Abdulrazak Gurnah
TULISAN SELALU MENJADI suatu kesenangan. Bahkan sewaktu seorang bocah sekolah saya menanti-nantikan saat masuk kelas menepikan diri demi menulis sebuah cerita, atau apa pun yang guru-guru kita kira akan menarik perhatian kita, lebih dari kelas lain apa pun pada jadwal. Lantas siapa saja akan tercenung dalam diam, menyandar miring pada bangku mereka meraih kembali hal berharga yang dilaporkan dari kenangan dan khayal. Dalam upaya remaja ini, tidak terdapat hasrat untuk mengatakan sesuatu secara khusus, untuk mengingat suatu pengalaman berkesan, untuk mengungkapkan suatu opini yang diyakini betul-betul atau menyuarakan keluhan. Tidak pula upaya ini menyaratkan pembaca lain siapa pun daripada guru itu yang mendorong mereka seakan suatu penataran dalam meningkatkan keahlian penalaran kita. Saya menulis sebab saya diperintahkan untuk menulis, dan sebab saya menemukan sejenis kesenangan saat menjalankannya.
Bertahun-tahun kemudian, ketika saya sendiri seorang guru di suatu sekolah, saya mendapati pengalaman ini dalam kebalikannya, ketika saya mendudukkan diri di suatu ruang kelas yang hening sembari anak-anak didik terpaut dengan pekerjaan mereka. Hal ini mengingatkan saya akan sebuah sajak dari D. H. Lawrence yang akan saya kutip beberapa barisnya sekarang:
Baris-baris dari “Yang Terbaik dari Sekolah”
Saat aku duduk di tepian kelas ini, sendirian,
Menonton bocah-bocah dalam balutan blus musim panas
Tatkala mereka menulis, kepala bundar mereka sibuk menunduk:
Dan satu demi satu mengangkat
Raut muka mereka menatapku,
Menimbang dengan sangat tenang,
Seakan tampaknya, ia tidak melihat.
Dan kemudian ia melengos lagi, dengan sedikit, rasa senang
Getar akan pekerjaannya ia melengos lagi dariku,
Karena telah menemu apa yang ia inginkan, telah mendapat apa yang
jadi miliknya.
(“The Best of School”
As I sit on the shores of the class, alone,
Watch the boys in their summer blouses
As they write, their round heads busily bowed:
And one after another rouses
His face to look at me,
To ponder very quietly,
As seeing, he does not see.
And then he turns again, with a little, glad
Thrill of his work he turns again from me,
Having found what he wanted, having got what was to be had.)
Kelas menulis yang tengah kubicarakan dan dengan puisi ini mengenangnya, tidak tertulis seperti kemunculannya kemudian. Tidak digiring, dipandu, bersusah payah, dikelola tanpa akhir. Dalam upaya remaja ini saya menulis dalam satu garis lurus, jadi berbicara, tanpa banyak keraguan atau ralat, dengan kemurnian sesungguhnya. Saya juga membaca dengan sejenis penelantaran, sama halnya tanpa panduan apa pun, dan saya tidak tahu pada waktu itu betapa terhubung akrab kegiatan ini. Terkadang, saat tidak lagi perlu untuk bangun awal guna berangkat ke sekolah, saya membaca hingga larut malam sehingga ayah saya, yang dirinya sendiri merupakan sesuatu tentang seorang insomniak, memaksakan mendatangi kamar saya dan meminta saya memadamkan lampu. Anda tidak bisa mengatakan padanya, bahkan jika Anda memiliki keberanian, bahwa ia masih terjaga dan mengapa hendaknya Anda jangan, sebab bukanlah bagaimana Anda berkata pada ayah Anda. Dalam banyak kejadian, ia melakukan situasi insomnianya dalam gelap, bersama lampu yang padam sehingga seakan tidak ingin mengganggu ibu saya, jadi perintah untuk memadamkan lampu masih akan memiliki pijakan.
Tulisan dan bacaan yang datang kemudian dibandingkan secara tertib dengan pengalaman sembarang dari masa muda, tapi tidak pernah lenyap menjadi suatu kesenangan dan selamanya merupakan perjuangan keras. Perlahan, walau, ia menjelma sejenis kesenangan berbeda. Saya tidak menyadari hal ini sepenuhnya sampai saya tinggal di Inggris. Di sanalah, dalam kerinduan dan di tengah-tengah nelangsa suatu kehidupan asing, hingga saya mulai merenungkan banyak hal yang tidak saya anggap sebelumnya. Di luar jangka waktu tersebut, yang menjurai masa kemiskinan dan keterasingan, hingga saya beranjak membuat sejenis tulisan berbeda. Menjadi lebih terang bagi saya bahwa terdapat sesuatu yang saya butuhkan untuk berkata, bahwa terdapat suatu tugas yang mesti dituntaskan, sesal dan keluhan dihela dan direnungkan.
Dalam contoh pertama, saya merenungi pada apa yang telah saya tinggalkan saat penerbangan gagah-gagahan dari rumah. Suatu kecamuk yang dalam mengecil pada kehidupan kami di pertengahan tahun 1960-an, yang benar dan salahnya disamarkan oleh kekerasan yang mengiringi perubahan yang menghasilkan revolusi di tahun 1964: penahanan, hukuman mati, pengusiran, dan hinaan serta aniaya besar kecil yang tak berakhir. Di tengah-tengah dari peristiwa ini dan dengan perasaan seorang remaja, tidaklah mungkin berpikir jernih mengenai imbas bersejarah dan arkian akan apa yang tengah terjadi.
Hanya di tahun-tahun pertama saya tinggal di Inggris yang saya mampu merenungkan suatu persoalan, mendiami kekurangajaran atas apa yang kita sanggup membebani satu sama lain, mengunjungi kembali dusta dan delusi yang dengannya kita menyenangkan diri kita sendiri. Riwayat kita terpisah, bergeming dari berbagai kekejaman. Politik kita rasial, dan mengarah langsung pada perundungan yang diikuti dengan revolusi, ketika para ayah dihabisi di depan anak mereka dan gadis-gadis diperkosa di depan ibu mereka. Karena hidup di Inggris, nun jauh dari peristiwa ini meski sungguh-sungguh digelisahkan oleh mereka dalam benak saya, bisa jadi saya kurang cakap melawan kekuasaan atas sejenis kenangan daripada jika saya berada di antara orang-orang yang masih tengah menjalani konsekuensi mereka. Namun saya juga digelisahkan oleh kenangan lainnya yang tidak bertalian dengan peristiwa ini: orang tua lalim yang mendera anak mereka, cara orang-orang ditampik untuk berekspresi penuh sebab dogma masyarakat atau gender, ketimpangan yang menoleransi kemelaratan dan ketergantungan. Inilah persoalan-persoalan dalam segenap kehidupan manusia saat ini dan tidak terkecuali bagi kita, tapi mereka tidak selalu menghantui pikiran Anda hingga keadaan meminta mewaspadainya. Saya menduga inilah salah satu beban orang-orang yang telah melarikan diri dari suatu trauma dan mendapati diri mereka hidup sentosa, jauh dari yang tertinggal. Akhirnya saya mulai menulis tentang sejumlah renungan ini, bukan dalam suatu jalan tertib atau terkelola, belum, semata demi kelegaan atas sedikit penjelasan sejumlah kebingungan dan ketidakmenentuan dalam pikiran saya.
Pada waktunya, walau, menjadi genah[1] bahwa sesuatu yang demikian mengguncang tengah terjadi. Satu hal baru, sejarah yang lebih ringkas tengah dibangun, perpindahan dan bahkan pemusnahan apa yang telah terjadi, menyusunnya kembali guna menyesuaikan beragam saat. Sejarah baru dan lebih sederhana ini bukanlah semata karya para juara yang tak dapat dielakkan, yang senantiasa bebas membangun suatu cerita dari pilihan mereka, tapi pula menyesuaikan dengan para juru ulas dan sarjana dan bahkan penulis yang tidak memiliki ketertarikan nyata pada kita, atau tengah memandang kita lewat sebentuk bingkai yang bersetuju dengan pandangan mereka tentang dunia, dan yang meminta cerita akrab akan kemajuan dan emansipasi rasial.
Menjadi perlu kemudian untuk menampik sejenis sejarah, satu hal yang mengacuhkan bahan-bahan bendawi yang memberi kesaksian terhadap suatu masa lebih awal, bangunan, pencapaian, dan kelembutan yang telah menjadikan kehidupan mungkin. Bertahun-tahun kemudian, saya berjalan melintasi jalanan dari kota tempat saya tumbuh di dalamnya dan menyaksikan penurunan hal-hal dan tempat dan orang-orang, yang hidup beruban dan ompong dan dalam rasa takut akan kehilangan kenangan masa silam. Menjadi perlu untuk mengupayakan suaka atas kenangan tersebut, untuk menuliskan tentang apa yang ada di sana, untuk menemukan kembali saat dan kisah yang orang-orang hidupi dan darinya mereka memahami diri mereka sendiri. Perlu guna menuliskan tentang perundungan dan kekejaman yang tahniah diri dari penguasa kita berusaha untuk menghapus sejak kenangan.
Terdapat juga pemahaman lain akan sejarah yang perlu dialamatkan, sesuatu yang menjadi lebih terang bagi saya ketika tinggal lebih dekat pada sumbernya di Inggris, lebih terang daripada yang terjadi selagi saya tengah menjalani pendidikan tanah jajahan saya di Zanzibar. Kita adalah, yakni generasi kita, anak-anak zaman penjajahan dalam suatu cara yang orang tua kita bukanlah dan juga bukan mereka yang datang sesudah kita, atau sedikitnya tidak berada di satu jalan yang sama. Dengan hal itu saya tidak mengartikan bahwa kita terasingkan dari hal-hal yang orang tua kita nilai atau bahwa mereka yang datang setelah kita dibebaskan dari pengaruh penjajahan. Saya maksudkan bahwa kita tumbuh dan dididik dalam kurun waktu dari keyakinan menjajah yang tinggi, setidaknya di bidang dunia kami, ketika penguasaan menyamarkan jati dirinya dalam eufemisme dan kita bersetuju terhadap dalih itu. Saya mengacu pada kurun waktu sebelum gerakan dekolonisasi menapakkan jejak mereka melintasi kawasan dan menarik perhatian kami terhadap pembinasaan aturan penjajahan. Mereka yang datang sesudah kita memiliki kekecewaan pascapenjajahan sendiri dan delusi mereka sendiri untuk menghibur mereka, dan barangkali tidak melihat dengan jelas, atau dengan kedalaman yang sungguh cukup, suatu cara yang di dalamnya perjumpaan penjajahan telah mengubah kehidupan kami, sehingga korupsi dan kesemrawutan kami dalam sejumlah ukuran juga bagian dari warisan jajahan tersebut.
Beberapa pokok ini menjadi lebih jelas bagi saya di Inggris, bukan sebab saya menemui orang-orang yang menjernihkannya untuk saya dalam wawancara atau di ruang kelas, tetapi sebab saya memperoleh suatu pemahaman lebih baik tentang bagaimana seorang seperti saya dibayangkan dalam beberapa cerita mereka tentang mereka sendiri, baik dalam tulisan mereka ataupun dalam wacana biasa, dalam riuh rendah yang disambut lelucon rasis di televisi dan di mana-mana, permusuhan yang tak dibuat-buat yang saya temui dalam perjumpaan harian di warung, di kantor, di dalam bus. Saya tidak mampu berbuat apa pun mengenai tanggapan itu, tetapi sama halnya saya belajar membaca dengan pemahaman lebih luas, maka suatu hasrat tumbuh untuk menuliskan dalam tampikan atas kepastian diri meringkas tentang khalayak yang merendahkan dan mengecilkan kita.
Namun tulisan tidaklah semata perihal pergulatan dan polemik, betapapun menyegarkan dan melenakan jadinya. Tulisan bukanlah tentang satu perkara, bukan tentang soal ini dan itu, atau mengenai hal ini atau lainnya, dan semenjak sangkut pautnya adalah kehidupan manusiawi dalam satu cara atau lainnya, lambat laun kekejian dan welas asih dan kepayahan menjadi bahannya. Saya yakin bahwa tulisan juga harus mempertontonkan apa yang bisa jadi sebaliknya, apa yang merupa mata tak mampu melihat penguasaan penuh, apa yang membuat orang-orang, berperawakan kecil secara kasatmata, merasa terjamin dengan diri mereka sendiri tanpa menghiraukan akan penghinaan dari yang lain. Jadi saya menemukan hal itu perlu untuk menuliskan tentangnya pula, dan guna melaksanakan dengan begitu penuh rasa percaya, sehingga baik keliaran maupun kebajikan merembes, dan kemanusiawian menyembul dari penyederhanaan (simplification) dan buah bibir (stereotype). Saat hal itu bekerja, sejenis keindahan muncul darinya.
Dan cara pandang tersebut mencipta ruang bagi keburukan dan kepayahan, bagi kelembutan di antara kekejian, dan bagi suatu kecakapan dalam keramahan atas penelantaran muasal. Karena alasan inilah maka tulisan telah menjadi suatu hal berfaedah bagi saya dan mencerap anasir kehidupan saya. Terdapat anasir lain, tentu saja, tapi mereka bukanlah perhatian kita pada kesempatan ini. Dengan sejumput keajaiban, bahwa kenikmatan masa remaja dalam menulis yang telah saya katakan di permulaan masih berada di sana usai puluhan tahun.
Izinkan saya mengakhiri dengan mengungkapkan syukur terdalam saya kepada Akademi Swedia karena menganugerahkan kehormatan hebat ini pada saya dan pada karya saya. Saya sungguh berterima kasih. (*)
Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Rudiana Ade Ginanjar. Diperoleh dari: “Writing”, pidato penganugerahan Hadiah Nobel Sastra 2021 Abdulrazak Gurnah.
[1] Paham; mengerti. (Jw.)