Pameran “Wes Dho Mangan Durung?” dari Luddy Astaghis: Bukan Sekadar Makan

Esai, Literasi1430 Dilihat
Pameran Wes Dho Mangan Durung dari Luddy Astaghis Bukan Sekadar Makan
Wajan Penguripan (Keseluruhan)

Reno Octa Achmad Fauzi

Manganturumanganturumanganturu…”, begitulah kata yang sering kali terlontar kepada seseorang yang kebiasaannya tampaknya—tampaknya, lo ya—hanya berkutat pada memenuhi makan dan tidurnya baik sebagai kebutuhan hidup minimalnya maupun hasrat dangkalnya, hingga pada titik bahwa ia setidaknya menyia-nyiakan akalnya sebagai seorang manusia. Ironisnya, dibalik kegiatan yang pertama, yaitu ‘makan’, ada beragam konteks yang bisa dihubungkan dengan kemanusiaan, baik personal, sosial, maupun politik. Beberapa konteks tersebut dicurahkan dalam sebuah pameran tunggal dari Luddy Astaghis, “Wes Dho Mangan Durung?” (bahasa Jawa dari “Sudah Pada Makan Belum?”), yang diselenggarakan di Jogja Gallery mulai dari tanggal 10 hingga 25 Januari 2024 (tanggal 10 khusus tamu undangan).

Pameran tersebut berisi 16 karya yang beragam, mulai dari ilustrasi berbahan cat akrilik, patung, hingga instalasi menggunakan media campuran (mixed media), dan ditujukan untuk menunjukan subjek yang sedikit terselubung dari perihal makanan, termasuk ritual, kepentingan, maupun dilema di dalamnya. Menurut salah satu gallery sitter bernama Mas Anca, karya-karya tersebut dirancang oleh Luddy menyesuaikan dengan ruang pameran Jogja Gallery, dan Luddy pun ikut langsung memantau dan menginstruksi proses pemasangan karya-karyanya.

Jangan Lewatkan: Promo Calon Guru Melenial PMB UAD 2024

Ketika memasuki pameran, yang harga tiket masuknya dibanderol Rp. 20.000, pengunjung akan mulai ‘dihidangkan’ dengan dua karya, “Bancakan” dan “Tanda Garis Urip”. “Bancakan” merupakan sebuah karya berbentuk bentangan tirai yang mencembung (tirai berukuran 160 x 800 cm) yang disinari dari balik tirai untuk menampilkan apa yang ada di sana, baik lukisan maupun potongan bentuk. Bentuk-bentuk tersebut berkaitan dengan peringatan kelahiran bernama bancakan itu sendiri, yang berupa pembagian nasi uduk dan lauk kepada masyarakat di sekitarnya. Sementara itu, “Tanda Garis Urip” menrupakan sebuah rangkaian yang terdiri dari tiga ilustrasi cat akrilik pada media kain baby ripstop (225 x 150 cm, 135 x 230 cm, 190 x 145 cm) dan menceritakan tiga titik kehidupan (kelahiran, pernikahan, kematian) yang prosesinya hampir selalu melibatkan kegiatan makan-makan.

Lebih jauh namun masih di ruang yang sama dengan “Bancakan” dan “Tanda Garis Urip”, ada sebuah karya instalasi (non-interaktif) mixed-media bernama “Wajan Penguripan”. Dalam karya tersebut, tiga wajan bekas milik istri Luddy mengambil peran layaknya matahari yang menemani dan menyinari kehidupan karakter-karakter di sekitarnya, dan satu wajan lagi digambarkan menuangkan isinya untuk menggarisbawahi poin dari karya tersebut: keempat wajan tersebut menjadi saksi bisu dari usaha Luddy dan istrinya untuk memberi makan dan membantu menghidupi kehidupan baik keluarga mereka sendiri, maupun konsumen-konsumen dari warung soto Pak Muh milik istrinya—dan ilustrasi Luddy pada panci-panci tersebut mengubah apa yang mereka saksikan dari tersirat menjadi tersurat.

Jangan Lewatkan: KKN Posko Kapingan Adakan Islamic Motivation Training, Maghfur MR: Pendidikan adalah Investasi Masa Depan

Dan panci-panci tersebut bukanlah satu-satunya penerima penghargaan (dalam arti ‘menghargai’) dalam pameran tersebut. Pameran “Wes Dho Mangan Durung?” juga menampilkan sebuah rangkaian karya dengan judul yang sama dengan nama pamerannya, yang berupa lima ilustrasi cat akrilik pada media kain baby ripstop (masing-masing 140 x 105 cm) tentang perhatian dari orang tua—atau siapapun dengan usia, derajat, atau keadaan finansial yang lebih tinggi—terhadap orang lain yang dianggap (mohon maaf) lebih rendah derajatnya. Ada juga beberapa patung yang didedikasikan untuk beberapa jenis orang termasuk petani, juru masak, dan juga ibu dari Luddy yang bernama Sukiyanti (juga nama dari sebuah patung resin, 146 x 65 x 65 cm).

Pameran “Wes Dho Mangan Durung?” memiliki kemiripan dengan salah satu pameran sebelumnya dari Luddy Astaghis yang bernama “Bakulan” (bahasa Jawa dari “Jualan?” menurut kompas.id. Kedua pameran memiliki gaya ilustrasi dan patung yang kebanyakan sama, dan kedua pameran juga berangkat dari kehidupan sehari-hari dan tema yang tampak ‘biasa’ ketimbang topik yang lebih formal atau ‘intelek’. Penggambaran tema dalam setiap karya juga cukup jelas, dan tulisan-tulisan yang tertera pada beberapa karya (terutama karya ilustrasi) yang juga diambil dari kehidupan sehari-hari memperjelas tema-tema tersebut lebih jauh. Pada akhirnya, pameran “Wes Dho Mangan Durung?” setidaknya menerangi, jika tidak menelaah lebih dalam lagi, beberapa subtopik yang seringkali ada namun tidak terpikirkan dalam kehidupan masyarakat karena saking biasanya topik utama yang dikelilinginya.

Penulis berterima kasih pada  Luddy Astaghis, Jogja Gallery, Yaksa Agus, Puji Qomariyah, S. Dwi Stya Acong, Yaksa Agus, serta dua gallery sitter bernama Mas Anca dan Mbak Cetta untuk membantu memperjelas pengertian-pengertian dari setiap karya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *