Montorna Dusun yang Melarat

Esai1991 Dilihat
Montorna Dusun yang Melarat
Salah satu jalan desa Montorna Pasongsongan Sumenep

Muafiqul Khalid MD

Terhitung sejak dari 2011 saya meninggalkan Montorna. Menuju kota pendidikan bernama Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah strata satu. Sejak saat itu pula saya, ke Montorna, Sumenep Madura hanya pulang sebentar. Sangat sebentar.

Tiba-tiba teringat puisi saudara sendiri jika menulis frase seperti “Ke Madura Pulang Sebentar”—frase yang sesuai dengan kondisi saya saat ini. Saya kutipkan puisinya di sini agar dibaca juga.

Ke Madura Pulang Sebentar

Di Madura aspal makin hitam saja

jalan-jalan lebih terjal. Lantak-lantak

siapa yang telah memerah habis manis sari mayangmu?

Lautan diam

mataku karam

Tiba-tiba Aceh dan Yahukimo

bergantian melambaikan tangan

memahat bebukit ranggas di mataku

[Bernando J. Sujibto-Madura-Yogyakarta, 2006]

Pada akhirnya saya tidak bisa pulang juga ke Montorna. Karena pertalian jodoh, tidak bisa tidak, saya harus menjadi warga daerah lain. Montorna, Sumenep Madura tidak lebih adalah ingatan panjang di masa lalu, kini, dan masa depan.

Jangan Lewati: Sajak-sajak Muhmmad  Ali Fakih

Ah… Montorna yang malang. Dusun yang ditinggal pergi orang-orangnya. Dusun yang sepi, sunyi, dan bobrok kesejahteraan masyarakatnya. Karena jika bertahan di sana sama dengan menggali lubang sendiri.

Jawaban atas pertanyaan, mengapa saya tidak pulang lagi setelah kuliah, belajar, dan segala macam di luar, telah lama tersimpan rapi di kepala saya. Selain karena pertalian jodoh, jawaban atas pertanyaan itu telah lama saya rapikan dalam kilas balik perjalanan kecil dari orang kecil macam saya ini.

Mengapa saya tidak pulang dan membangun Montorna?

Jauh dalam ingatan saya, sejak mondok, pesan keluarga adalah belajar yang rajin. Sekolah yang tinggi. Carilah pengalaman sebanyak-banyaknya di luar sana. Jangan sampai seperti saya, melarat mencari modal bertani, susah mencari pupuk, dan hasil panennya “sering” dikibulin tengkulak.

Lain lagi dengan kondisi Montorna yang tidak pernah berubah. Boro-boro ada lampu jalan, seingat saya, tiang listrik baru masuk pada 2018 silam. Dulu kami belajar mengaji dan membaca pengetahuan umum dengan lampu teplok. Ah…masa lalu itu akan terus diingat hinggat menjadi mayat.

Pesan keluarga besar itu selalu hidup dalam diri saya. Tentu banyak saudara-saudara saya yang keluar dari Montorna dan melanjutkan belajar di berbagai kota. Dan sekarang mereka pun tidak pulang. Mengapa tidak pulang? Mengapa tidak mengabdi di Montorna?

Jangan Lewati: Jalan di Lampung Banyak Lubang, Gus Hilmy: Pengawasan Pemerintah Pusat Kurang

Saya tidak bisa pulang karena terkait dengan wawasan dan jurusan yang dipilih semenjak kuliah di strata satu. Yakni jurusan yang jauh dari tipologi masyarakat Montorna. Menekuni bidang sosial humaniora macam saya tidak begitu berarti dihadapan masyarakat Montorna yang pekerjaan utamanya adalah bertani.

Saya kuliah dan belajar bukan dalam rumpun Agronomi, Akuakultur, Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, Ilmu Tanah, Manajemen Sumberdaya Akuatik, Mikrobiologi Pertanian, Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Proteksi Tanaman, dan Teknologi Hasil Perikanan, yang dibutuhkan masyarakat Montorna. Melainkan saya kuliah dengan jurusan Studi Agama-agama.

Dan bahkan, jika tidak salah ingat, karena jurusan yang saya pilih inilah saya pernah dicap kafir oleh tetangga rumah. Dituding melenceng dari agama Islam karena belajar agama-agama lain selain Islam itu sendiri. Pada saat itu, saya hanya tersenyum kecut dan menjawab, terimakasih telah menganggap saya kafir.

Saya tidak pulang kerena sementara masih belajar dan terus belajar. Seterusnya, Montorna adalah rumah ingatan yang melarat dan sekarat.

Akhirnya ketika beberapa kali pulang ke Montorna, meski sebentar, terasa bahwa saya telah jauh pergi dari tanah tempat saya dilahirkan ini. Betapa saya tidak nyambung dan tidak tahu apa-apa ketika ditanya soal bibit temabakau dan padi. Tentang pupuk dan obat-obat lain terkait pertanian. Tentang ternak, harga cabe, tembakau, dan banyak lagi.

Diam dan mendengar mereka, para keluarga, tetangga, adalah pilihan terbaik. Mendengar keluhan mereka yang melarat bertani dan rugi karena hasil panin tembakau dibeli murah. Mendengar keluhan meraka terkait jalan raya yang tidak diaspal padahal telah ganti kepala desa berkali-kali.

Nikmati Puisi: Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana

Diam dan mendengar harapan mereka tentang tidak adanya jembatan penghubung antar dusun. Diam dan mendengar mereka tentang harapan adanya lampu penerang jalan, parit kecil di pinggir jalan.

Diam dan menuliskan semua keluhan mereka. Setidaknya, saya mengebadikan keluhan-keluhan para petani, para masyarakat yang hati dan pikirannya lebih luhur dari pejabat negara.

Tentu saja, pemuda-pemuda Montorna telah canggih dan pintar-pintar. Selain itu, juga banyak di antara mereka yang kuliah hingga S3. Saya hanya sekumpulan bayang dari pada mereka-mereka yang telah mentereng dengan beberapa gelarnya, apalagi pengetahuan agamanya.

Ah…Montorna yang malang. Siapa yang telah memerah habis manis sari mayangmu?

Muafiqul Khalid, Mahasiswa Islamic Studies at Indonesian International Islamic University (UIII) Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *