Wafat Penuh Keajaiban

Ngaji1062 Dilihat

Kuswaidi Syafiie

Dalam kitab Nafahatul Unsi min Hadharatil Qudsi karya Mulla Nuruddin ‘Abdurrahman al-Jami dituturkan bahwa setelah Syaikh Dzunnun al-Mishri wafat di tahun 245 H, sesuatu yang menakjubkan kemudian terjadi dan disaksikan oleh orang-orang yang bertakziah dan mengantarkan jenazahnya ke pekuburan. Setelah dimandikan, dikafani, disalati dan kemudian siap diantarkan ke maqbarah, secara serentak datanglah ribuan burung aneh yang tidak pernah kelihatan dan tidak dikenal sebelumnya. Sedemikian banyaknya burung-burung itu sehingga seakan memenuhi angkasa, seperti rerimbunan daun-daun dari pohon raksasa yang menghalangi terik matahari dan menaungi orang-orang yang berkerumun di sekitar jenazah syaikh panutan itu.

Itulah salah satu dari karamah yang dianugerahkan Allah SWT kepada beliau. Makhluk tak berakal seperti burung-burung sekalipun digerakkan oleh hadiratNya untuk memberikan penghormatan yang terakhir terhadap orang yang menjadi kekasihNya. Betapa hal itu merupakan sesuatu yang penuh keajaiban.

Tidak berhenti di situ saja. Setelah Syaikh Dzunnun dukuburkan, keesokan harinya orang-orang yang berziarah ke kuburannya dikejutkan dengan adanya sebuah tulisan yang tertera sangat jelas di atas kuburannya itu: “Dzunnun habibullah, minasy syawqi qatilullah, (Dzunnun kekasih Allah, disebabkan oleh rindu dia mati karena Allah)”. Dan aneh, setiap kali ada orang yang menghapus tulisan yang sama sekali tidak mirip dengan tulisan manusia itu, maka tulisan tersebut akan muncul kembali sebagaimana semula. Sebuah kesaksian yang tidak terbantahkan terhadap kesalehannya di hadapan Allah swt.

Selain Wafat Penuh Keajaiban, Jangan Lewatkan Baca Juga: Cinta yang Irasional

Dengan adanya kemuliaan yang demikian, ada baiknya kita menelaah dengan penuh perenungan terhadap spiritualitas yang dikaruniakan Allah SWT kepada beliau. Pernah suatu saat Dzunnun al-Mishri mengungkapkan pengalaman ruhaninya: “Sudah saya tempuh tiga macam perjalanan rohani dan telah saya peroleh tiga macam ilmu. Pada perjalananku yang pertama saya memperoleh ilmu yang bisa diterima baik oleh orang awam maupun oleh orang yang istimewa (khawash). Pada perjalananku yang kedua saya memperoleh ilmu yang hanya bisa diterima oleh orang yang istimewa saja, tidak bisa diterima oleh orang awam. Pada perjalananku yang ketiga saya memperoleh ilmu yang tidak bisa diterima baik oleh orang awam maupun oleh orang yang istimewa sekalipun. Jadilah saya kemudian sebagai orang yang tersisihkan, terlempar dan sendirian.”

Menurut Syaikhul Islam ‘Abdullah bin Muhammad al-Anshari, ilmu yang diperoleh Dzunnun pada perjalanan spiritualnya yang pertama adalah ilmu tobat yang bisa diterima baik oleh orang yang istimewa maupun oleh orang awam. Ilmu tentang tobat ini jika direalisasikan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan akan mengantarkan seseorang tidak saja terhadap adanya kesanggupan untuk meninggalkan genangan dosa-dosa yang bacin dan kumal, akan tetapi juga akan menjadikan orang itu tidak tertarik lagi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang. Energi ruh yang merupakan cerminan dari kehadiran dan ridaNya menjadi dominan dalam diri seseorang itu, mengalahkan dan menyingkirkan kebengalan nafsu ammarah yang keji dan durja.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Pendidikan Madilog Episode Tiga

Ilmu yang diperoleh pada perjalanan spiritualnya yang kedua adalah ilmu tawakal yang hanya bisa diterima oleh orang yang istimewa, tidak oleh orang awam. Tentu saja yang dimaksud dengan tawakal dalam konteks kerohanian Dzunnun al-Mishri bukanlah tawakal yang lazim dipahami oleh orang-orang kebanyakan, yaitu menyerahkan segala ketentuan kepada Allah SWT setelah sebelumnya melakukan sejumlah ikhtiar dengan penuh keuletan, jerih-payah dan keikhlasan. Tawakkal dalam diskursus dan atmosfer spiritualitas kaum sufi adalah tarkul iktisab iktifaan bi musabbibil asbab, yaitu meninggalkan berbagai macam kasab atau ikhtiar secara lahiriah semata karena telah begitu kuat bersandar kepada Allah SWT sebagai satu-satunya pencipta segala ketentuan yang berkaitan dengan hukum kausalitas. Ini tidak bisa diterima orang-orang awam karena bagi mereka bekerja atau berusaha untuk mendapatkan rezeki adalah suatu keharusan.

Ilmu yang diperoleh pada perjalanan spiritualnya yang ketiga adalah ilmu hakikat yang tak mungkin tertanggungkan oleh kapasitas manusia, baik dari kalangan orang-orang yang istimewa maupun apalagi dari kalangan orang-orang awam. Yang dimaksud ilmu hakikat dalam wacana sufisme adalah bahwa dengan ilmu transendental itu seseorang akan menyaksikan Allah SWT hadir pada segala sesuatu, termasuk pada dirinya sendiri. Bahkan Rabbul ‘alamin itu lebih gamblang dan tampak dibandingkan dengan segala sesuatu. Lalu lenyaplah segala-galanya, yang secara hakiki ada hanyalah Allah SWT semata. Keberadaan yang lain hanyalah majaz atau simbol belaka. Itulah sebabnya kenapa Dzunnun al-Mishri jadi merasa tersisihkan, terlempar dan sendirian.

Klik Puisi Ibu D Zawawi Imron, Suara Asli Penyair Nasional Si Celurit Emas

Kekuatan menampung ilmu seperti itu tak lain adalah kekuatan Allah SWT yang dianugerahkan kepada siapa pun yang dikehendaki dari kalangan kekasih-kekasihNya, termasuk Dzunnun al-Mishri. Wallahu a’lamu bish-shawab.

 

Kuswaidi Syafiie, Penyair sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Jogjakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar