ejogja.ID – Bantul, Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PWNU-DIY mengadakan Focus Group Discussion (FGD) Tahap I sebagai respons maraknya kekerasan di pesantren. FGD mengambil tema Model Pesantren Ramah Anak dan Perempuan. Kegiatan ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Kyapyak pada Ahad, 11 Agustus 2024. Diskusi melibatkan para gus dan ning yang mewakili pesantrennya masing-masing. Ini merupakan rangkaian kegiatan yang dirancang oleh tim perumus model pesantren ramah anak dan perempuan. Tim perumus terdiri atas Dr. Maya Fitria, M.Psi. dari ponpes Ali Maksum, Dr. Nurunniyah, M.Kes. dari ponpes An Nasyath, dan Dr. Lina, M.Pd. dari ponpes An Nur. Pada FGD Tahap I, para peserta mengungkap beberapa kekerasan yang ditemui di pesantren, penyebab serta kemungkinan solusi yang bisa diambil. Kekerasan di pesantren, tim FGD RMI PWNU DIY kuak penyebabnya.
Jangan Lewatkan: Peduli Kasus Kekerasan, RMI PWNU DIY Lakukan Konsolidasi Pengelola Pesantren se-DIY
Peserta FGD merupakan perwakilan para perumus kebijakan di pesantren. Hasil diskusi diharapkan benar-benar ditindaklanjuti dengan serius dan sustainable meskipun terjadi perubahan komposisi pengelola pesantren. Kegiatan diskusi berlangsung menarik, karena para peserta selain terjun langsung dalam pengelolaan pesantren, juga berasal dari latar belakang keilmuan yang beragam. Tak heran, kegiatan ini dilaksanakan selama lebih dari dua jam. Melalui diskusi aktif, terkuak bahwa kekerasan yang terjadi di pesantren bersumber dari banyak faktor, baik dari sisi internal maupun eksternal pesantren.
Dari sisi internal, relasi kuasa yang menjadi salah satu kultur di pesantren dan lembaga lain pada umumnya menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan. Ancaman dari pihak yang lebih superior atau memiliki kekuasaan lebih tinggi kepada pihak inferior mengakibatkan kekerasan. Di pesantren, kultur ini bisa terjadi karena adanya kekuasan yang lebih tinggi dari santri senior kepada yang lebih junior maupun kuasa dari keluarga pengasuh kepada santri, dan lain sebagainya. Kekerasan bisa menjadi lebih rentan terjadi jika fasilitas fisik maupun sistem mitigasi dan kurasi tindak kekerasan tidak memadai.
Jangan Lewatkan: PMB IIQ An Nur Yogyakarta TA 2024-2025
Berdasarkan fenomena tersebut, tim diskusi merekomendasikan perlu adanya edukasi kepada para civitas pesantren. Mereka adalah pengasuh, pengurus, santri, orang tua, dan wali santri. Pemberian edukasi kepada pengasuh meliputi sosialisasi aturan perundangan terbaru yang membahas tentang pesantren ramah anak, edukasi mengenai perkembangan mental dan psikologi santri termasuk kesehatan reproduksi, sehingga menjadi pengasuh yang lebih open minded. Edukasi yang diberikan kepada pengurus atau ustadz/ah meliputi aturan kepengasuhan santri, pemenuhan kebutuhan dalam pengasuhan. Selain itu, juga tentang esensi peran sebagai santri yang senior, sehingga membentuk pribadi pengelola yang siap mengasuh dan mengajar santri dengan baik. Edukasi kepada santri terkait adaptasi dan perkembangan remaja, esensi hubungan yang sehat antarteman, dan aturan tentang batasan benar dan salah dengan lebih detail.
Selain edukasi, perlu ada sistem mitigasi dan kurasi tindakan kekerasan. Sistem yang menyediakan layanan konseling serta pembentukan tim cepat tanggap dalam merespon gejala dan kejadian kekerasan. Tim diskusi menambahkan perlunya mengubah pendekatan pemberian hukum/takzir, yaitu dengan menerapkan prinsip ’koneksi sebelum koreksi’. Ini untuk memutus rantai kekerasan, karena hukuman dengan prinsip tersebut lebih bisa diterima santri dan menghindari dendam. Peran konselor, seperti psikolog profesional menjadi sangat penting untuk membantu penyelesaian permasalahan santri era sekarang. Jika sumber daya manusia yang ada terbatas, pesantren perlu bekerja sama dengan pihak eksternal seperti Puskesmas atau lembaga lain terdekat.
Jangan Lewatkan: Nasab Ba’alawi Putus? Ismael Amin Kholil Jotos Argumen dengan Imaduddin Utsman Al-Bantani
Selain faktor internal, terjadinya kekerasan di pesantren juga dari luar pesantren. Kebiasaan yang dilakukan serta nilai yang dianut santri sebelum masuk pesantren menjadi faktor utama. Perkembangan teknologi yang tidak digunakan sebagaimana mestinya, seperti seringnya mengakses video kekerasan atau konten lain saat di rumah. Hal ini ditengarai menumbuhkan kebiasaan dan membawa nilai buruk yang akan tumbuh subur di pesantren. Tidak hanya sulit diubah, kebiasaan ini bahkan bisa ’menular’ dengan cepat kepada santri lain. Oleh karena itu, perlu juga diberikan pemahaman kepada orang tua maupun wali santri. Ini untuk terus mengawal pembiasaan positif serta nilai-nilai kultur kepesantrenan yang baik saat para santri berada di rumah. Kesepahaman visi dan misi tentang tujuan mendidik anak di pesantren juga perlu dilakukan, supaya ikhtiar terjadi dari dua belah pihak.