
ejogja.ID | Untuk menyambut kehadiran buku Agama Faktual: Pertarungan Wacana dan Dinamika Sosiologis Jemaat Ahmadiyah di Indonesia yang ditulis oleh Dr. Mochamad Sodik dan Bernando J. Sujibto, Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs), UIN Sunan Kalijaga mengadakan dua agenda sekaligus di Gedung Kuliah Terpadu UIN Sunan Kalijaga pada Kamis (27/02). Pertama, seminar nasional bertajuk “100 Tahun Ahmadiyah di Indonesia: Meneguhkan Toleransi dan Perdamaian bagi Semua”. Kedua, bedah buku yang merupakan karya pertama dari dua buku yang dirancang terbit sebagai pengembangan dan elaborasi atas disertasi Dr. Mochamad Sodik yang berjudul Melawan Stigma Sesat: Strategi JAI Menghadapi Takfiri (2015). Disertasi ini dipertahankan di depan sidang penguji Jurusan Sosiologi UGM. Meskipun berdasar pada naskah disertasi, elaborasi data, fakta, dan diskusi dalam buku tersebut berkembang berdasarkan riset-riset terbaru yang dilakukan bersama Bernando J. Sujibto, dosen dari Prodi Sosiologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Momentum terbitnya buku ini bersamaan dengan 100 Tahun Ahmadiyah di Indonesia, sehingga ISAIs berinisiatif untuk membangun kerja sama dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk mengadakan diskusi publik. Hal ini untuk membuka ruang diskursus akademik tentang dinamika Ahmadiyah di Indonesia. Kiprah dan sepak terjang Ahmadiyah yang sudah berusia 100 tahun di Indonesia. Ini sangat patut didengar dan dipelajari, terutama dalam konteks membangun keindonesiaan yang damai dan harmoni bagi perbedaaan.
Jangan Lewatkan: Kader PDIP Ditarik Dari Retreat, Gus Hilmy: Ini Menghambat Pembangunan Daerah
Acara seminar nasional diisi oleh perwakilan dari pengurus besar JAI, Haryana Soeroer, Marzuki Wahid, dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, dan Gugun El Guyanie, kaprodi HTN UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ketua panitia, Bernando J. Sujibto, menilai ketiga narasumber sudah sangat representatif untuk membicarakan sepak terjang 100 Tahun Ahmadiyah di Indonesia.
“Haryana Soeroer adalah tokoh dari Ahmadiyah yang dapat memberikan pandangan tentang jemaat ini kepada publik. Untuk memberikan konteks dalam konteks gerakan keagamaan, Marzuki Wahid, dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, saya kira sangat kompeten. Terakhir, sebagai dosen hukum yang vokal dan mempunyai perhatian serius soal konstitusi, kami hadirkan Gugun El Guyanie untuk mengelaborasi terkait Ahmadiyah dalam konstelasi hukum dan konstitusi,” jelas Bernando J. Sujibto.
Sebagai narasumber perwakilan dari pengurus besar JAI, Haryana Soeroer menyampaikan agar para pemimpin negara dapat memahami makna perdamaian. Untuk itu, pemerintah sudah semestinya memahami secara mendalam mengenai keberagaman. Semua ini harus menjadi kesadaran sejak dari elit pemerintahan demi menjaga perdamaian untuk semua warga negara Indonesia.
Jangan Lewatkan: Maklumat BEM PTNU DIY
Hal itu karena narasi dan berita-berita terkait Ahmadiyah masih didominasi oleh kekerasan, diskriminasi dan persekusi. Padahal, gerakan toleransi menjadi keniscayaan yang tidak bisa dilalaikan oleh masyarakat Indonesia. Karena demikian, langkah-langkah konkret sangat dibutuhkan untuk menjaga kedamaian di antara banyak aliran keagamaan di Indonesia.
“Toleransi adalah ruh kehidupan. Negara yang tidak memiliki toleransi itu akan memunculkan benih-benih kehancuran. Toleransi itu bukan hanya sekadar memahami dan menyadari akan tetapi menghargai hak orang lain untuk memilih kepercayaan masing-masing. Tidak ada yang salah dari perbedaan tetapi orang orang yang tidak mengakui (toleransi ) itulah yang salah,” tegas Marzuki Wahid.
Sementara itu, Gugun El Guyanie secara komprehensif menceritakan tentang betapa negara Indonesia tidak bisa lepas dari hal ihwal agama. Baginya, posisi Indonesia saat ini sudah tepat dengan tidak menganut sistem sekuler maupun negara agama (teokrasi). Karena, agama bagi masyarakat sudah identik. Kebutuhan bangsa adalah bagaimana menjaga dan menghormati hak-hak konstitusional warga negara. Ini demi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
“Sidang Konstituante menjadi rumit dan penuh perdebatan karena ada terma agama di dalamnya sulit terbentuknya kesepakatan. Artinya, problem agama dalam negara memang bukan hal yang mudah. Untuk itu, karena kompleksitas demikian, negara harus punya kekuatan untuk menjamin dan menjaga hak-hak warga negara sesuai dengan koridor hukum,” tandas Gugun.
Jangan Lewatkan: Forum Internasional Lintas Parlemen Resmi Dibentuk, Kaisar: Solusi Permasalah Global
Sebagai ketua panitia, Cak Bje, sapaan akrab Bernando J. Sujibto, menilai bahwa acara ini sepenuhnya adalah perayaan atas terbitnya buku Agama Faktual: Pertarungan Wacana dan Dinamika Sosiologis Jemaat Ahmadiyah di Indonesia yang diterbitkan oleh Cantrik Pustaka. “Hadirnya buku ini bisa menjadi ruang literasi yang terbuka secara lebar untuk menyelami pengetahuan tentang Ahmadiyah yang diteliti dan ditulis secara akademis. Tujuannya adalah agar masyarakat semakin terbuka. Kita membaca dan mempelajarinya sendiri tanpa mempunyai pretensi, apriori dan klaim tidak mendasar terlebih dulu,” ungkap Cak Bje.
Seminar ini menjadi momentum untuk belajar secara langsung kepada Amir dan para ahli gerakan Ahmadiyah. Misi perdamaian Ahmadiyah terkenal dengan semboyan: peace for all hatred for none menegaskan secara kasat mata bagaimana Ahmadiyah merawat toleransi dan perdamaian bagi semua. Semangat perdamaian dan persaudaraan ini juga tercermin dari kiprah Ahmadiyah di Indonesia yang sudah berusia seratus tahun. Untuk itu, trejektori Ahmadiyah selama satu abad di Indonesia sebagai bagian dari organisasi keagamaan yang mampu bertahan dan berkarya bagi Indonesia.