua elemen NU harus turun tangan. Jangan biarkan birokrasi dan ego sektoral menyumbat jalannya pendidikan,” ujarnya dengan nada serius yang memancing gumam setuju dari peserta.

Sorotan terhadap persoalan struktural diperjelas oleh Gus Mustatfid, dari unsur sekretaris PWNU DIY. Ia menyebut tiga tantangan utama: belum menyatunya kurikulum nasional dengan keaswajaan, minimnya pelayanan pendidikan bermutu, dan ketimpangan mutu antar lembaga.

“PWNU DIY bertanggung jawab membangun pendidikan yang transformatif, berkarakter, dan adaptif,” tegasnya. Kalimat itu seperti gema yang memantul dari dinding ke dinding, menegaskan bahwa NU tidak bisa terus bermain aman.

Namun suasana ruangan mendadak makin hangat ketika Dr. Ahmad Arifi, Sekretaris Kopertais Wilayah III DIY, angkat suara. Ia berbicara dari pengalaman dan perenungan panjang.

“Kalau mau bikin sekolah benaran,” katanya sambil menatap ke seluruh ruangan, “maka harus ada target yang jelas. Kita ini mau mendirikan sekolah tandingan untuk lembaga unggulan lain, atau hanya mau melayani saja?”

Suasana hening sesaat. Bahkan suara pendingin ruangan terdengar. Sebagian peserta tampak terdiam, sebagian mengangguk pelan. “Mindset kita harus berubah,” katanya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut namun menusuk.

Acara yang berlangsung hingga lewat gema azan zuhur itu tidak menelurkan keputusan formal. Namun, ada yang lebih penting dari sekadar hasil tertulis: kesadaran bersama bahwa pendidikan NU tidak boleh lagi setengah hati. Bahwa visi besar memerlukan keberanian besar. Dan bahwa perubahan tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari ruang seperti inilah—ruang yang berani mengakui kelemahan, sekaligus bersedia memperbaikinya.

Mungkin, hari itu belum ada yang berubah di luar sana. Tapi di dalam ruangan kecil di DPD RI Yogyakarta, benih perubahan telah ditanam. Dengan harapan bahwa sekolah NU di masa depan bukan hanya akan bertahan, tapi akan benar-benar menjadi tempat lahirnya peradaban baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *