Mustahil Ada Kurikulum untuk Jujur

Esai, Literasi3688 Dilihat

Seputar Pendidikan #19

Aldi Hidayat

Jujur itu adalah watak bawaan manusia. Mengapa disebut demikian? Gampangnya, adakah orang yang mau ditipu? Jelas tidak ada. Adakah orang gembira menipu orang? Jawabannya bisa beraneka. Akan tetapi, mungkinkah seseorang menipu orang lain yang sama sekali tidak salah padanya, hanya mengharap informasi sederhana, hanya bercengkrama dalam bentuk basa-basi belaka, hanya mau menjalin keakraban antarsesama? Sangat mungkin seseorang itu tidak akan berbohong. Watak bawaan manusia adalah damai. Karena itu, betapa pun banyaknya permusuhan, pertikaian, bahkan peperangan, manusia selalu saja punya harapan untuk perdamaian. Di antara jalan utama menuju damai ialah tidak berbohong atau menipu orang. Jadi, jujur sebenarnya adalah watak bawaan manusia.

Dalam urusan sederhana, jujur mudah dilakukan. Akan tetapi, dalam situasi mencekam, jujur begitu susah diupayakan. Situasi mencekam dalam berbagai rupanya akan berujung pada satu kesamaan, yakni situasi yang mengancam diri sendiri. Di kala fisik terkekang, kehormatan terguncang, jabatan berada di ambang, reputasi hampir meregang, di situlah kejujuran adalah dilema yang membawa tegang. Di sanalah, integritas seseorang diuji; apakah dia berani untuk jujur atau bersilat lidah agar tidak tersungkur.

Jujur pada situasi inilah objek utama tulisan ini. Jujur dalam konteks inilah yang sukar dijamah oleh kurikulum, oleh pendidikan, oleh ceramah dan oleh apalah-apalah. Tak heran, Artidjo Alkostar, mantan Hakim Agung R.I., pernah bertanya ke rekan-rekan hakim di mancanegara, termasuk Eropa, negara yang kejujurannya jauh melambung di atas Indonesia, “Bagaimana cara mengajarkan kejujuran?” Mereka sepakat menjawab, “Jujur itu tidak bisa diajarkan. Ia hanya bisa dihidupkan.” Artidjo menambahkan saat wawancara dalam acara Mata Najwa, “Jujur itu tidak ada sekolahnya.”

Jangan Lewatkan Baca Juga: Pendidikan Madilog Episode Tiga

Nun jauh sebelum para hakim ini mengakui itu, Nabi SAW sudah mensinyalirnya melalui pesan beliau pada ‘Ali ibn Abi Thalib ra:

يا علي، اصدق، وإن كان يضرك في العاجل، فإنه ينفعك في الآجل. ولا تكذب، وإن كان ينفعك في العاجل، فإنه يضرك في الآجل.

‘Ali, jujurlah, karena meskipun itu membahayakanmu di dunia, ia pasti berguna bagimu di akhirat! Jangan bohong, karena sekalipun itu berguna bagimu di dunia, ia pasti membahayakanmu di akhirat!

Jujur adalah idaman, sekaligus ancaman. Memang benar pepatah berucap, “Takkan ada nahkoda hebat yang lahir dari lautan yang tenang”. Wejangan tentang jujur membeludak di mana-mana, namun begitu langka orang yang berani jujur dalam keadaan paling berbahaya. Dalam satu tarikan nafas dengan ini, pepatah Inggris berbunyi, “Too many chiefs, not enough Indians“: terlalu banyak kepala suku, namun tidak cukup orang Indian. Suku Indian adalah penghuni pertama benua Amerika. Akan tetapi, fokus tulisan ini adalah maksud pepatah tadi. Orang yang berlagak pemimpin dan mempromosikan kejujuran melimpah, namun orang yang menjadikan jujur sebagai laku hidupnya begitu susah. Mengapa sedemikian susahnya?

Jangan Lewatkan Ambil: Beasiswa Dalam dan Luar Negeri

Karena kejujuran tidak bisa diajarkan layaknya materi sekolah dan kuliah. Apabila dipersenkan, sekolah dan kuliah hanya menyumbangkan sekitar 30% bagi kesuksesan, sedangkan selebihnya ditentukan oleh diri sendiri. Betapa banyak pembangun peradaban bermuasal dari mereka yang sekolahnya tidak mentereng, bahkan dikeluarkan dari sekolahnya. Ini bukan bermaksud merendahkan lembaga pendidikan.

Ini adalah penegasan betapa kesuksesan orang sangat bergantung pada tekad yang dia perjuangkan. Demikian pula dengan jujur. Ia teramat sukar–bila enggan disebut mustahil–dibuatkan kurikulum. Bagaimana merancang mata pelajaran yang efektif menumbuhkan kejujuran dalam diri pelajar, wong jujur adalah urusan privat? Manusia dalam kacamata Erving Goffman, pemikir sosial, selalu berlelaku dramaturgis. Tak ubahnya drama yang memiliki layar dan di balik layar, manusia pun juga demikian. Saat bergaul dengan sesama, manusia akan mempermak dirinya sedemikian rupa. Namun saat sendirian, di situlah kepribadian aslinya akan mengemuka. Bagaimana bisa kita merancang kurikulum yang bisa menjangkau ruang privasi manusia? Pada ruang privasi inilah, manusia berpotensi merancang rencana gelap yang bertolak belakang dengan tampilannya saat bersama orang lain.

Cari Info Kerja Daerah Jogja? Loker Jogja Terlengkap

Jujur tidak terlalu membutuhkan kecerdasan intelektual. Ia lebih membutuhkan keberanian. Keberanian dicapai melalui kematangan spiritual. Sebenarnya, manusia akan berani, saat ada yang diandalkan. Hampir mustahil ada orang yang berani melangkah dengan tangan kosong. Pebisnis misalnya begitu berani menginvestasikan kekayaannya sedemikian besarnya, padahal potensi rugi jelas terpampang di depan mata. Mengapa masih berani? Karena dia punya strategi menghadapi kerugian. Adakah dia berani berinvestasi gila-gilaan, sedangkan dia sama sekali tidak berbekal pengetahuan tentang cara menangani kerugian? Mungkin saja, namun jelas itu sangat langka, bahkan mustahil adanya. Jadi, keberanian tidak bisa dilepaskan dari adanya sesuatu yang bisa diandalkan.

Pertanyaannya, apa yang bisa diandalkan guna memperjuangkan kejujuran, bahkan pada situasi yang mematikan? Andalan paling bisa dimiliki manusia adalah dirinya sendiri. Seberapa yakin dan optimis dia akan kemampuan dirinya itulah yang menentukan keberaniannya. Seberapa berani dia, itulah penentu kejujurannya. Bagaimana menumbuhkan berani?

Penulis tidak akan menjabarkan langkah-langkahnya. Penulis hendak menunjukkan betapa pendidikan masa kini susah mencetak generasi yang jujur. Ada apa gerangan? Sebagaimana telah disebutkan di muka, modal utama jujur adalah berani. Berani hanya bisa ditempa dalam keadaan tidak nyaman, menegangkan, menguji mental dan intinya jauh dari kesan manja. Sementara itu, pendidikan masa kini menghidangkan berbagai kemudahan. Pelajar dibiasakan dalam kondisi nyaman. Pada gilirannya, susah menumbuhkan mental pemberani dalam diri mereka. Keadaan susah akan melahirkan generasi pemberani dan tangguh. Sebaliknya, keadaan mudah akan mencetak generasi cengeng dan rapuh. Karena itu, tidak berlebihan dikata betapa kurikulum untuk jujur itu mustahil. Demikian. Wallahu A’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *