Seputar Pendidikan #34
Aldi Hidayat
Ada ribuan motivasi bertebaran di sana-sini. Ada jutaan inspirasi memantik jiwa saban hari. Miliaran pesan suci mengundang hati tanpa henti. Tapi, mengapa masih saja kegagalan tiba bertubi-tubi? Apa sebab motivasi tidak teruntai dalam kalimat yang enak di telinga? Atau karena makna yang dikandung itu-itu saja? Atau pula maksud yang dikehendakinya belum mengena? Tidak. Permasalahannya bukan demikian.
Kunci sukses bukan seberapa indah motivasi, inspirasi dan pesan suci. Semua itu ibarat plang jalan. Anda mau ke Pantai Parangtritis lalu Anda melihat plang jalan, “Ke arah selatan”, apakah hanya dengan melihat plang, Anda sudah sampai tujuan? Sampai, namun dalam dunia khayalan. Artinya, kunci sukses terletak pada kemauan, bukan dukungan. Percuma rombongan malaikat memberi dukungan, jikalau jiwa hampa dari kemauan. Masalahnya, betapa banyak orang mau, namun tetap saja tidak mampu. Ada apa gerangan?
Jangan Lewatkan Baca Juga: Proses Samawa Sehidup Sesurga
Menuju sukses tidak cukup dengan kemauan. Alangkah banyak orang mau menulis puisi, namun gagal menjadi penyair. Ia hanya menjadi penulis puisi yang amatir. Apa karena dia tidak mau? Masalahnya bukan di situ. Menuju sukses atau lebih tinggi lagi, yakni luar biasa butuh asupan tambahan. Tidak lain dan tidak bukan selain tekad. Menjadi penyair tidak cukup berbekal kemauan, tapi juga berbekal tekad. Tekad adalah kemauan keras yang membuat seseorang siap mengorbankan perkara lain yang tak kalah pentingnya. Persoalannya, cukup banyak pula orang bertekad, tapi di tengah jalan malah kandas. Parahnya, stress, depresi, gila hingga bunuh diri kemudian menyantapnya. Apa ini berarti tekad bukan jaminan kesuksesan? Tidak, tapi harus ada langkah selanjutnya yaitu konsisten. Konsisten berarti seberapa tangguh dan teguh, meski badai cobaan dan godaan bergelegar penuh gemuruh.
Perkenankan penulis alihkan perhatian ke topik lainnya. Beberapa orang mengira bahwa orang wali harus sakti. Dia bisa terbang, menghilang dan lain seragam. Beberapa orang pula mengira sukses itu kalau menjadi, seperti pejabat, dosen, pengusaha dan apa saja. Coba ini kita uji. Apa yang paling umat manusia butuhkan antara menterengnya tahta atau berfungsinya jasa? Seandainya Anda dipaksa memilih antara menjadi pejabat yang kerjaannya tidur saja atau menjadi pengemis yang banting tulang sedemikian parahnya, Anda pilih mana? Tentu Anda pilih pertama. Akan tetapi, apakah pilihan pertama yang dibutuhkan umat manusia? Anda pribadi barangkali membutuhkannya, namun orang lain jelas tidak butuh pejabat macam itu.
Di pihak lain, pengemis yang banting tulang memberi contoh nyata akan kinerja. Memang, pengemis juga meluangkan uang saku orang. Meski begitu, apalah arti uang yang diluangkan untuk pengemis tinimbang uang yang dihabiskan oleh pejabat yang kerjaannya tidur saja. Ini artinya akal sehat diam-diam mengidamkan kinerja, bukan tahta. Apabila kinerja menjadi damba, lalu bagaimana hubungannya dengan sukses?
Ambil: Beasiswa S2 dan Sertifikasi ke Mancanegara
Kinerja berarti keberlanjutan aktivitas. Kinerja adalah pergerakan. Secara gamblang, ini menunjukkan bahwa kunci sukses adalah konsistensi. Sukses tidak terlalu berpijak pada seberapa matang konsep, namun lebih butuh pada seberapa awet konsistensi. Pesantren-pesantren besar di Nusantara tidak dimulai dari konsep bergengsi ala sistem pendidikan masa kini. Visi-misi formal belum terpampang rapi, bahkan mungkin belum terbesit dalam benak pendiri. Para pendiri hanya melakukan lelaku sederhana, yaitu mengajar masyarakat awam akan dasar-dasar agama.
Mengajar tata cara salat, mengaji, dzikir, tatakrama dan tidak semewah program kerja pendidikan milenial. Akan tetapi, mengapa pengajaran sederhana mereka malah membuahkan hasil berupa bertahan dan berkembangnya pesantren rintisannya? Itu karena mereka konsisten. Perkara sederhana yang terlaksana secara konsisten akan menjelma capaian yang luar biasa. Dalam satu tarikan nafas dengan ini, Bruce Lee, aktor karate Holliwood asal Cina berucap, “Aku tidak gentar pada orang yang memiliki 1000 jurus, tapi aku gentar pada orang yang hanya punya 1 jurus, namun dilatih 1000 kali.”
Kesuksesan dan kemuliaan yang sesungguhnya tidak berkaca pada seberapa bergengsi capaian, namun seberapa setia bertahan. Tak ayal, ungkapan bijak Arab menyebutkan:
الاستقامة عين الكرامة
Istiqamah (konsisten) adalah kemuliaan itu sendiri.
Gampangnya, percuma mendulang banyak penghargaan, jikalau setelah itu yang bersangkutan merasa selesai. Kehormatannya yang sejati bukan saat menuai penghargaan, tapi saat dia tetap melanjutkan, bahkan mengembangkan usaha yang selama ini dia jalankan.
Jangan Menyesal Kalau Tidak Ini: Loker Jogja
Banyak pemuda berharap sukses, tapi hanya berbekal kemauan. Akhirnya, letupan semangat hanya berlaku saat memulai kegiatan. Lambat laun semangat pun pudar, sehingga kegiatan pun ditelan zaman. Tinggallah imajinasi bahwa dirinya telah menggapai kesuksesan. Sungguh miris dan mengiris. Ada pula yang memiliki tekad baja, sehingga berapi-api memulai rencana. Tak berselang lama, tekad baja berubah tekad krupuk. Di dalam plastik masih renyah, namun keluar plastik, menjadi layu. Sukses tidak terlalu butuh akan mau dan tekad, tapi lebih butuh konsistensi. Jauh-jauh hari, Nabi SAW berpesan:
أحب الأعمال إلى الله ما داوم عليه صاحبه
Amal yang paling Allah suka adalah yang dilaksanakan secara konsisten oleh pelakunya.
Konsisten adalah ketahanan. Ketahanan hanya diperoleh lewat penderitaan. Pasalnya, bertahan tidak bisa lewat lelaku hidup manja. Manja meniscayakan orang mendapat sesuatu tanpa usaha. Sementara itu, sukses tidak bisa dengan cara demikian. Keteguhan manusia mudah runtuh saat dia berada dalam zona nyaman. Mengapa para pendahulu bisa lebih hebat dari generasi milenial? Karena hiburan saat itu masih terbatas. Sensasi dan fantasi masih tersekat oleh jarak dan kesempatan. Sebaliknya, generasi masa kini sekali klik, maka semua kenikmatan keluar. Generasi yang terlatih manja takkan sanggup bertahan dalam proses. Sekali ada hiburan, segera dia tinggalkan pembelajaran. Pada masa kini, konsistensi masih ada, tapi hanya berlaku dalam mencari sensasi sebanyak-banyaknya. Akibatnya, konsistensi yang mulanya berupa potensi berubah menjadi aksi dan tak lama kemudian menjelma impotensi. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
1 komentar